Jumlah Pengunjung Saat Ini

Senin, 28 Desember 2009

ROH foto eva tobing dkj-Mini teater Kabupaten Indragiri Hulu Riau berjudul Roh karya Wisran Hadi di Balai Latihan Kesenian, Jakarta.




























































pangeran terubuk



LAPORAN DARI YOGYAKARTA
Romeo and Juliet van Melayu
26 Jun 2009 19:11 wib


YOGYAKARTA (RiauInfo) - “Ada Melayu di Jawa”. Itulah tema besar yang diangkat dalam Perhelatan Seni Budaya Melayu yang digelar pada (23/06) di Taman Budaya Yogyakarta. Acara yang diselenggarakan oleh Panitia Bersama Ikatan Pelajar Mahasiswa Riau Yogyakarta ini menyuguhkan beberapa rangkaian mata acara, yaitu Bazar Buku Budaya; Seminar Budaya Nasional; dan ditutup dengan Pertunjukan Opera Melayu (kolosal) dengan mengambil judul “Pangeran Terubuk”.

Racikan music orkestra dengan balutan vokal direktor dari Apollosius, terasa memberi keterikatan sangat prima dalam mengangkat performa pertunjukan opera Melayu (kolosal). Pertunjukan opera Melayu sendiri merupakan acara penutup dalam rangkaian Perhelatan Seni Budaya Melayu.

Hadir dalam acara ini, antara lain Rida K. Liamsi, Chief Executive Officer (CEO) Riau Pos Group dan Pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budayaan Melayu, Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M.
Opera karya Marhalim Zaini dengan direktor Ade Puraindra dan music Bayu Arsiadi ini, dimulai tepat Pukul 20.30 WIB.

Sebelum opera dimulai, terlebih dahulu diisi dengan kata sambutan dari Ketua Panitia, Fery Mardiyanto dan perwakilan dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X yang diwakili oleh dra. Dian Anggraini Rais selaku pengelola dari Taman Budaya Yogyakarta.

Dalam kata sambutannya, Fery Mardiyanto menggarisbawahi tujuan digelarnya Perhelatan Seni Budaya Melayu ini adalah memberikan frame bahwa Mahasiswa Riau merupakan mahasiswa yang berkarya dan berbudaya. Sedang dra. Dian Anggraini Rais, mengungkapkan bahwa keberagaman etnis bukanlah sebuah ancaman, melainkan, “... semen perekat dalam kehidupan multi etnis dalam berbangsa dan bernegara”.

Acara penutup yang menyuguhkan opera Melayu (kolosal) sendiri merupakan hasil kerjasama dari Sri Gelegar Orchestra pimpinan Apollosius, Seni Kepompong Riau, SMKN 2 Kasihan Bantul, Seni Teku Yogyakarta dan berbagai elemen independent lainnya. Pertunjukan dengan judul “Pangeran Terubuk” ini mengisahkan kisah cinta Romeo and Juliet van Melayu.

Karakter Pangeran Terubuk yang dimainkan oleh Rocky Marciano, menceritakan kisah percintaan antara Pangeran Terubuk dari Kerajaan Lautan dengan Puteri Puyu-Puyu dari Kerajaan Daratan. Kisah cinta dengan unhappy ending story ini berakhir tragis dengan kematian dari sang pangeran demi mendapatkan cinta dari sang puteri.

Beragam intrik sempat diangkat lewat cerita ini. Mulai dari hasutan yang melanda Kerajaan Daratan yang datang dari Menteri Belut selaku bawahan dari Pangeran Terubuk, fitnah yang menghujam Menteri Tengiri, hingga ambisi dari Puteri Puyu-Puyu yang harus tertahan karena keterikatan dengan kerajaaan, meski sebenarnya dirinya juga menaruh perasaan cinta pada sang pangeran.

Warna-warni pakaian dari pengisi acara menambah semarak semangat nilai kolosal dari opera yang dibawakan. Atraksi panggung dengan beragam warna bendera, semakin mengukuhkan suasana kolosal yang terbangun. Bahkan singgasana sang pangeranpun tersusun dari rangkaian tubuh dan tangan para penari sebagai pengganti properti.

Semua merupakan jalinan antara suara, musik, dan tubuh pemain. Sehingga keprimaaan dari penguasaan panggung, karakter, hingga olah vokal dari masing-masing pemain, musti terjaga benar kualitasnya.(ad/rls)






Geliat Gelora Teater Riau XI







Geliat Gelora Teater Riau XI 31 Oktober 2009 http://www.riaupos.com/berita.php?act=full&id=6421&kat=11 GELORA Teater Riau XI merupakan kegiatan tahunan yang rutin telah berjalan lebih dari satu dasawarsa. Di tahun yang ke-11 ini diselenggarakan 28-31 Oktober 2009 di Gedung Auditorium Dewan Kesenian Riau (DKR) yang dimulai dari pukul 19.30-selesai. Acara tahunan yang diselenggarakan oleh DKR tahun ini menampilkan 10 penampilan kabupaten kota yang masing-masing mewakili kabupaten kotanya masing-masing maupun sanggarnya. Satu dari 10 peserta yang saya ketahui adalah Sempene Teater Riau, perwakilan dari Indragiri Hulu yang didirikan dua bulan yang lalu yang memang dikondisikan untuk acara ini, menggantikan mini teater yang dua tahun terakhir Gelora Teater Riau keluar sebagai juara umum. Mini teater sendiri tidak tampil lagi tahun ini karena telah dianggap menjadi master teater yang sekarang membina teater Inhu. Walaupun masih baru, Sempene Teater Riau ini sudah mulai membuka diri dengan komunitas teater di luar Sumatera, dengan cara sharing salah satunya. Dalam pementasan perdananya 30 Oktober nanti di Gelora Teater Riau XI mereka akan mementaskan Ranggung dalam Perjuangan karya Salimi Yusuf. Karya naskah yang dibuat tahun 1993 mengangkat tema cerita dengan atmosfer pertunjukan 1973 di tanah Logas, Taluk Kuantan. Namun, malam pertama Gelora Teater Riau XI yang saya hadiri terasa kurang tertata dan membosankan. Dan sepertinya antusiasme warga Riau sendiri terhadap acara ini bahkan bisa dikatakan tidak terasa. Acara ini seharusnya menjadi acara besar dan membanggakan bagi masyarakat Riau sendiri, khususnya bagi orang-orang teater sendiri. Sedangkan gedung yang tidak terlalu besar saja tidak terlalu dipenuhi penonton. Dan atmosfir yang dirasakan penonton sendiri seperti jenuh dan membosankan. Hal ini terlihat dari gelagat penonton yang mulai beranjak di tengah-tengah acara dan beberapa penonton juga malah ada yang tiduran. Berbeda sekali dengan Festival Teater Jogja yang diselenggarakan Juli-Agustus yang lalu. Antusias dan semangat yang dirasakan tidak hanya datang dari para penonton, namun juga para kreator dan kelompok-kelompok teater yang ada. Dalam setiap pementasan pesertanya selalu dipenuhi penonton yang tidak hanya dihadiri oleh pekerja dan peminat seni saja, namun juga oleh warga sekitarnya, tua, muda, juga ada anak-anak. Festival Teater Jogja dan Gelora Teater Riau merupakan sama-sama agenda tahunan yang menghasilkan pemenang tiap tahunnya. Sedangkan FTJ diadakan tiga tahun sekali dengan sistem kurasi yang diselenggarakan setiap tahunnya. FTJ dengan dana yang sangat minim tetap berusaha diselengarakan dan dinikmati oleh seluruh masyarakat yang menjadi penontonnya. Namun, kenapa di Riau ini peminat dan perhatian terhadap seni pertunjukan teater masih kurang? Apakah karena seni teater sendiri masih sangat jauh dengan penontonnya? Atukah tidak adanya dedikasi yang keras dari para pelakunya untuk mengembangkan teater di Riau menjadi lebih berkembang? Di umur Gelora Teater Riau yang ke-11 ini seharusnya telah mampu membangkitkan teater Riau. Namun untuk membangkitkan teater Riau juga perlu dukungan dan apresiasi dari masyarakat dan pemerintah daerahnya sendiri. Tidak ada salahnya Gelora Teater Riau ke depan mencoba sistem kurasi yang mudah-mudahan mampu memacu para kreator Riau untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Penuh harapan, melalui Gelora Teater Riau ke depan, teater Riau mampu bangkit dan hidup seterusnya, serta mampu membangkitkan minat dan apresiasi masyarakat Riau terhadap seni pertunjukan teater. Sukseskan Gelora Teater Riau tahun ini dan Teater Riau ke depan.*** Dessy Kamila Sari, mahasiswa Sastra Inggris UAD Yogyakarta sedang berada di Pekanbaru.






Potensi Sutradara dan Aktor Belum Matang
Laporan FEDLI AZIS, Pekanbaru fedliazis@riaupos.com
Gelora Teater XI se Riau, 28-31 Oktober baru saja usai. Tiga dewan pengamat yang bertungkus-lumus memberikan penilaian selama empat malam berturut-turut menegaskan, bahwa Riau memiliki potensi besar untuk berkembang. Sayangnya, potensi-potensi tersebut tidak tergarap secara maksimal sehingga karya-karya yang dihasilkan belum menunjukkan hasil memuaskan.


HARUS diakui, bahwa karya-karya yang diikutsertakan dalam helat teater Dewan Kesenian Riau (DKR) tahun ini menurun tajam. Selain jumlah peserta, kualitas karya juga mengalami penurunan. Tidak hanya itu, beberapa grup yang selama ini bersaing ketat juga absen sehingga pelaksanaan helat tersebut tidak dapat dibanggakan sama sekali.

Meski demikian, namanya lomba, dewan pengamat harus memilih pemenang, meski cendrung bersifat membagi sekedar memotivasi semangat berteater bagi para pelakunya. Untuk tahun ini, peserta asal Rengat-Indragiri Hulu yakni grup Sempene Teater Riau mendominasi dengan meraup tiga kategori puncak antara lain penyaji terbaik, sutradara terbaik dan aktor terbaik. Sedang sedang empat kategori lainnya berbagi antara Pekanbaru, Bengkalis dan Rohil. Aktris terbaik diraih Ika Elizar asal Sanggar Kosan dan artistik diraih Saharudin Sanggar D?Srai (Pekanbaru). Sedang pemeran pembantu pria terbaik diambil Iqbal asal Sanggar Balairung (Rohil) serta pemeran pembantu wanita terbaik diraih Nia asal Sanggar Pancang Siak Kecil (Bengkalis).

Salah seorang dewan pengamat Edi Suwisnyo (STSI Padangpanjang) menjelaskan, potensi besar tidak akan dapat memberikan hasil baik jika tidak dibarengi penggarapan baik pula. Mau tidak mau, nyaris seluruh peserta dinilai tidak kreatif dalam hal pencapaian sebab karya-karya yang ditampilkan masih tanggung, bahkan mentah. Padahal untuk menghasilkan karya-karya itu bukan dari sebuah hasil yang pendek, melainkan melalui proses yang cukup panjang.

Selain itu, banyak pula sutradara, apalagi aktor tidak mampu mengeluarkan semua kemampuan terbaiknya. Alasannya, ketidakmengertian terhadap naskah serta terlalu memudahkannya tanpa mempertimbangkan persoalan penting dalam sebuah kerja kreatif. Akibatnya segala unsur pendukung seperti pengolahan penyutradaan, keaktoran, penataan panggung, pemilihan warna, kostum, make up dan lainnya masih perlu digarap dengan upaya pembelajaran-pembelajaran yang intens.

?Harus diakui, peserta yang tampil memiliki potensi besar tapi belum tergarap secara maksimal sehingga karya-karya mereka kami nilai tidak kreatif. Ke depan, jadikan tahun ini sebagai pengalaman untuk menghasilkan karya terbaik pada tahun berikutnya,? ulas Edi kepada Riau Pos, Ahad (1/11) di Gedung Teater DKR, Komplek Bandar Serai, Pekanbaru.

Seorang dewan pengamat lainnya Suharyoto Sastro Suwitnyo (mas Aryo) menambahkan, karya-karya yang ditampilkan juga tidak satupun mengangkat kondisi lokal hari ini. Sebagian besar pengkarya hanya mengulang-ulang kembali karya-karya Melayu sebelumnya seperti mengambil naskah Burung Tiung Sri Gading Karya Hasan Junus tanpa memberikan interpretasi kekinian. Selain itu, karya Melayu lain yang terkesan verbal karya SPN GP Ade Darmawi Mahkota Jiwa dan karya Usman Awang (sastrawan Malaysia) serta banyak lagi.

Padahal masih banyak naskah yang lebih baik untuk mewakili kondisi Riau kekinian melalui interpretasi sang sutradara. Keinginan tersebut harusnya lebih digali sehingga karya yang ditampilkan bisa lebih aktual dan memberikan pencerahan-pencerahan. Tidak dipungkiri, bahwa karya-karya sastrawan lokal memiliki unsur edukasi dan pencerahan tapi sang sutradara hanya menuangkan begitu saja di atas panggung.
Saya berharap, ke depannya karya-karya yang ditampilkan jauh lebih maju dan memiliki pesan moral dengan nuansa kelokalan,? tambahnya mengakhiri.(fed)
kotakata.File



Jumat, 15 Mei 2009

DRAMATURGI

DRAMATURGI
Genre Drama

Dua genre yang utama sejak masa Yunani adalah tragedi dan komedi. Disamping itu terdapat pula genre-genre melodrama, farce, tragikomedi, komedi gelap, sejarah, dokumenter, dan musikal yang sekarang keihatan menjadi genre utama dalam drama modern.1 Adapun pengertian dari genre-genre tersebut adalah:
a)Tragedi
Tragedi dikategorikan dalam drama serius dengan topik yang bermakna kemanusiaan universal sebagai temanya, yang mana tokoh utama atau tokoh melawan penderitaan, mundur dan selalu mati. Secara tradisional, tragedi melibatkan keruntuhan atau kehancuran tokoh yang statusnya tinggi. Tragedi menimbulkan rasa kasihan dan teror terhadap penonton, dan merespon pemecahan dalam apa yang dijelaskan Aristoteles tentang Catarsis, atau ”pembersihan jiwa”. (untuk teori tragedi, lebih lanjut lihat lampiran). Adapun contoh-contoh drama tragedi antara lain dalam drama Trilogi karya dramawan Yunani Sophocles, yakni Oidipus Sang Raja, Oidipus di Kolonus dan Antigone. Begitu pula lakon King Lear karya dramawan Inggris William Shakespeare.
b)Komedi
Komedi merupakan drama humor dengan sebuah tema penting, yang mana tokoh atau watak mempertentangkan diri mereka sendiri dan yang lain dengan akhir yang menimbulkan kelucuan. Komedi dapat menjadi kuat, bergairah, bernuansa remeh dan bergerak, tetapi organisasi pengalaman dramatiknya sama sekali menopang rasa kasihan atau teror dan mendatangkan tawa terbahak-bahak. (untuk teori komedi dan berbagai perbedaannya, lebih lanjut lihat lampiran).
Contoh drama komedi, diantaranya adalah Pinangan karya Anton Chekov.
c)Melodrama
Melodrama merupakan drama serius dengan tema yang sepele. Tokoh protagonis dalam bentuk populer yang menyenangkan dan menghibur ketimbang heroik, bajingan atau penjahat yang tidak kompromi dan sangat tidak menyenangkan. Melodrama menghadirkan pertentangan yang sederhana atau simple dan terbatas antara baik dan buruk ketimbang penggambaran maupun penjelasan yang lengkap terhadap penderitaan dan aspirasi kemanusiaan yang universal. Drama dalam genre ini jarang menopang akhir yang tidak menyenangkan, jarang berhubungan dengan katarsis, dan bertipe akhir dengan kekosongan pikiran, tetapi pertunjukannya suatu kemenangan yang menawan hati dari ”orang yang baik”.
d)Farce
Drama humor --dan ini lebih luas kehumorannya-- dalam tema yang sepele, biasanya seseorang yang sepenuhnya familiar terhadap penonton. Kekeliruan identitas, percintaan yang ditabukan atau cinta gelap, kesalahpahaman yang bertele-tele --ini merupakan cap yang berikan pada farce. Anak kembar satu telur, bercinta dalam WC atau di bawah meja, kejar mengejar di seantero panggung, tukar menukar minuman, tukar menukar pakaian (kadang-kadang laki-laki memakai pakaian wanita atau wanita berpakaian laki-laki), instruksi yang salah dengar, dan beragam adegan membuka pakaian, penemuan, bentuk yang dapat tahan lama secara kekal dan sejak zaman dulu kala.
e)Tragikomedi
Sebuah nama yang menunjukkan, bentuk yang mencoba untuk menjembatani tragedi dan komedi. Ini menegakkan tema serius secara keseluruhan tetapi bermacam-macam pendekatan dari serius hingga humor, dan dengan penyimpulan tanpa katarsis yang berat sekali yang mana penontonnya dibawa untuk menduga-duga. Ini juga dapat dikatakan “tragedi yang berakhir dengan kegembiraan”.

f)Komedi Gelap
Sama dalam tema dan pendekatan terhadap tragikomedi, tetapi dengan akibat pada bagian depan: “Komedi yang berakhir secara tragis”, yang kadang-kadang pengertian yang sangat tepat dari usaha yang sangat modern untuk menggabungkan komedi dan tragedi.
g)Historis
Lebih jauh dilatarbelakangi oleh William Shakespeare, meskipun sedikit drama yang tepat berkategori ini yang ditulis sebelumnya. Drama dalam genre ini menyuguhkan peristiwa sejarah dengan cara yang sangat serius dan terhormat. Drama sejarah Shakespeare terutama dipusatkan pada sejarah Inggris (kira-kira) tahun 1377 hingga 1547, dan secara khusus dengan kehidupan dan perjuangan raja-raja Inggris seperti Richard II, Henry IV, Henry V, Henry VI, Richard III, dan Henry VIII. Drama serius ini didasarkan pada banyak seluk beluk humor, tetapi tidak mencapai katarsis tragedi klasik atau mengesampingkan humor komedi.
(h) Dokumenter
Merupakan sebuah genre yang masih dalam pengembang-an, yang mana banyak penemuan otentik yang secara relatif digunakan sebagai dasar untuk menggambarkan peristiwa sejarah yang baru saja terjadi. Catatan pemeriksaan pengadilan, laporan berita dan gambar, rekaman orang-orang dan pegawai yang di susun sebagai dokumentasi yang membawa kehidupan suatu persoalan khusus dan sudut pandang. Pemeriksaan pengadilan yang terkenal --yakni J. Robert Oppenheimer, John C. Scopes, Adolph Eichmann, gang ”Zoot Suit”, Leopold dan Loeb, skandal Watergate maupun skandal sex Bill Clinton-Lewinsky, skandal Bank Bali, Johny Indo, Marsinah, sebagai contoh-- merupakan sumber material untuk dramatisasi dokumenter.
(i) Musikal
Genre yang dibagi oleh kepercayaan yang luas dalam musik, khususnya dalam nyanyian. Musikal biasanya digabungkan dengan genre lain untuk menciptakan komedi musikal (yakni, komedi dengan nyanyian, semacam Guys and Dolls), dokumentasi musikal (semacam Oh, What A Lovely War!, yang diinspirasikan oleh kejadian Perang Dunia I), atau sejarah musikal. Sebuah latar tragedi untuk disebut opera besar; farce musikal secara umum di sebut opera terang atau operatta.

DRAMATURGI
Ilmu yang Mempelajari Hukum-hukum Drama

Unsur Dramaturgi
Tema: Inti atau pokok dalam suatu drama atau lakon
Alur/Plot: Kerangka penceritaan yang mengubah jalannya cerita
Karakter/Penokohan: Watak suatu tokoh cerita
Latar/Setting: Tempat terjadinya peristiwa
Pada saat sekarang ini timbul keraguan, apakah dramaturgi masih penting dalam dunia seni pertunjukan, khususnya dalam memahami dunia drama. Pertanyaan ini muncul seiring dengan lahirnya kreativitas-kreativitas atau temuan-temuan baru manusia, yang menunjukkan betapa dramaturgi itu harus dipandang dengan cara yang lain. Cara lain tersebut adalah menempatkan dramaturgi itu sejalan dengan perkembangan kreativitas manusia, dan berangkat dari perkembangan yang tumbuh dalam semua kesenian, khususnya dalam seni pertunjukan. Hal ini penting artinya, karena dramaturgi sebagai sebuah disiplin ilmu harus mampu menjawab berbagai persoalan yang muncul bersamaan dengan perubahan paradigma yang terjadi, dan agar dramaturgi benar-benar menjadi disiplin yang multidisipliner.
Pada dekade sembilan puluhan, dramaturgi di Indonesia mulai mendapatkan perhatian khusus. Hal ini berangkat dari situasi perkembangan dunia pendidikan seni yang semakin meningkat. Untuk itu dibutuhkan seorang ahli dalam seni pertunjukan yang kemudian disebut “Dramaturg”, guna membandingkannya dengan ahli seni rupa yang menyeleksi karya-karya terbaik dalam seni rupa, yakni seorang “kurator”.
Dramaturg profesional pertama menurut Kenneth Macgowan dan William Melnitz adalah dramawan dan kritikus drama Jerman, Gotthold Ephraim Lessing. Lessing menulis 104 karya kritik yang dikemudian dikumpulkan dalam sebuah buku, Die Hamburgische Dramaturgie2. Peran seorang dramaturg professional ini sangat penting artinya dalam melakukan berbagai telaah serta menemukan kaidah yang dimiliki oleh sebuah karya seni pertunjukan, dan bukan semata-mata karya drama.
Selain di Indonesia, di beberapa negara Eropa dan Amerika, keberadaan dramaturgi ini juga mendapatkan perhatian khusus. Bahkan, terdapat sebuah situs internet yang memberikan informasi tentang perkembangan mutakhir dalam dramaturgi, yakni www.dramaturgy.net. Siapapun dapat mengakses situs ini untuk mendapatkan informasi, baik berupa buku, jurnal maupun dialog yang berkaitan dengan dramaturgi, termasuk pelayanan untuk mengadakan semacam pelatihan. Sumber-sumber dramaturgi yang tersebar luas itu, di Indonesia masih sangat terbatas penggunaannya. Sumber dalam bentuk buku berbahasa Indonesia dan ditulis pula oleh orang Indonesia, hanya dijumpai pada buku RMA Harymawan yang berjudul Dramaturgi. Beberapa buku yang lain tidak lebih dari sepuluh judul buku yang berbicara tentang dunia drama dan berbagai upaya mempersiapkan pertunjukan teater. Kesemuanya itu perlu direvisi kembali, karena beberapa bagian diantaranya sudah tidak berlaku lagi, atau telah mengalami pergeseran pemahaman yang signifikan.
Ketertarikan terhadap dramaturgi juga terjadi pada dunia ilmu sosial. Seorang sosiolog Amerika, Erving Goffman misalnya, melahirkan pendekatan dramaturgis untuk melakukan penelitian sosial. Pengaruhnya sangat besar, termasuk dalam penelitian dengan pendekatan interaksionis simbolik.3 Disiplin ilmu yang mulai memanfaatkan jasa dramaturgi adalah ilmu komunikasi, psikologi, maupun seni pertunjukan. Sedangkan, dalam politik pun sering kita temui istilah dramatisasi persoalan, dramatisasi konflik, dramatisasi politik, dan sebagainya. Para pengguna dramaturgi pun tidak surut dan habis begitu saja seiring dengan berkembangnya perfilman dan sinetron-sinteron yang memborbardir dunia rumah tangga kita.
Dramaturgi itu sendiri, sebagaimana ditulis oleh RMA Harymawan dalam bukunya Dramaturgi4 adalah ilmu yang mempelajari tentang hukum dan konvensi drama. Hukum-hukum drama tersebut mencakup Tema, Alur (plot), Karakter (penokohan), dan Latar (setting). Namun demikian, pemahaman dramaturgi itu tidak berhenti pada hukum-hukum dan konvensi yang telah menjadi klasik tersebut. Karena, perkembangan yang cukup besar dari dunia drama itu sendiri, maka tentu sejumlah hukum dan konvensi itu memiliki upaya pula untuk melakukan beberapa ”penyesuaian” yang selaras dengan kehidupan dan jalan pemikiran manusia. Meskipun perkembangan tersebut memiliki beberapa kritik, namun tetap memiliki kemungkinan dalam mengapresiasi kenyataan yang berubah di tengah-tengah masyarakat penggunanya. Kenyataan bahwa dunia drama itu telah berkembang berabad-abad tentulah tak dapat dipungkiri memiliki banyak “produk” yang dapat menjadi model atau bahan untuk dianalisa. Disamping itu, telah banyak pula lahir para dramawan maupun para penulis drama yang memiliki pengaruh besar terhadap perubahan zamannya. Di Indonesia kita mengenal Putu Wijaya, Arifin C. Noor, Iwan Simatupang, Wisran Hadi, Kirjomulyo, Akhudiat, dan masih banyak lagi.
Konsepsi Dramaturgi klasik Aristotelian yang diikuti kalangan neo-klasisisme, yakni kesatuan dramatik yang merupakan suatu cerita yang terjadi di satu tempat dan waktu yang tak lebih dari satu kali dua puluh empat jam, peristiwa-peristiwa dan adegan-adegan secara beruntun, diikat dengan ketat satu sama lain oleh hukum sebab akibat. Kalangan penganut Sturm und Drang atau Storm and Stress (secara harfiah berarti Topan dan Tekanan) melakukan perubahan mendasar. Pemberontakan ini berangkat dari Gefuh ist alles, yakni perasaan adalah segala-galanya, seperti diungkapkan oleh Wolfgang von Goethe pada masa mudanya. Dramawan-dramawan Sturm und Drang cenderung menggambarkan manusia sebagai makhluk yang tingkah lakunya ditentukan oleh semangat yang berkobar-kobar, emosi yang kuat, nafsu yang meluap dan menghanyutkan5 . Maka mudah ditemukan adegan-adegan yang luar biasa, resah, penuh kekerasan, hujatan pedang dan belati, darah dan racun. Itu pulalah sebabnya, gerakan ini kemudian melahirkan gagasan romantik dalam drama dan teater. Plot atau alur cerita bersifat episodik.

Ringkasan
1.Pengertian drama muncul sebagai bagian dari upaya untuk memahami kehidupan. Namun demikian, banyak pengertian-pengertian drama yang saling bertolakbelakang, sehingga terjadi kesimpangsiuran. Upaya yang cermat melalui pengklasifikasian terhadap karya drama tersebut, memungkinkan suatu pengertian yang komprehensif dapat ditemukan.
2.Drama dimengerti mulai dari konteks sebagai salah satu genre sastra hingga ke pertunjukan teater. Sebagai sebuah karya sastra, drama berkaitan erat dengan adanya media lain, seperti teater, radio maupun televisi dan film.
3.Dalam mengembangkan dramaturgi tersebut dibutuhkan pula para dramaturg professional untuk menelaah kaidah-kaidah seni pertunjukan.
4.Dalam play atau drama terdapat genre seperti tragedi, komedi, melodrama, farce, targikomedi, sejarah, dokumenter, dan musikal. Masing-masing genre memiliki kekhususan dalam bentuk dramatiknya.
5.Pemahaman dramaturgi sangat dibutuhkan oleh sutradara dan aktor dalam memasuki wilayah penonton.

Topik Diskusi
1.Sebutkanlah pengertian drama yang relatif lebih realistik pada masa sekarang ini.
2.Sebutkan perbedaan mendasar konsepsi Dramaturgi Aristotelian dan pemberontakan Dramaturgi Wolfgang von Goethe.
3.Sebutkanlah bagaimana cara kerja seorang dramaturg profesional, agar sebuah karya seni pertunjukan dapat mencapai sasarannya secara maksimal.
4.Apakah yang membedakan antara genre drama Tragedi dengan Melodrama, dan Komedi dengan farce, sebutkan contoh dari naskah drama yang mengindikasikan genre ini.
5.Bagaimanakah dramaturgi seharusnya dipahami dan dipergunakan

Minggu, 10 Mei 2009

malam jahanam "#1 sewon Yogyakarta"




serikat kacamata hitam, "SSDR Te"







pralaya, "MINI TEATER" perubahan sejarah "Teater Riau"






perubahan itu kadang sangat menyakitkan

Teater Kita, Dulu, Kini dan ke Depan
(Catatan dari Gelora Teater X DKR 2008)
Oleh Taufik Effendi Aria


GELORA Teater X yang ditaja oleh Dewan Kesenian Riau (DKR), dari tanggal 26 sampai 28 Juni 2008, bertempat di Gedung Serba Guna Pusat Pengajian Kebudayaan Propinsi Ria, perul catatan khusus. Pertama kegiatan ini terlah berjalan secara ritin tanpa putus selama satu dasawarsa; kedua, para peserta dari tahun ke tahun tetap memperlihatkan semangat yang menggelora, walapun dengan kemampuan yang bervariasi.
Yang paling menarik untuk dicatat ialah adanya beberapa grup yang mencoba keluar dari tradisi perteateran Riau selama ini, disamping ada juga grup yang konsisiten mempertahankan ketradisionalannya.
Dalam catatan singkat ini terlebih dahulu saya mencoba menguak sepenggal sejarah perjalanan seni teater di Riau, semoga dengan demikian akan membuka selera, terutama bagi orang-orang teater untuk lapar dan haus terhadap teater yang bersaing dan berdamping dengan teater-teater lain diluar Riau.
Sejak awal tahun 60-an sampai dengan 80-an, istilah teater pada masa-masa itu belum popular, bahkan belum dikenal sama sekali. Yang dikenal pada masa-masa itu, ialah istilah drama. Istilah drama ini mengalahkan popularitas istilah sandiwara yang berkembang sejak zaman penjajahan.
Pada era 60-an sampai denganera 70-an, di Riau pada umumnya dikenal istilah drama modern dan drama klasik. Kedua bentuk daram ini mengacu kepada metode teater Barat, yang lazim disebut dengan teater konvensional. Proses pergelarannya diawali dari naskah yang sengaja di dalam bentuk percakapan dan sedikit petunjuk yang ditulis dalam tanda kurung. Biasanya disebut dengan reportoa (alih aksara).
Dari teater kinvensional inilah selanjutnya kita mengenal istilah-istilah, seperti reportoal naskah-lakon, penyutradaraan, tokoh/karakter, design artistik (set/dekorasi, properti, tata-cahaya, tata-rias, tata-busana).

Perbedaan Drama Modern dan Drama Klasik
Drama modern ceritanya diangkat dari fenomena kehidupan sehari-hari. Sedangkan drama klasik diangkat dari cerita-cerita rakyat, baik dalam bentuk legenda, dongeng, hikayat, dan kehidupan sekitar istana, seperti Batang Tuaka (Tendra Rengat), Lancang Kuning (Tenas Effendi), Merbau Bersiram Darah (?), Hang Tuah (Tenas Effendi), Megat Sri Rama (?), Burung Tiuang Sri Gading (Hasan Junus) dan lain sebagainya. Disamping itu drama klasik nuansa lokalnya lebih kental dan terasa, nuansa ini berbias dari dialog/percakapan para tokoh yang selalu mempergunakan bahasa bersajak(berirama), pantun dan syair. Juga diperkuat oleh kostum yang dipakai oleh para tokoh, seperti tanjak/destar, baju teluk belangga, kebaya labuh dengan kain bertenun dan atribut lainnya. Setting (latar belakang, tempat dan waktu kejadian) pada umumnya berupa istana sentris.
Untuk pelaksanaan Gelora Teater X panitia mengirimkan beberapa naskah/sastra lakon untuk dibawakan oleh setiap peserta. Naskah-naskah tersebut diambil dari hasil sayembara penulisan naskah lakon yang secara rutin juga diselenggarakan oleh DKR.
Sepintas lalu, nampaknya naskah yang dikirim didominasi naskah dalam bentuk drama klasik. Terkecuali dua naskah yang berjudul Keletah Kempunan karya M. Paradison dan Pecundang (Fadli Aziz). Tapi jika diamati secara teliti dan seksama, naskah-naskah yang dikirimkan cukup terbuka luas untuk menampilkan bentuk pementasan yang lebih variatif, tidak stereo type (pengulangan-pengulangan) bentuk drama klasik masa lalu. Memang tidak mudah. Diperlukan keberanian, pengalaman, wawasan dan kemaunabagi sutradara bisa menemukan konsep teaternya sendiri.
DKR telah melaksanakan Gelora Teater yang kesepuluh. Kegiatan ini semacam Simposium Teater, dimana setiap peserta menampilkan pengetahuan, pengalaman dan wawasan mereka yang dapat diberikan dan diterima oleh masing-masing peserta. Gelora Teater X membuktikan hal itu. Gelora Teater bukan hanya sekedar seremonial, yang sekedar ramai-ramai tanpa dapat merubah sikap dan prilaku peserta dan penikmatnya. Gelora Teater telah menjadi sebuah upacara ritual, karena dia telah memberi perubahan sikap, imej, visi dan penyegaran terhadap perjalanan perteateran Riau ke depan, baik bagi orang-orang teater itu sendiri maupun bagi orang-orang yang terlibat didalamnya.
Catatan yang perlu diingat dan menjadi landasan kedepan, adalah tampilnya Grup Pancang Siak Kecil, yang meraih Penyaji Terbaik Kedua, The Best Aktor dan Aktris, serta Pemeran Pembantu Terbaik Pria. Hal ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan, bahwa Pancang Siak Kecil sangat konsisten dengan bentuk konsep drama klasik, penyutradaraan, pemeranan, dan desing artistik, memenuhi kereteria metode teater konvensional.
Sanggar Mini Teater dari Rengat, mendapat kehormatan sebagai Penyaji Tebaik Pertama, Sutradara Terbaik dan Artisti Terbaik. Membawajan cerita Pralaya karya Fedli Aziz tampil dengan keberanian: Mengganti destar dengan dasi, mengganti teluk belnga dan kebaya labuh dengan kemeja plus pantalon, mengganti capal dengan sepatu, set-dekorasi diganti tabir berwarna putih–air dengan dasar kain yang lembut. Dibantu alat canggih berama multimedia. Selanjutnya apa yang terjadi? Ketika ruang gedung gelap-gulita munculah beberapa potong gambar: Soekarno dengan pakaian kebesarannya sebagai Kepala Negara RI; Aidit, yang kita kenal sebagai pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) ; beberapa gambar kerusuhan yang terjadi di ibu kota.
Potongan-potongan gambar ini berjalan dari plafon, lantai dan dindinggedung tempat pertunjukan. Saat lampu mulai menerangi pentas dengan cahaya temaram terlihat beberapa orang dengan berpakaian rapi; kemeja putih, pantalon hitam, pakai dasi, mengingatkan kita pada kostum Randai Kuantan. Satu-persatu ketokohan mereka diperkenalkan dengan mengambil tempat dipojok pentas, sebagaimana permainan sandiwara akan memulai pertunjukannya. Tabir lembut berwarna putih-air sekali-kali difungsikan sebagai ilustrasi memperkuat suasana adegan yang sedang berlangsung. Sekali-kali dimainkan dalam fungsi sebagai selingan pengganti babakan. Sementara alat multimedia mencoba mengurung audiens/penonton dala suasana khaos yang sedang berlangsung, dengan menayangkan potongan-potongan gambar pada plafon, dinding dan lantai.
Demikianlah Pralaya karya Fedli Aziz diusung oleh Mini Teater dari Rengat ke dunia fantasi, tidak saja sedert kata yang diucapkan para pelaku, akan tetapi juga oleh lambang-lambang yang mewakili kemauan dan kehendak sutradara yang tak terwakilkan oleh kata-kata.
Selanjutnya jadilah pertunjukan itu suatu tontonan yang mengasyikan sekaligus menyenangkan. Membingungkan sekaligus memabukkan. Dan ketika semua telah usai, sadarlah kita, bahwa lambang-lambang juga memegang peranan penting selain kata-kata. Dan yang perlu digarisbawahi Gelora Teater X 2008 telah membuka ruang imajinasi yang selama ini terkurung dalam kabut romantisme masa lalu.
Hidup perlu pencerahan, pergerakan dan pembaharuan. Salam takzim untuk DKR, panitia dan seluruh peserta Gelora Teater X.

Taufik Effendi Aria adalah penilmat dan pencinta seni. Tinggal di Pekanbaru.

sejarah kita sejarah yang baru

Teater Pelajar dan Ruang Lingkup Kreativitas Berkarya
Oleh : Tina Aprida Marpaung, S.Pd.

Teater Pelajar lebih berkonotasi pada teater sekolah menengah umum maupun kejuruan (SMP/MTs; SMU/MA; SMK). Di samping teater pelajar, juga dikenal istilah teater remaja yang lebih berkonotasi pada teater kalangan SMU/MA maupun SMK.

Teater remaja bukan semata-mata kalangan sekolah. Mereka juga kalangan yang putus sekolah atau yang berada pada tingkat usia remaja atau di bawah dua puluh tahunan. Entah sejak kapan nama teater pelajar ini muncul dan untuk apa pula penamaan semacam ini digunakan. Teater pelajar, merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan pertumbuhan teater itu sendiri. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas RI) -dalam hal ini Pusat Perbukuan, bekerjasama dengan Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP)- bahkan sedang merancang buku pelajaran teater untuk SMP/MTs; SMU/MA; dan SMK, baik negeri maupun swasta.

Apabila kita menilik ke belakang, kalangan terpelajar Indonesia masa lalu atau setidaknya era Boedi Oetomo, telah mulai melakukan berbagai upaya transformatif. Embrionya dimulai dengan munculnya “Komedi Stamboel” di akhir abad sembilan belas. Rombongan ke dua teater ini muncul di Surabaya pada 1891. Di Sumatera Utara sendiri lebih kepada Teater Bangsawan.

Kegairahan terhadap teater, khususnya teater yang bernuansa melayu sedemikian besar. Teater-teater rakyat yang muncul lebih dahulu dengan media tutur dan berkembang ke dunia panggung teater, tidak pernah luntur. Bahkan, teater-teater rakyat, mampu menciptakan persaingan yang sehat, hingga zaman keemasannya pada 1920-1930-an.

Dalam memasuki abad ke dua puluh, juga diwarnai munculnya teater opera Cina pada 1909. Nasibnya tak lebih baik dengan Komedi Stamboel yang mulai melemah dengan lahirnya kegairahan baru dalam memahami idiom maupun metode teater yang datang dari Rusia dan Inggris, bahkan Jerman, Perancis, Amerika. Negara-negara Skandinavia pun turut menyumbangkan pandangan-pandangan baru teater selanjutnya. Dengan demikian, kalangan terpelajar Indonesia yang masih berada di bawah penjajahan Belanda maupun Jepang memiliki banyak kesempatan memahami berbagai disiplin maupun pandangan teater.


* * *

Paling tidak sejak 1913, kalangan terpelajar Indonesia menikmati karya Victor Ido yang diterjemahkan oleh Lauw Giok Lan menjadi Karina Adinda, seperti ditulis oleh Tjiong Koen Bie (1913) dan Jacob Sumardjo (1992). Kesadaran baru pada masa-masa itu, melahirkan banyak lakon-lakon perjuangan, tanpa mengurangi upaya-upaya penerjemahan maupun saduran dan adaptasi yang terus menerus terhadap lakon-lakon yang datang dari dataran Eropa.

Setelah tiga puluh tahun Indonesia merdeka, terjadi sejumlah perubahan yang mendasar. Saat inipun masih dapat kita saksikan, kalangan terpelajar kita menggunakan lakon-lakon yang seharusnya sudah mereka ‘reformasi’ untuk kepentingan diri mereka. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, sebagian besar teater pelajar, justru tidak memotivasi diri mereka sendiri, seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Mereka masuk dalam kubangan motif pertunjukan yang mengasingkan mereka pada dunia keseharian. Hanya beberapa kelompok teater pelajar mencoba melakukan berbagai penggalian, untuk menemukan karakter teater dari kalangan terpelajar yang mereka sandang sebagai bagian dari identitas mereka.

Motif pertunjukan yang menjadi dasar pada teater pelajar sekarang ini, berdampak cukup serius pada rendahnya apresiasi teater yang mereka hidupkan. Ini disebabkan pengambilan bahan-bahan pertunjukan yang semata-mata pada teks lakon, apalagi teks lakon “diwajibkan” pada mereka untuk menggunakannya. Sementara itu, media untuk memasuki teks-teks lakon, sangatlah terbatas. Keterbatasan, bukan saja karena asumsi perkembangan teater yang masih belum memadai dalam menghadapi pertumbuhan aktivitas diluar teater, tetapi juga keterbatasan motivasi yang telah terlanjur menjadikan teater semata-mata sebagai sebuah pertunjukan.

Bagi kalangan sekolah, suatu aktivitas siswa dilihat dari kemampuan siswa untuk meraih prestasi yang mengharumkan nama sekolah. Dengan kata lain, kegiatan atau aktivitas berteater di sekolah tidak dilihat dari proses pencapaian teater dan dampaknya pada aktivitas belajar. Lebih ironis lagi, masih terdapat sejumlah sekolah yang melakukan larangan tidak tertulis, berteater di sekolah diharamkan. Tidak ada sarana, apalagi izin untuk mengikuti kegiatan teater.

***

Masing-masing wilayah di Indonesia, memiliki tingkat yang berbeda dalam memasuki dunia teater. Bahkan, antar wilayah di Sumatera Utarapun memiliki perbedaan signifikan satu sama lainnya. Hal ini ditentukan oleh tingkat pergaulan teater dengan berbagai pemahaman teater.

Teater pelajar di sejumlah kota-kota besar di Indonesia, barangkali cukup beruntung. Sejarah teater dan sejarah teater pelajar kita, memberikan isyarat sangat tegas. Teater berjalan beriringan dengan nafas kehidupan publiknya. Pada tingkat selanjutnya, teater menjadi jembatan dalam memahami pertumbuhan yang bergejolak disekitarnya. Akhirnya teater tidak pernah berakhir di panggung pertunjukan. Teater berkelebat dalam darah, dalam nadi, di jantung, di hati dan ditengah-tengah denyut kehidupan semua orang, semua pihak.

Problem Penyutradaraan

Teater sekolah saat ini dapat berlangsung dalam tiga aspek apresiasi dan kreasi.
1) teater di dalam kelas, 2) teater untuk kompetisi sekolah, seperti festival maupun lomba dan 3) teater untuk terapi. Ke tiga aspek ini dapat dilakukan hanya dalam satu aspek, dapat pula dilakukan secara bersamaan.
Konsepsi dasar teater di dalam kelas, memahami karakter antar manusia sebagai bagian dari proses sosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Teater di dalam kelas dapat mengambil tema-tema yang terjadi di sekitar lingkungan siswa. Mereka apresiasi peristiwa-peristiwa yang terjadi, membuat kerangka cerita, dan menentukan peran-peran yang bisa mereka lakukan. Setelah ketiga langkah ini diselesaikan, maka para siswa bisa memperagakannya di depan kelas atau di tempat duduknya masing-masing, tanpa terbebani oleh masalah teknis artistik panggung. Guru cukup memfasilitasi dan melakukan pengawasan terhadap aktivitas siswa.

Jika kita bekerja untuk teater yang berorientasi pada kompetisi siswa –semacam festival, maka terdapat beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, pahamilah apa yang ditentukan oleh penyelenggara, termasuk instrumen penilaian yang akan digunakan. proses selanjutnya adalah berlatih. Penyutradaraan merupakan salah satu aspek penting yang dapat meminimalisir kekurangan pada aspek lain –artistik dan pemeranan.

Aspek penyutradaraan tersebut adalah a) menentukan nada dasar. Ibarat sebuah partitur lagu, nada dasar akan menentukan arah nada selanjutnya. Nada dasar suatu teks maupun naskah dapat dilakukan dengan memahami titik tolak dari suatu teks. Misalnya, cerita tentang seorang rentenir yang kejam. Pahamilah terlebih dahulu akar kekejaman (titik tolak untuk nada dasar) seorang rentenir yang akan dijadikan pijakan.

Ikutilah terus pergerakan atau alur kekejaman. Buatlah gradasi dari setiap perubahan alur tokoh ini; Aspek selanjutnya b) membangun dinamika ruang. Artinya, ruang pertunjukan benar-benar hidup sepanjang pertunjukan. Penonton diharapkan tidak berkedip sedikitpun dan selalu memandangi panggung. Dinamika ruang ini tercipta melalui berbagai kemungkinan interaksi, baik antar individu, bunyi maupun dengan peralatan atau perabotan yang telah disiapkan.

Aspek lain, spontanitas menjadi ciri khusus dalam teater-teater Asia, termasuk Indonesia. Ciri ini membawa bentuk-bentuk teater di Indonesia lebih komunikatif, interaktif dan dapat membangun muatan lokal dan kearifan lokal yang kondusif. Selain bercirikan spontanitas, teater Indonesia juga memiliki kemungkinan dalam pengembangan pengolahan tubuh yang berkorelasi dengan pembentukan kepribadian. Selain pengolahan tubuh, pikiran dan suara, mengolah tubuh juga berkaitan erat dengan pengolahan komponen kejiwaan yang sejalan dengan nilai-nilai etis, moral,sosial dan kultural. Pengolahan ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa percaya diri siswa dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya, termasuk dalam mengikuti proses pembelajaran.

Sisi lain adalah gaya pertunjukan. Sumatera Utara (Medan) banyak memiliki sutradara dengan berbagai gaya (style) yang bersifat teknis, misalnya style internal progressive, gaya penyutradaraan yang berangkat dari potensi diri para pemainnya. Para pemain didorong untuk mengkonstruksi tubuhnya –maupun ucapannya sendiri. Sedangkan style external progressive lebih menekankan kemauan sutradara. Kemauan sutradara bisa masuk pada tingkat pembentukan teknis ruang, seperti komposisi, dinamika pengisian ruang yang memang hampir tidak mungkin dilakukan seorang pemain.
Semoga bermanfaat…

Senin, 02 Februari 2009

Pertunjukan Bangsawan, Jendela Masa Silam

Pertunjukan Bangsawan, Jendela Masa Silam

Oleh : Indira Permanasari

Alkisah hidup seorang lanun atau perompak laut yang kejam. Di Pulau Sebatik, lanun tersebut berdiam. Bersama anak buahnya merampoki kapal-kapal yang lewat, memerkosa perempuan desa, mengganggu para pedagang hingga membuat perairan menjadi kelam. Sultan Lingga sangatlah cemas dengan tindak-tanduk lanun nan kejam.

Suatu saat, lanun Pulau Sebatik jatuh cinta kepada seorang putri bangsawan dan berusaha merebut hati sang putri. Keluarga putri tersebut diganggunya. Ternyata ayah putri bangsawan tersebut yang membuang lanun itu ke Pulau Sebatik dan mengatakan ibu sang lanun telah mati.

Saat pertikaian antara keluarga bangsawan dengan sang lanun, muncul seorang panglima yang kemudian bertarung dengan lanun. Lanun yang kejam terbunuh oleh tangan panglima. Pada saat yang bersamaan pula sang ibu yang ternyata masih hidup muncul dan menangisi putranya.

Kisah tersebut dimainkan Sri Mahkota Lingga dari Daik, Lingga salah satu kelompok teater tradisional “bangsawan”, pada perhelatan Festival Budaya Melayu Internasional di Kota Tanjung Pinang, 10-16 September 2006, di Kepulauan Riau.

Di panggung Gedung Aisyah Sulaiman, telah tertata empat lapis layar dengan setting panggung istana yang digarap serius. Tidak cuma satu jenis setting.

Begitu pergantian babak, layar ungu turun dan kemudian membuka kembali dengan tampilan dekorasi panggung berbeda mulai dari suasana istana, pinggir pantai sampai hutan. Para pemain berpakaian khas Melayu berwarna-warni mengilap.

Tidak hanya setting, cerita yang dibawakan oleh kelompok teater tersebut diyakini kebenarannya atau diangkat dari kisah nyata.

“Pulau Sebatik sekarang juga entah kenapa masih angker. Orang takut bertandang ke sana,” kata sutradara Rusdy Arasy sebelum pementasan.

Pertunjukan “bangsawan” dari Daik itu ibarat hendak menghidupkan suasana di masa lampau, tidak hanya dari visual, tetapi juga cerita. “Untuk mendapatkan cerita kami mencari orang yang mengerti tentang zaman dahulu. Biasanya cerita-cerita tentang kerajaan. Orang tua yang masih ada kami datangi supaya bercerita,” kata Rusdy.

Logat dan bahasa yang dipakai juga seperti masa lalu. Supaya pas, para pemain diberi kostum yang dibayangkan merupakan penggambaran Melayu zaman kerajaan dan tentu saja benda-benda modern yang tak ada kala itu diharamkan. Pemain, misalnya, tidak diperbolehkan memakai sepatu sampai jam tangan.

Dengan segala perlengkapan itu, “bangsawan” harus dimainkan di tempat tertutup dan membutuhkan biaya yang besar. Pencahayaan dan pengeras suara harus memadai. “Sekali tampil butuh minimal Rp 5 juta. Jumlah pemain beserta kru mencapai 40 orang,” ucap pimpinan rombongan Sri Mahkota Lingga, Khamarul Zaman.

Realitas pelaku

Realitas para pelaku “bangsawan” jauh panggung dari kenyataan. Kalau di atas panggung mereka menjadi sultan, permaisuri, panglima, hulubalang, dan keluarga kaya, aslinya tidak demikian. Kebanyakan atau hampir 80 persen anggota Sri Mahkota Lingga merupakan pegawai negeri sipil dan mereka mempunyai waktu luang yang jelas.

Penghidupan tidak dapat berharap banyak dengan berkesenian “bangsawan”. Bagi mereka, berkesenian hanya meneruskan tradisi dan bukan untuk mencari keuntungan. “Satu bungkus juga kadang tidak dapat dari pementasan,” kata salah seorang pemain, Sulaiman (40), yang juga seorang guru sekolah dasar. Sang sutradara, Rusdy Arasy, berprofesi sebagai kepala sekolah dasar di Daik, Lingga.

Upah yang tidak seberapa itu habis untuk operasional pementasan, transportasi, dan sisa yang kecil itu dibagikan ke puluhan anggota.

Nasib kesenian itu juga tidak jauh berbeda dengan kesenian tradisional lain di Nusantara yang memasuki masa senja. Biaya pertunjukkan dan kekurangan generasi penerus kesenian membuat “bangsawan” sulit berkembang.

Kelompok “bangsawan” yang pentas tersebut misalnya, baru lima tahun belakangan aktif kembali setelah diadakan revitalisasi oleh pemerintah dan organisasi nirlaba. “Tadinya kami sudah terpencar-pencar. Sekarang sudah mulai berlatih dan pentas setahun tiga kali,” kata Rusdy Arasy yang sejak berumur belasan tahun sudah bermain “bangsawan”.

Perjalanan “bangsawan”

Sesungguhnya dari “bangsawan” yang dibawakan malam itu tercermin pula kehidupan pada masa Kesultanan Melayu. Pada masa kerajaan Riau-Lingga, Daik, Lingga sempat menjadi ibu kota kerajaan setelah Sultan Johor jatuh.

Aswandi Syahri dari Yayasan Khazanah Melayu yang menulis buku Mak Yong Teater Tradisional Kabupaten Kepulauan Riau mengungkapkan, “bangsawan” merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan yang diimpor di kawasan Lingga seperti Daik dan Singkep menemukan coraknya.

Teater tradisional tersebut konon berasal dari corak seni pertunjukan wayang parsi. Awalnya berkembang di Pulau Pinang dan menyebar ke berbagai daerah Kepulauan Riau.

Sebuah rombongan wayang bangsawan atau wayang parsi dari Pulau Pinang ke Istana Riau di Penyengat atas undangan Sultan Abdul Rahman Muazamsyah (1889-1911). Kemudian jenis teater itu menyebar ke beberapa daerah di Kepulauan Riau dan berkembang bentuknya.

Sutamat Arybowo, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang mendalami tentang “bangsawan” sejak tahun 1990 hingga sekarang berpendapat serupa. “Bangsawan” merupakan pertunjukan yang telah komersil lantaran dimainkan di tempat umum seperti pasar dan penonton membayar karcis.

Dia menduga teater tersebut sampai di kawasan Lingga tahun 1870-an. “Waktu itu harga kopra naik dan perekonomian sangat baik sehingga para pedagang membutuhkan hiburan. Kesenian menjadi berkembang,” katanya.

Di Daik, Lingga, perkembangan bangsawan tak lepas dari kehidupan istana. “Tadinya teater itu dimainkan di dekat istana untuk memberikan pendidikan tentang adat istiadat kerajaan sekaligus menjadi legitimasi kekuasaan,” kata Sutamat.

Namun, ada pula yang berpendapat bangsawan mengalami peralihan dari sakral ke profan. “Tadinya untuk kepentingan ritual seperti peringatan hari jadi kerajaan dan keagamaan. Setelah itu, beralih menjadi hiburan,” katanya.

Lantas, muncullah cerita khas Daik, Lingga, seperti Hulubalang Daik, Panglima Ayam Berkokok, Daeng Marewah mengambil setting cerita pada waktu kerajaan Kerajaan Riau-Lingga berdiri.

“Bangsawan” tentu saja tidak hanya sekadar hiburan yang menyenangkan, tetapi juga dapat menjadi salah satu jendela untuk memahami Melayu. “Sebagai peneliti, saya sendiri, seni pertunjukan dengan metaforanya menjadi pintu masuk untuk melihat masa lalu,” ujarnya.

Senin, 26 Januari 2009

Industri Teater Riau Perlu Perhatian Banyak Pihak

Industri Teater Riau Perlu Perhatian Banyak Pihak
Wednesday, 21 January 2009





Keberadaan seni peran seperti teater di Riau ternyata belum mampu memberikan sesuatu yang menjanjikan kepada para pelakunya. Hal ini tercermin dari masih minimnya peminat bidang seni satu ini, termasuk belum adanya upaya pengelolaan yang baik terhadap pertunjukan seni peran itu sendiri.
Fenomena ini diakui oleh beberapa seniman yang bergelut di bidang perteateran di Riau. Bahwa saat ini tetater Riau belum mampu menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan, pendapat yang lebih keras dilontorkan salah seorang seniman muda Marhalim Zaini. Menurutnya, teater Riau malah bisa dibilang jalan di tempat. Katanya, tidak ada usaha nyata dari para pelaku untuk menjadikan seni peran ini menjadi sesuatu yang lebih baik, baik dalam artian secara kualitas maupun secara kuantitas penampilan.
“Persoalannya tidak pada uang, tapi ada pada tidak adanya dedikasi yang keras pelakunya untuk mengembangkan teater agar bisa lebih berkembang. Uang kalau di Riau saya rasa mudah dicari, tinggal dari pelakunya mau atau tidak berusaha bagi kemajuan teater itu,” ujar Marhalim kepada riaubisnis.com, Selasa (20/01) di Pekanbaru.
Upaya untuk menjadikan teater sebagai sebuah industri, sebenarnya sudah berulang kali dilakukan oleh para pelakunya. Tapi katanya, sejauh ini dukungan yang didapat tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan. “Ibarat kata pepatah masih jauh panggang dari api,” sindirnya.
Sementara itu, menurut tokoh teater Riau, SPN GP Ade Dharmawi juga mengatakan, upaya itu tetap ada, namun persoalannya penonton Riau belum siap dengan perubahan, seperti pemberlakukan karcis setiap ingin menonton penampilan teater dan segala macamnya. Sindir Ade, bahkan yang lebih menggelikan, bukan dukungan yang didapat tapi justru ejekan yang justru datang dari para seniman itu sendiri.
“Kita sendiri tertawa, seniman yang seharusnya mampu mendukung hal ini malah mentertawakannya,” keluhnya.
Menurut Ade, perlu perhatian serius dari semua pihak, baik itu menyangkut pembinaan bagi para pelaku seni itu sendiri, maupun bagi para pengelola agar kegiatan pementasan terus bisa berjalan secara rutin. Dengan itu semua, harapnya, maka secara berproses mutu dan kualitas pertujukan seni bisa lebih ditingkatkan, karena tanpa ada dukungan dari semua pihak, maka dunia teater di Riau akan tetap seperti sekarang.
Di sisi lain, dukungan dari pemerintah, menurutnya sudah ada, namun selama ini yang terjadi acap kali dukungan berupa bantuan itu tidak mengenai sasaran, sehingga apa yang dilakukan pemerintah melalui lembaga-lembaga kesenian belum mampu memberikan kontribusi yang nyata terhadap pembinaan pelaku seni itu sendiri.
Persoalan yang sama juga dibenarkan oleh dosen teater Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), Bero S Soekarno. Menurutnya, kalau sejauh ini apa yang dilakukan oleh pemerintah sudah mengarah ke arah sana, tapi perlu ada upaya yang lebih jelas untuk melaksankannya. “Bantuan pemerintah terhadap dunia teater di Riau harus dilakukan secara kontinue, agar seniman teater di Riau bisa berkreasi lebih jauh lagi,” harap Bero.(Tar)

REPUBLIK PETRUK


Republik Petruk, Bila "Babu" jadi Ratu Jan 11, '09 10:31 PM
for everyone

Saya cepat-cepat menulis review ini karena pertunjukan ini “hanya” berlangsung 2 minggu dari tanggal 9-25 Januari 2009 di Grha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta. Dua minggu –berturut-turut—adalah durasi yang luar biasa untuk sebuah pertunujukan teater Indonesia.

Lakon ini adalah produksi teater koma ke 116 Teater Koma. Ini juga angka yang hebat mengingat komunitas-komunitas teater Indonesia susah sekali menjaga eksistensi mereka. Kalau pun masih eksis dalam jangka waktu lama, mereka biasanya mengkis-mengkis antara ada dan tiada.

Republik Petruk berawal dari kisah Mustakaweni yang dendam pada Arjuna. Arjuna, kstria Pandawa itu sudah membunuh Ayahnya. Arjuna sendiri membunuh ayah Mustakaweni karena diutus oleh dewa gara-gara pria itu menginginkan wanita lain meski ia sudah beristri.

Untuk mengalahkan Arjuna, Mustakaweni harus mencuri jimat Kalimasada, jimat pelindung kelima Pendawa. Dengan menyamar menjadi Gatutkaca Mustakeweni berhasil merebut jimat sakti ini. Pandawa pun resah, kalang kabut untuk merebut pusaka itu kembali. Tapi siapa yang bisa? Bima pun sudah dikalahkan oleh sang pencuri dengan pusaka curiannya.

Kebetulan di saat itu muncul Bambang Priambada, anak Arjuna yang mencari ayahnya (maklum anak Arjuna kan berceceran di mana-mana). Untuk menunjukkan baktinya Bambang Priambada yang masih hijau ini bersedia merebut kembali jimat Kalimasada. Bagaimana bisa? Sementara Mustakaweni adalah wanita sakti. Ditambah jimat itu, ia tidak terkalahkan.

Tapi Priambada punya satu hal istimewa. Sebagai anak Arjuna, dia mewarasi ketampanan sang Ayah. Mustakaweni jatuh cinta. Sebaliknya Priambada juga jatuh hati pada pencuri cantik ini. Jimat Kalimasada berhasil direbut lalu dititipkan pada Petruk, abdi yang selama ini mengikuti Priambada untuk dikembalikan kepada Pandawa.

Petruk, diprovokosi oleh para Dewa, justru memanfaatkan keadaan. Dengan jimat sakti di tangan ia menaklukan negara Loji Tengaran dan menjadi raja di sana. Petruk yang semula abdi itu mendadak jadi ratu. Kerajaannya tampak makmur dan kaya raya. Tapi apa benar demikian? Satu persatu musibah dan kekacauan datang. Kebobrokan pun mulai bermunculan.

Cerita ini menggambarkan begitulah keadaannya bila seorang “babu” alias orang yang tidak berkompeten naik tahta menjadi pemimpin. Mirip ya dengan situasi sekarang di mana orang yang entah siapa, prestasinya apa, pengin jadi pemimpin bangsa.

Masih banyak lagi pelajaran moral khas Wayang dalam lakon ini. Misalnya, seperti dalam kisah Mustakaweni, kita harus menerima konsekuensi ketika orang yang kita cintai dihukum sebagai akibat kejahatannya. Bukan salah yang menghukum dong. Wong mereka juga hanya menjalankan perintah.

Pandawa yang hendak membangun candi Eka pun juga mendapat pencerahan bahwa tidak ada gunanya kita memaksakan suatu keseragaman. Candi itu akhirnya diubah menjadi candi Bhinneka. Pesan-pesan itu masih tetap relevan sampai kini, hingga seolah-olah menyentil sana-sini..

Pertunjukan itu sendiri lumayan menghibur. Kualitas aktor yang prima menjadi salah satu keunggulan pentas ini. Dialog yang panjaaaang sekali berhasil dibawakan dengan baik. Cornelia Agatha juga bisa melakonkan Mustakaweni dengan prima. Semua pemain mumpuni dalam olah vokal, peran, plus menyanyi dan menari. Musiknya juga bagus dan matang.

Kostumnya yang sangat komik (mirip kostum anime Dragonballz) juga digarap dengan detail yang apik. Warna-warnanya sangat memanjakan mata. Para pemain mengenakan rambut berwarna hijau stabilo, biru terang, kuning pirang, memberontak tapi tetap artistik. Begitu pula settingnya. Dengan propert-properti yang diberi roda hingga mudah digeser, pergantian setting selalu berjalan mulus dan tepat waktu. Ini masih ditambah crew settingnya yang juga berkostum dan bergaya, menjadi bagian dari pertunjukan, bukannya sekadar orang yang lalu lalang mengganggu. Backdrop yang besar-besar juga membuat pertunjukan ini makin enak di mata.

Yang jadi poin minusnya adalah cerita yang bertele-tele! Empat jam! Ini suatu durasi yang sangat egois bagi penonton. Padahal jelas, cerita ini bisa diringkas di sana-sini. Monolog Petruk di bagian pembukaan misalnya, bisa dihilangkan sama sekali. Dialog yang ngalor-ngidul juga bisa dipangkas.

Yang juga tidak mengena pada saya adalah humornya! Sebagian besar penonton tertawa pada lelucon mereka, tapi bagi saya entah ya humornya kok garing dan basi. Udah biasalah humor kayak gitu dalam teater. Teater anak SMA juga menggunakan humor yang sama. Apakah ini karena saya sudah terbiasa dengan pertunjukan teater atau karena saya orang Jawa –yang lebih suka dengan humor gaya Jawa—entahlah.

All in all, untuk sebuah pertunjukan dengan tiket 30-100 ribu, Republik Petruk adalah suguhan teater yang layak ditonton, bahkan oleh orang “awam” sekali pun.

MASA LALU LUCU

EKPLEMENTASI WACANA WAWASAN NUSANTARADAN PERKEMBANGAN TEATER TRADISI INDONESIA

SEKAPUR SIRIH

Sehingga terucap salam kepada para pembaca sekalian semuanya. Berhatur terima kasih kepada pelindung agung umat manusia sedunia,Tuhan yang maha esa.

Karena tuntutan tugas dan kegelisahan penyusun akan kegetiran dunia seni yang dipandang kaji mata saja menjadi kronologis terselesainya sebuah reportase singkat mengenai seni dan diberi judul
“EKPLEMENTASI WACANA WAWASAN NUSANTARADAN PERKEMBANGAN TEATER TRADISI INDONESIA”.

Sunhgguh merupakan kebahagian yang sangat luar biasa dimana akhirnya reportase singkat ini selesai disusun oleh penyusun. Namun, keyakinan akan kekurangan dari berbagai kajian bacaan yang diutarakan lewat tulisan ini sepenuhnya pula adalah keterbatasan penyusun sebagai seorang pemula. Harapan akan kritik saran sungguh merupakan pemasukan yang berharga.

TERIMA KASIH DAN SELAMAT MEMBACA.




PENDAHULUAN

Indonesia negera Republik, berazaskan Pancasila dengan jumlah kependudukan masuk rata-rata lima besar dunia (dok.kependudukan tahun 1999). Ini merupakan kekuatan besar yang selama ini belum dimanfaatkan maksimal pemberdayaan dari berbagai segi kehidupannya.

Kekuatan ini sama sekali belum terpetakan. Dari segi seni budaya saja baru ada pemusatan dibagian tengah negari nusantara. Wilayah timur Indonesia sam sakali sering tersisih, terlupakan.

Ada kalanya kita tidak terpikirkan akan hal ini sebelumnya. Kita sangking asyik terbuainya dengan masalah dalam negeri sendiri, sementara waktu sering melupakan senjata ampuh kejayaan Indonesia itu sendiri. Kesenianlah yang selama ini secara tidak langsung telah mengantarkan Indonesia untuk dikenal khalayak dunia.


ISI DAN PENJABARAN

Kenyataan pahitnya kita sering mengagap remeh apa yang ada dan menjadi senjata ampuh Indonesia itu dimata dunia global seperti sekarang ini.

Masyarakan kita yang mendiami wilayah nusantara ini dengan jumlah kepulauannya hampir 18000 lebih, bukan saja dibedakan karena segi geografisnya saja. Secara tidak langsung, sejarah perjuangan juga merupakan hal yang menjadi dasar pembentuknya keragaman seni budaya Indonesia. Salah satunya tergambar jelas pada bentuk kesenian pertunjukan. Kesatuan lebih kecilnya lagi adalah teater tradisi yang mana menjadi suatu keagungan negeri nusantara.

Adapun beberapa seni pertunjukan teater tradisi antara lainnya seperti tesebut, Randai di Sumatra Barat, Mendu di Riau, Kethoprak di Jawa, Mamanda di Kalimantan, dan banyak lagi lain nya yang menjadi ciri masing daerah yang ada di Indonesia.

Namun sangat disayangkan sekali. Selama ini teater tradisi sering dianggap sangat miskin pembaharuan dan akhirnya lenyap terlupakan oleh peradapan baru yang sangat kejam dan menggilas semua aspek kehidupan. Seperti ada ketidaksiapan para pelaku seni teater tradisi tersebut untuk menghadapi globalisasi dan keragaman bebas antar wilayah negara di belahan dunia. Dan kecemasan ini belum usai. Masih banyak pertanyaan yang mengganjal bagi kita semua tentunya. Salah satunya mungkin adalah, adakah penanggup jawab ini semua, dan apakah kita siap kehilangan seni kita sendiri lalu kehilangan satu peradapan yang pernah ada ???.







KESIMPULAN

Adalah merupakan kewajiban kita mengenai kejadian ini semua. Kelangsungan seni teater tradisi adalah salah satu bukti nyata yang harus dicari solusi penyaleasainnya. Pendalamakan wawasan nusantara dan kecintaan akan wilayah republik kesatuan Indonesia merupakan jawabannya.

Jangan malu bercermin kembali apa yang sudah dilakukan, agar dapat pula menjadi kenangan berharga dan pembelajaran masa depan seni budaya dan peradapan kehidupan di wilayah nusantara Indonesia.

TARI RENTAK BULIAN


abstrak :

Tari Rentak Bulian merupakan salah satu dari ragam kekayaan daerah yang ada di Riau. Di daerah lain di tanah air Indonesia yang kita cintai ini pasti banyak lagi kesenian adat serta ragam budaya yang serupa ataupun berbeda. Merupakan suatu inventasi yang sangat besar bagi bansa kita apabila kita mau mempelajari serta menjaga kelestarianyan, sehingga seni daerah dapat menjadi tuan di negerinya sendiri.

Alangkah merupakan suatu keindahan yang sangat luar biasa apabila kaum muda mau mempelajari nilai budaya. Dalam perkembangannya kelak dapat dipastikan bahwa tali waris budaya tidak akan mudah putus begitu saja. Serta akhirnya keragaman dan keanekaragaman seni budaya dapat terjaga sepanjang masa.

Terimakasih dari penulis akan kepedulian pembaca terhadap papernya. Salah satu bukti nyata para peminat dan pewris budaya adalah dengan menggali informasi yang terkandung dalam berbagai bacaan seni seperti papert ini.

Kepedulian saudara akan berdampak besar pada penerusan tali budaya Indonesia.

1

Bahasa gerak yang tergambar lewat seni tari merupakan suatu yang sangat luar biasa. Pemaknaan setiap lentik jari, setiap rentak langkah, setiap tajamnya pandang dan juga lain hal lagi adalah suatu makna yang saling terkait satu sama lainnya. belum lagi lenggok gemulai dari para penarinya atau malah gambaran ekspresi kejiwaan yang tampak dari raut air muka yang luar biasa memikat penikmat seni tari.

Jauh dari itu semua, ada kalanya kita jarang memperhatikan poin terpenting dari sebuah tari. Adapun poin terpenting tersebut merupakan arti dari makna tarian itu sendiri. Tari yang merupakan perpaduan gerak yang intens dengan tidak meninggalkan kaidah keanggunnan merupakan media seni pengungkapan berbagai rasa dari suatu kejadian laku yang mendasari sebuah tema.

Bentuk tari salah satu skop kecilnya adalah ritual. Dalam paper ini diulas singkat sebuah tari ritual pengobatan yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Indragiri Hulu, sebuah kota Kabupaten yang juga merupakan tempat asal penyusun di Provinsi Riau. Ritual pengobatan tersebu di kenal dengan nama Tari Rentak Bulian.

Pada paper ini juga nantiya penyusun akan membawa pembaca untuk dapat berfikir bukan sekedar memaknai karya seni dengan tepukan tangan saja, tapi juga berharap setelah membaca semua isi paper ini, pembaca tahu makna dari cara menilai sebuah karya seni yang sangat mengagumkan itu lewat media tari ( salah satunya ).

Sekiranya pula dalam paper ini ada suatu ketumpangtindihan cara pemaknaan, maka sebelumnya penyusun mohon maaf terlebih dahulu sebagai seorang manusia biasa yang juga tak elak dari pada kesalahan.

2
LEMBAR ISI DAN PENJABARAN

Sejarah Tari

Daerah Kabupaten Indragiri Hulu merupakan pintu gerbang langsung perbatasan daerah Provinsi Riau dengan Provinsi Jambi di arah Timur, berbatasan pula dengan beberapa kabupaten lain yang ada di Riau pada tiga arah mata angin lainnya. Secara cultural merupakan wilayah dengan adat yang kental kesukuan Melayu nya. Keadan alam nya yang sebagian besar adalah daerah daratan yang kaya akan hasil hutan serta termasuk dalam cagar alam Bukit Tigapuluh juga mengindikasi nama Indragiri Hulu sebagai wilayah melayu daratan di Provinsi Riau.

Keragaman alam telah diadapsi pendudukya yang hidup disana. Hal ini menciptakan sirkulasi budaya dengan ragam aneka bentuknya. Seni pertujukan yang terkenal seperti: Panggung teater rakyat ( Ranggung, Luka gila, Berandam , etc ) , Tari daerah ( Zapin, Silat pangean, Rentak bulian , etc ) , Kesenian musik ( Rebana, Joget, Gendang tabuh, etc ) merupakan sebagian kecil yang dapat kita jumpai di daerah tersebut hingga sekarang.

Ritual Pengobatan Rentak Bulian sendiri merupakan asal mulanya. Rentak yang maksudnya merentak atau melangkah, dan bulian adalah tempat singgah mahluk bunian atau mahluk halus dalam bahasa daerah setempat.

Tari Kreasi Rentak Bulian diambil senama dengan nama aslinya dengan menyeleksi ragam gerak tampa mengurangi arti dan makna yang terkandung didalamnya.

Kenapa Mesti Diseleksi Gerak dan Ragamnya ?
Pertanyaan itu yakin akan terlontar bagi para pembaca,
Penyeleksian ini terjadi karena kebutuhan pementasan yang harus memperhatiakn nilai dan hukum penunjang sebuah pertujukan. Ritual Pengobatan Rentak Bulian yang berlangsunng semalam suntuk dari segi

3
waktu pertujukan amat menyita tenaga, lain hal lagi seperti adanya sebuah ketentuan khusus bagi para penari yang terlibat yaitu tujuh orang dara desa yang tercantik dan masih perawan dengan seorang batin atau pemimpin upacara yang tak boleh sembarangan orang, batin adalah penduduk asli, seorang pria yang sudah paham betul keadaan masyarakat serta dapat dituakan dan dipercaya. Maka dengan tidak mengurangi arti dari acara asal mulanya, dibuatkanlah sebuah tari kreasi dengan mengindahkan tabu atau larangan. Namun tetap mempertahankan akar tradisi serta adat budayanya.

Terciptalah Tari Rentak Bulian.


Ritual Tari

Karena tari Rentak Bulian diangkat dari paham upacara adat Pengobatan maka ada juga beberapa hal yang perlu di perhatikan sebelum tari ini di langsungkan. Semua hal yang perlu diperhatikan tersebut terangkum pada bagian ritual tari sebagai mana berikut.

1. Penari adalah terdiri dari delapan orang muda yaitu 7 ( tujuh ) perawan
dara yang cantik dan molek tidak sedang kotor, serta 1 ( satu ) orang pemuda gagah perkasa,
2. Seluruh penari mendapat izin tetua adat kampung,
3. Sebelum menari, penari sudah diasapi dengan gaharu
4. Alat musik sudah pula di keramati
5. mayang pinang terpilih mudanya serta perapian tak boleh di mantera

Acara ritual tari ini biasanya berlangsung sebelum pertunjukan tari. Apabila ritual tari ini diindahkan, biasanya akan mendapat celaka yang tak di inginkan.


Para Penari

Seperti sudah dijelaskan diatas tadi bahwa penari berjumlah delapan orang dengan ketentuan 7 (tujuh ) orang dara dan 1 (satu ) orang bujag, ada pula ketentuan lain bagi para penari yaitu,

4


1. penari perempuan dalam keadaan bersih dari haid,
2. penari laki-laki sudah baligh
3. hapal benar gerak dan laku tari
4. sudah diasapi gaharu sebelum pementasan
5. setiap penari tak ada yang berdekatan bertalian darah

Dalam jalannya tari, tubuh para penari biasanya akan dalam keadaan siap menari dengan catatan sehat dan juga akan menjadi media penolak bala oleh para mahluk gaib. Biasanya pula penari pria akan dalam keadaan setengah sadar ( trans ) pada akhir puncak tari. Pada waktu itulah pula penari pria tersebut akan memecahkan mayang pinang sebagai media pengobatan dengan merentak mengelilingi penari perempuan lainnya.


Kelengkapan Tari

Bulian ; sejenis rumah rumahan atau pondok untuk tempat ritual
Perapian ; tempat untuk membakar sesaji
Kapur sirih ; alat untuk membuat balak atau tanda silang
Mayang pinang ; dari pohon pinang dan diukir motif melayu
Baju adat ; untuk dipakai para penari dan pemusik
Alat musik ; untuk pengiring tari



Alat Musik Pengiring Tari

Ada beberapa buah alat musik pengiring tario Rentak Bulian ini yaitu,

Gong, alat dari besi logam sebagai pengiring ritme langkah kaki penari
Seruling, alat tiup dari buluh bambu pilihan berlubang tujuh sampai duabelas sebagai tangga nada.
Ketok-ketok, dari sebongkah batang kelapa tua yang berdiameter 30-45 cm, di lubangi menyerupai kentongan pada daerah jawa.
Tambur, gendang besar sebagai bass.
Kerincing, pada kaki penari

5

Alat musik kulit lainnya sebagai gendang dengan ukuran dan bentuk yang berfariasi.


Jalannya Tari

Tari diawali dengan musik yang bertalu dengan langkah rentak bulian khas irama daerah setempat. Para penari berturut – turut dari seorang penari laki-laki yang berada di tengah apitan dua orang penari perempuan yang membawa mayang pinang dan perapian, serta lima penari perempuan lainnya berjejer berurut di belakang penari laki – laki masuk ke tengah arena tari di mana telah terletak sebuah bulian. Lahkah kaki mereka kaku dan tangan menyilang kedada depan.
Penari laki – laki yang bertelanjang dada dan bersayap putih adalah pemimpin gerak dengan tatap mata yang tajam di sebut batin.
Dua penari perempuan dikanan dan kiri batin adalah pengawal yang bertugas membawa kelengkapan upacara yaitu perapian di sebelah kiri, dan mayang pinang di sebelah kanan.

Semua penari bergerak dipimpin batin sampai ke bulian. Dalam pada itu, sesempai di bulian batin melakukan upacara dibantu dua orang pengawal. Dari mengapikan perapian sampai dengan mengasapi mayang pinang serta membalak tubuh atau membuat tanda silang pada tubuh penari laki – laki.

Lima penari lain nya bergerak mengikiti ritme musik dalam posisi duduk dan mengambil sikap menyembah batin.

Setelah batin selesai upacaranya maka ia akan mentilik para penari perempuan di sekitar bulian. Para penari perempuan termasuk pengawal akan mengantisipasi apabila secara tiba – tiba batin dalam keadaan trans.

Ketika batin dalam keadaan trans atau setengah sadar, ia akan memecahkan mayang pinang sebagai simbolik pengobatan, kemudian kembali ia mengitari penari perempuan untuk menghilangkan bala. Sang pengawal mengambil sikap menjaga para penari lainnya dari bahaya ketidaksadaran sang batin. Pengawal akan merebut mayang dan batin kembali terjaga dari keadaan trans nya.

6

Berikutnya , para penari akan mengitari bulian dan mengambil sikap pause atau berhenti sejenak dalam tari lalu kembali bergerak meninggalkan area tari.

Tari selesai.

Minggu, 25 Januari 2009

Identifikasi Sosiologis Melayu dan Seni Teater Modern di Riau


Melayu-


Kata atau nama Melayu telah dikenal dalam rentang waktu yang cukup lama. Kata atau nama Melayu telah disebut-sebut pada tahun 664/45 Masehi, dan muncul pertama kali dalam catatan (buku tamu) kerajaan China.[1

Melayu diartikan sebagai satu suku yang berasal dari Indalus (Sumatra) dan Seberang Sumatra (Malaka). Di Indalus atau Andalas terdapat kerajaan yang berhadapan dengan Pulau Bangka, di sana ada Sungai Tatang dan Gunung Mahameru serta sungai yang bernama ‘Melayu’. Rajanya bernama Demang Lebar Daun. Kata ‘melayu’ masih ditemui pada bahasa-bahasa di sekitar Palembang dan juga di Pulau Jawa; yang dihubungkan dengan kata ‘melaju’, atau ‘deras’,’kencang’. Kemudian ‘melayu’ dapat diartikan sungai deras aliran airnya; bisa juga ditafsirkan orang atau penduduknya pedagang yang gesit[2, dinamis. Melayu dapat pula berarti dagang; yang berarti orang asing. Bangsa Melayu identik sebagai seorang pedagang yang gesit. Fenomena kata ‘melayu’ yang kali kedua ini dan kemudian ditolak ukur dengan pernyataan ‘melayu’ pada poin pembahasan di pragraf sebelumnya juga sejalan dengan pernyataan dari catatan seorang biksu China bernama I tsing (Haan 1897; Schnittger 1939). Menurut catatan sang biksu, dia sempat mengunjungi Kerajaan Melayu sebanyak dua kali, yakni tahun 671 M dan 685 M.[3

Melayu juga diidentikan dengan Agama Islam. Yang disebut ‘orang melayu’ adalah orang yang memeluk agama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu; tidak ada orang Melayu yang tidak beragam Islam.[4

Tinjauan-tinjauan tentang suku Melayu tersebut di atas menggunakan metode pendekatan bahasa dan pemaknaan kata ‘melayu’ dalam arti kata. Metode tersebut sering pula disebut sebagai metode filologis. Dari hasil tinjauan tersebut tergambarlah bahwa melayu merupakan suatu suku yang berada di Pulau Sumatra dengan ciri suka berdagang dan sukses dalam pelayaran dagangnya. Kelokasian tempat dari asal-usul suku melayu ada dimana ? (tentang perkiraan suku Melayu ada di Sumatra Tengah), masih sangat kabur dan kurang jelas keberadaannya, atau: apakah ‘melayu’ hanyalah satu sebutan saja bagi seorang pelayar dan melaksanakan aktifitas perdagang pada masa dahulunya ?

Melayu pada tinjauan filologis hanya menafsirkan sebagai suku yang berasal dari Sumatra dan Seberang Sumatra (Malaka). Karena kebiasaan dagang suku tersebut maka persebaran adat mereka tersiar di Pulau Jawa dan seluruh Nusantara Indonesia juga di belahan bumi lainnya.

Melayu yang juga diidentikan dengan bahasa, adalah cikal bakal dari Bahasa Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa dasar dari pernyataan ini karena ‘Bahasa Melayu’ sudah akrab semenjak zaman dagang sebelum Nusantara menjadi Indonesia. ‘Bahasa Melayu’ digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan dagang tempo dulu. Fungsi Bahasa Melayu sebagai linguafranca[5 ini, persebarannya tampak meliputi budaya yang begitu luas, hampir meliputi seluruh daerah pantai di tepian lautan ‘pedalaman’ Indonesia.[6

Teks tulis dari Bahasa Melayu adalah huruf arab dengan struktur yang dituliskan berdasarkan ketetapan dengan pasal aturan tulis. Unsur yang mempermudah diterimanya akumulasi bunyi kedua bahasa (Arab dan Melayu) itu karena ada persamaan bunyi pada sebagian besar huruf yang ada dalam Bahasa Melayu dengan bunyi yang ada dalam Bahasa Arab.[7 Huruf Arab yang ditulis tanpa petanda baca tersebut sering pula disebut Huruf Arab Melayu (pegon). Penyebaran Bahasa Melayu meluas sejalan dengan pesat majunya perdagangan Suku Melayu itu sendiri.

Budaya Melayu banyak dipengaruhi Agama Islam. Melayu yang berkembang di Sumatra melingkupi kerajaan-kerajaan bekas Hindu dan Budha serta animisme[8 di nusantara. Adapun kerajaan–kerajaan itu antara lain : Samudara Pasai di Kalimantan, Sriwijaya di Sumatra, Aceh di Sumatra, Goa di Sulawesi, Aceh dan juga Riau Lingga.



Seni di Riau-


Khususnya di Riau yang kemudian merupakan salah satu wilayah temadun dari Budaya Melayu, bermukim bermacam-macam suku bangsa seperti Suku Melayu yang dianggap sebagai suku asli dan dominan, suku pendatang dari seluruh Indonesia dan suku-suku terasing. Di samping itu juga menetap di daerah ini bangsa pedagang dari luar negeri, yakni Cina. India, Arab dan Bangsa lainnya[9. Keragaman atmosfir kesukuan di Riau ini mengindikasikan terjadinya akulturasi budaya. Kebudayaan Melayu yang pada awalnya mendominasi berbaur dengan budaya bawaan lainnya yang ada di Riau.

Kerumpunan Melayu yang berkembang di Riau sangat mendominasi. Ini tidak dapat dilepaskan dari nilai sejarah pembentuknya. Kebudayaan Melayu yang begitu kental di wilayah Riau kemudian disinyalir sebagai suatu petanda sentiment yaitu tentang pusat Budaya Melayu. Oleh pemerintah setempat dan tentunya didukung oleh segenap Bangsa Indonesia, kemahawarisan Budaya Melayu yang mendominasi wilayah Riau ini menjadi sebuah proses pelacakan pusat Budaya Melayu semenjak beberapa tahun silam dengan sebuah misi publik yaitu : Riau adalah pusat dari Budaya Melayu Dunia pada tahun 2020 kelak.

Dominasi Budaya Melayu di Riau ini kemudian menjadi faktor sosiologis masyarakatnya. Hubungan sosial antar masyarakat Riau yang terdiri dari berbagai akar budaya yang saling berakulturasi telah menempatkan kemahawarisan Budaya Melayu sebagai filter [10budaya yang berkembang disana.

Keidentikan Budaya Melayu adalah peleburan budaya dan nilai norma Agama Islam. Agama Islam telah pula menjadi ciri lahirnya beragam bentuk kreatifitas seni sebagai bagian dari wujud Kebudayaan Melayu.

Seni di Kebudayaan Melayu adalah bagian dari nilai keindahan yang tertata apik dan tak lepas dari tuntunan nilai norma keislaman. Bentuk seni yang berkembang terdiri dari ragam budaya yang dibedakan dari faktor sosiologisnya. Kebudayan Melayu (yang juga berkembang di Riau) terdiri dari; 1) Kebudayaan Melayu Bangsawan, 2) Kebudayaan Melayu Lokal/ Rakyat.

Kebudayaan Melayu Bangasawan terbentuk dari hubungan sosial yang terjadi dalam lingkungan Bangsawan/Istana Kemelayuan. Kebudayaan Melayu Lokal/ Rakyat terbentuk dari hubungan sosial yang terjadi dalam lingkungan rakyat diluar wilayah istana. Bentuk-bentuk dari Kebudayan Melayu Bangsawan dan Kebudayan Melayu Lokal/ Rakyat itu diwujudkan dalam hubungan sosiologis masyarakat dalam kesatuan. Pola dari kedua bentuk Kebudayaan Melayu tersebut menciptakan bentukan ciri pada masyarakat pendukungnya masing-masing. Garis besarnya adalah Kebudayaan Melayu ada dalam ritus kehidupan masyarakatnya (lahir-hidup-kematian), ritual keagamaan dan adat, serta permainan adat dan kesenian.

Rangkaian pragraf berikut akan membatasi subjek pembahasannya yaitu kesenian ‘melayu’ yang berada di wilayah Riau.

Riau sejak dahulu sudah menjadi daerah lalu lintas perdagangan negara-negara tetangga, sehingga Riau melahirkan sosok dan warna budaya yang beragam. Hal ini merupakan beban, sekaligus berkah historis-geografis. Riau seakan-akan merupakan ladang perhimpunan berbagai potensi kesenian, yang di dalamnya terdapat pengaruh kebudayaan negara-negara tetangga dan kebudayaan daerah Indonesia lainnya. Kesenian Melayu Riau sangat beragam, karena kelompok-kelompok kecil yang ada dalam masyarakat juga berkembang. Perbedaan antara Riau Lautan dan Riau Daratan menunjukkan keanekaragaman kesenian di Riau. Hal ini sekaligus sebagai ciri khas Melayu Riau, karena dari pembauran kelompok-kelompok itu pandangan tentang kesenian Riau terbentuk.[11 Maka pada zamannya, Kebudayaan Melayu telah menjadi sistem yang berubah tiap waktu sesuai masyarakat pendukungnya yang juga mengalami perkembangan*

Kesenian adalah sebagai salah satu produk kebudayaan. Di Riau, terdapat beberapa bentuk kesenian diantaranya pertunjukan (teater, tari musik, dan nyanyian) dan sastra. Khususnya seni teater dalam kesenian pertunjukan di Riau terakumulasi pula dalam beberapa jenis dan bentukan (tercatat; yang telah identivikasi dalam proses pendokumentasian dan penginventarisasian) yaitu: Teater Bangsawan (Wayang Persi), Berdah, Berbalas Pantun, Dul Muluk, Nandung, Mak Yong, Mamanda, Mendu, Nandai, Randai Kuantan, Surat Kapal, Ranggung**

Teater modern di Riau adalah seni teater yang berkembang dengan ciri kedaerahan Riau (Kebudayaan Melayu sebagai identitas). Pada bagian berikutnya dari makalah ini akan disampaikan pandangan penulis terhadap perkembangan Teater Modern di Riau dimana penulis merupakan juga salah satu seniman teater dari latar keluarga Budaya Melayu di Riau, bertempat tinggal juga di Riau dan kemudian sejak tahun 2004 sampai sekarang mengurangi konsentrasi kegiatan kreatifnya di wilayah Riau karena alasan menempuh pendidikan (seni) diluar wilayah Riau.



Keterangan :
* ; perlu pembahasan lebih lanjut.
** ; beberapanya dalam proses penelitian dimana salah satunya (ranggung) juga dalam proses penelitian oleh penulis.


Teater Modern di Riau-


Menimbang perkembangan teater modern di Riau adalah menelaah sejengkal cerita yang sampai sekarang tidak pernah usai tuntas di tamatkan. Tentang fokus sajian pada bagian ini penulis memberikan beberapa alinea pragraf yang berisi tentang sudut pandang teater modern di Riau di tinjauan dari beberapa hal dengan berbagai ragam masukan dan referensi yang telah dikumpulkan dari berbagai pihak. Adapun teater modern di Riau ini akan coba di uraikan melalui tinjauan-tinjauan terhadap; 1) Sanggar-Komunitas Seni [teater] modern di Riau, 2) Tokoh Seni [teater] Modern di Riau, dan 3) Perkembangan Seni [teater] Modern di Riau dalam objektifitas berbagai Pementasan Seni [teater] di Riau.

Babakkan selanjutnya dari penelaahan teater modern di Riau adalah sajian dari penjelasan berbagai tinjauan tersebut diatas. Dengan mempertegas pernyataan (bahwa) Seni [teater] Modern di Riau adalah bentuk sajian seni teater sebagai pertunjukan[12 yang (secara objektif penulis) perkembangannya dipengaruhi oleh kaidah norma dan adat seni Melayu, dimana sebagai landasannya yaitu agama Islam.

Pelacakan Sanggar-Komunitas Seni [teater] modern di Riau menyematkan beberapa hal yaitu bahwa ragamnya terdiri atas Kelompok Sanggar yang cikal bakalnya adalah sebuah kegiatan klub atau ekstrakulikuler di sebuah sekolah, dan Kelompok Sanggar yang cikal bakalnya adalah komunitas seni. Sanggar dan komunitas tersebut mengandalkan supliran dana dari pihak – pihak yang berkenan dan memang berkewajiban akan kelangsungan keberadaan mereka. Hanya beberapa sanggar yang mampu bertahan dengan mengandalkan keuangan guna pendanaan kebutuhan sanggar-komunitasnya dari itensitas produksi kreatif. Beberapa sanggar yang kemudian sampi dengan sekarang mamou bertahan juga adalah sanggar tersebut memiliki salahsatu pemarkarsa atau seorang tokoh utama yang cukup berpengaruh dalam sanggar-komunitas tersebut. Berbeda dengan komunitas yang cikal bakalnya adalah sebuah komunitas seni, sanggar teater sekolah yang merupakan kelompok siswa/pelajar tergantung keberadaannya dengan sebuah system yang berada di sekolah tersebut dan jumlah keanggotaan dan pemerhati keberadaannya. Fenomena sanggar-komunitas teater yang cikal bakalnya adalah kegiatan klub atau ekstrakulikuler di sekolah adalah sebuah lingkaran kesinambungan yaitu hilang dan terbentuknya berjalan bersamaan dan selalu ada demikian.Kemudian sebuah fenomena yang menarik lagi adalah keberadaan tentang komunitas taeter kamus/ universitas, yaitu dimana kelomok ini adalah tidak bisa dikatagorikan sebagai kelompok sekolah dan juga tidak bisa pula dikatagorikan sebagai kelompok data komunitas umum. Komunitas teater kampus adalah sebuah kelompok mahasiswa-mahasiswi yang berminat untuk berkegiatan dalam kreatifitas teater. Keanggotaannya kebanyakan adalah purna dari kelompok komunitas teater sekolah dan masih bingung/mencari identitas dalam pemaknaan seni taeter sebagai sebuah komunitas independent.

Penulis menanggapi pula tetang keberadaan tentang komunitas teater yang dicatatnya sebagai komunitas teater festival yaitu keberadaan kelompok ini hanya bisa ditemukan pada saat diadakannya sebuah perhelatan festival teater dan kemudian setelah kegiatan festival tersebut usai, begitupula adanya usainya kegiatan komunitas tersebut.

Nama Alm. Idrus Tintin adalah seoarng sosok pendahulu perkembangan taeter modernd di Riau. Dalam dunia seni peran/teater, berbagai pengalaman telah ia peroleh dan berbagai sumbangsih telah ia berikan.[13 Ia adalah juga seorang penulis puisi dan naskah teater baik berupa saduran ataupun karya pribadi.[14

Kemudian beberapa nama-nama lain adalah tidak segaung dan segema nama-nama Alm. Idrus Tintin. Ini entah dikarenakan apakah seniman teater Riau adalah sosok lowprofile atau memang karena ketiadaan seniman teater lagi di riau ?.

Nama-nama tokoh teater riau yang lain memang ada, namun tak ada yang sampai melegenda dan meninggalkan banyak bekas yang dapat dikenang. Kemajemukan ini bisa jadi karena juga pengaruh budaya Melayu. Adanya hal tersebut yaitu dikarenakan pengaruh budaya Melayu yaitu pengagungan atas nama selain nama sang pencipta adalah sikap yang kurang terhormat.

Keragaman yang lain yang dapat disimpulkan dari tokoh teater Riau adalah ragam dari dua varian umum yaitu; tokoh teater yang mengetahui bentuk teater secara autodidak dan tokoh teater yang mengetahui bentuk teater secara autodidak dan akademik . Kebanyakan tokoh teater autodidak mendapatkan pengetahuan tentang teater adalah berdasarkan kegiatan teater tradisi yang menjadi bagian dari keseharian kegiatan yang ia lakukan bersama kelompoknya. Dengan adanya perkembangan teater hingga menjadi bentukan teater modernd maka tokoh – tokoh teater autodidak tadi mendapatkan banyak informasi yang lebih dalam ragam perkembangan karya-karya teaternya. Tokoh teater autodidak dan akademis adalah sosok dari beberapa orang yang menempuh jalur pendidiakan teater secara akademik dan juga memiliki latar pengetahuan teater dari ragam kegiatannya sebelum menempuh teater secara akademis. Ragam dari tokoh teater autodidak dan akademik adalah juga biasanya berlatarkan dari keanggotaan di sebuah kominitas teater.

Bersama dengan komunitas dan kelompok sanggarnya, tokoh – tokoh teater itu hanya sebagian kecil yang mementaskan karya secara berkala. Demikian pula dengan keberadaan kelompok teater sanggar sekolah yaitu itensitas pementasan mereka hanya berupa kegiatan festival dan peringatan hari-hari besar saja.

Merupakan suatu keuntungan sebenarnya yaitu keadaan geografi daerah Riau yang berada di lintas antar negara dan point of interest sebagai daerah budaya kerumpunan Melayu yang kental. Letak Riau sebagai lintas antar negara memungkinkan adanya bentuk akulturasi budaya yang mengimbas kepada perkembangan bentuk pementasan teater modernd Riau. Selain itu juga, perkembangan teater Riau akan mendapatkan suatu contoh keragaman dari berbagai macam perkembangan teater di luar wilayah. Sebagai point of interest daerah budaya kerumpunan Melayu pun memberikan warna yang berbeda dari contoh pertunjukan teater modernd di Riau. Namun hal ini belum bisa dimaksimalkan. alhasil adalah sekarang bentukan teater modernd di Riau masih sangat jauh tertinggal dari perkembangannya karena beberapa catatan penting di antaranya :
1. Alternatif tentang bentuk budaya Melayu yang mempengaruhi (secara langsung/tidak) teater modern di Riau tidak bisa dimaksimalkan untuk dijadikan sesuatu yang menciri khas,
2. Kelompok komunitas / sanggar teater di Riau hanya mampu memberikan tontonan yang terjebak kepada proses dilematis pendanaan dan ke-kurang-ahli-an pengelolaan produksi pementasan.
3. Tokoh teater Riau yang masih mempunyai anggapan yaitu teater hanya menjadi suatu kegiatan sampingan penghibur kebosanan, demikian pula keberadaan masyarakat Riau yang masih beranggapan teater hanya sebagai suatu bentuk tontonan hiburan.
4. Proses pembekalan tentang teater sebagai sarana komunikasi masa, belum menjadi suatu yang dapat di utamakan oleh pe-seni di Riau

Penulis menyadari bahwa kegelisahannya dalam makalah ini akan memberikan suatu dampak pada ketidaksetujuan dan pernyataan sikap oleh berbagai pihak pembaca. Perlu diadakannya alternatif diskusi yang berkelanjutan atas makalah ini agar tercipta suatu makalah yang sempurna dan bisa menjadi bentukan dari sebuah loncatan untuk proses pengidentifikasian sosiologis Melayu dan seni teater modernd di Riau.

Terimakasih.


[1 Prof. Suwardi MS,dkk, di kutip dari Lukman Harun, Mengembalikan Kejayaan Melayu di Indragiri (Yogyakarta, Alaf Riau bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta, Maret 2007), hal 4; Kata atau nama Melayu telah di sebut-sebut pada tahun 664/45 M., dan muncul pertama kali dalam catatan (buku tamu) kerajaan China. Menurut catatan itu, Melayu (ditulis “Moleyeo”) adalah nama sebuah kerajaan dan kerajaan itu telah mengirimkan utusannya ke begeri tersebut pada tahun ketika catatan ini di buat (Wolter 1967). Ada beberapa hal penting yang bisa di simpulkan dari catatan itu: pertama, Melayu adalah sebuah kerajaan; kedua, kerajaan tersebut adalah kerajaan yang berdaulat, sebab hanya kerajaan berdaulatlah yang bisa dan berwenang mengirim utusan (diplomatiknya) ke negara lain (apalagi ke sebuah negara adikuasa) untuk “sowan” yang biasanya juga bermakna adanya aliansi diplomatik atau politik; ketiga, “buku tamu” Kerajaan China tersebut tidak menyebutkan lokasi di mana Melayu atau kerajaan “Moleyeo” itu berada.
[2 Saleh Saidi, Melayu Klasik : Khasanah Sastra Sejarah Indonesia Lama (Denpasar, Larasan-Sejarah, April 2003), hal 22
[3 Prof. Suwardi MS,dkk, di kutip dari Lukman Harun, Mengembalikan Kejayaan Melayu di Indragiri (Yogyakarta, Alaf Riau bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta, Maret 2007), hal 5 : Menurut catatan sang biksu, dia sempat mengunjungi Kerajaan Melayu sebanyak dua kali, yakni tahun 671 M dan 685 M. Ada dua catatan penting dari Memoire I Tsing ini; sewaktu pertama kali ia mengunjungi Melayu, Melayu merupakan negara (kerajaan) yang merdeka (berdaulat), dan ketika kunjungan yang kedua Melayu telah menjadi bagian dari (ditaklukkan) kerajaan Sriwijaya.
[4 Ibid , hal 39
[5 Linguafranca: bahasa pengantar komunikasi
[6 Edi Sedyawati, Budaya Indonesia ; Kajian Arkeologi, Seni, Dan Sejarah (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007) hal 339 : Fungsi Bahasa Melayu sebagai linguafranca ini, persebarannya tampak meliputi budaya yang begitu luas, hampir meliputi seluruh daerah pantai di tepian lautan ’pedalaman’ Indonesia. Bahasa Melayu bahkan kadang-kadang masuk sebagai intrusi ke dalam karya-karya sastra daerah lain, seperti dalam sastra Jawa dan sastra Sunda. Bahasa Melayu pun dapat menjadi ‘benih’ bagi indentitas suatu kelompok etnik baru seperti orang Betawi (dari Batavia) di daerah Jakarta.
[7 Prof. Suwardi MS,dkk, di kutip dari Lukman Harun, Mengembalikan Kejayaan Melayu di Indragiri (Yogyakarta, Alaf Riau bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta, Maret 2007), hal 51
[8 Animisme: kepercayaan terhadap roh-roh
[9 Nursam. S, Ungkapan Tradisional Daerah Melayu (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1984/1985), hal 2
[10 Filter: alat penyaring
[11 Idrus Tintin dan B.M. Syamsuddin, Kesenian Riau dan Perkembangannya (makalah), Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya” bertempat di Tanjung Pinang, Riau, Indonesia 17-21 Juli 1985.
[12 Dra. Yudiaryani, M.A. , Panggung Teater Dunia Perkembangan dan Perubahan Konvensi (Yogyakarta, Pustaka Gondho Suli, Cetakan Pertama 2002), hal 14 : Teater adalah pertunjukan. Namun apa yang dimaksud tepatnnya arti kata “pertunjukan”? Secara mudahnya, pertunjukan adalah sebuah urutan laku (aksi) yang dilakukan di suatu tempat untuk menarik perhatian, memberikan hiburan, pencerahan, dan keterlibatan orang lain yaitu penonton. Pertunjukan teater dapat dilihat melalui susunan unsur teater (Brockett, 1988) yaitu: apa yang dipentaskan (teks, skenario, atau transkrip); pementasan (termasuk semua proses kreasi dan presentasi); dan penonton. Setiap unsur tersebut penting, dan masing-masing mempengaruhi seluruh konsep tentang teater.
[13 www.melayuonline.com, Makalah “Kesenian Riau dan Perkembangannya”, Dalam dunia seni peran/teater, berbagai pengalaman telah ia peroleh dan berbagai sumbangsih telah ia berikan. Itu dimulainya sejak tahun 1943 saat bermain drama dalam bahasa Jepang produksi Raja Khadijah. Tahun 1944 di Tanjungpinang, ia menggelar sandiwara dengan ide cerita Nosesang, dimana cerita ini bertutur tentang kehidupan petani dan nelayan. Tahun 1945 di Rengat, beberapa kali ia bermain sandiwara bersama grup Seniman Muda Indonesia (SEMI) asuhan Agus, Moeis dan Hasbullah. Pada tahun 1952, ia kembali ke Tarempa dan mendirikan sebuah sanggar sandiwara bernama “Gurinda”. Untuk menimba ilmu dan memperluas wawasan seni peran yang telah ia geluti, pada tahun 1959, ia memutuskan mengembara ke Pulau Jawa.
Di sinilah Idrus berkenalan dengan seniman-seniman Jawa antara lain; Asrul Sani, Rendra, B. Jayakesuma, Soekarno M. Noor, Ismet M. Noor, Teguh Karya, Chairul Umam, dan seniman lain. Pertemuan inilah yang menjadi titik tolak perkenalan Idrus dengan seni peran/teater modern/kontemporer. Selama berada di Jawa, ia sempat menjadi peserta dalam berbagai forum diskusi para seniman, baik formal maupun non-formal, terutama yang membicarakan tentang pemeranan dan penyutradaraan. Pada tahun 1961, Idrus Tintin kembali menetap di Rengat dan membentuk sebuah kelompok teater. Sejak menetap di Riau, setiap ada perayaan hari-hari besar, Idrus selalu tampil bermain teater. Tahun 1964, Idrus mengikuti Festival Drama di Pekanbaru yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Riau. Naskah yang dipentaskan adalah naskah Pasien. Tahun 1968, Idrus menyutradarai pertunjukan teater modern di Gedung Trikora Pekanbaru berjudul Tanda Silang. Tahun 1974, bersempena Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, Idrus menyutradarai pertunjukan teater kolosal di Balai Dang Merdu Pekanbaru dengan judul Harimau Tingkis. Pada tahun yang sama, ia bersama Armawai KH. menubuhkan wadah pembinaan teater di Riau yang diberi nama “Teater Bahana.”

[14 Ibid, Sebagai sosok seniman dan budayawan, Idrus Tintin telah banyak melahirkan karya, antara lain berupa sajak dan puisi yang terangkum dalam berbagai buku yaitu: Luput, adalah kumpulan sajak Idrus Tintin, berisi 26 sajak, dituliskan kembali oleh Armawi KH (tahun 1986). Burung Waktu, adalah kumpulan puisi Idrus Tintin, berisi 37 judul puisi, diterbitkan oleh Gramitra Pekanbaru (tahun 1990). Idrus Tintin Seniman dari Riau: Kumpulan Puisi dan Telaah, adalah kumpulan tiga judul puisi Idrus Tintin yaitu: Luput, Burung Waktu, dan Nyanyian di Lautan Tarian di Tengah Hutan (tahun 1996). Jelajah Cakrawala; Seratus Lima Belas Sajak Idrus Tintin, adalah kumpulan puisi Idrus Tintin (tahun 2003).
Selain karya-karya tersebut di atas, Idrus Tintin juga memiliki karya-karya lain berupa naskah teater dan pernah dipentaskan, yaitu: naskah cerita berjudul “Buih dan Kasih Sayang Orang Lain”, Naskah cerita berjudul “Bunga Rumah Makan”, naskah cerita berjudul “Awal dan Mira”, naskah cerita berjudul “Pa­sien”. Kesemuanya ditulis dan telah dipentaskan dalam sebuah pementasan di Tanjungpinang.