Jumlah Pengunjung Saat Ini

Senin, 26 Januari 2009

Industri Teater Riau Perlu Perhatian Banyak Pihak

Industri Teater Riau Perlu Perhatian Banyak Pihak
Wednesday, 21 January 2009





Keberadaan seni peran seperti teater di Riau ternyata belum mampu memberikan sesuatu yang menjanjikan kepada para pelakunya. Hal ini tercermin dari masih minimnya peminat bidang seni satu ini, termasuk belum adanya upaya pengelolaan yang baik terhadap pertunjukan seni peran itu sendiri.
Fenomena ini diakui oleh beberapa seniman yang bergelut di bidang perteateran di Riau. Bahwa saat ini tetater Riau belum mampu menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan, pendapat yang lebih keras dilontorkan salah seorang seniman muda Marhalim Zaini. Menurutnya, teater Riau malah bisa dibilang jalan di tempat. Katanya, tidak ada usaha nyata dari para pelaku untuk menjadikan seni peran ini menjadi sesuatu yang lebih baik, baik dalam artian secara kualitas maupun secara kuantitas penampilan.
“Persoalannya tidak pada uang, tapi ada pada tidak adanya dedikasi yang keras pelakunya untuk mengembangkan teater agar bisa lebih berkembang. Uang kalau di Riau saya rasa mudah dicari, tinggal dari pelakunya mau atau tidak berusaha bagi kemajuan teater itu,” ujar Marhalim kepada riaubisnis.com, Selasa (20/01) di Pekanbaru.
Upaya untuk menjadikan teater sebagai sebuah industri, sebenarnya sudah berulang kali dilakukan oleh para pelakunya. Tapi katanya, sejauh ini dukungan yang didapat tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan. “Ibarat kata pepatah masih jauh panggang dari api,” sindirnya.
Sementara itu, menurut tokoh teater Riau, SPN GP Ade Dharmawi juga mengatakan, upaya itu tetap ada, namun persoalannya penonton Riau belum siap dengan perubahan, seperti pemberlakukan karcis setiap ingin menonton penampilan teater dan segala macamnya. Sindir Ade, bahkan yang lebih menggelikan, bukan dukungan yang didapat tapi justru ejekan yang justru datang dari para seniman itu sendiri.
“Kita sendiri tertawa, seniman yang seharusnya mampu mendukung hal ini malah mentertawakannya,” keluhnya.
Menurut Ade, perlu perhatian serius dari semua pihak, baik itu menyangkut pembinaan bagi para pelaku seni itu sendiri, maupun bagi para pengelola agar kegiatan pementasan terus bisa berjalan secara rutin. Dengan itu semua, harapnya, maka secara berproses mutu dan kualitas pertujukan seni bisa lebih ditingkatkan, karena tanpa ada dukungan dari semua pihak, maka dunia teater di Riau akan tetap seperti sekarang.
Di sisi lain, dukungan dari pemerintah, menurutnya sudah ada, namun selama ini yang terjadi acap kali dukungan berupa bantuan itu tidak mengenai sasaran, sehingga apa yang dilakukan pemerintah melalui lembaga-lembaga kesenian belum mampu memberikan kontribusi yang nyata terhadap pembinaan pelaku seni itu sendiri.
Persoalan yang sama juga dibenarkan oleh dosen teater Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), Bero S Soekarno. Menurutnya, kalau sejauh ini apa yang dilakukan oleh pemerintah sudah mengarah ke arah sana, tapi perlu ada upaya yang lebih jelas untuk melaksankannya. “Bantuan pemerintah terhadap dunia teater di Riau harus dilakukan secara kontinue, agar seniman teater di Riau bisa berkreasi lebih jauh lagi,” harap Bero.(Tar)

REPUBLIK PETRUK


Republik Petruk, Bila "Babu" jadi Ratu Jan 11, '09 10:31 PM
for everyone

Saya cepat-cepat menulis review ini karena pertunjukan ini “hanya” berlangsung 2 minggu dari tanggal 9-25 Januari 2009 di Grha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta. Dua minggu –berturut-turut—adalah durasi yang luar biasa untuk sebuah pertunujukan teater Indonesia.

Lakon ini adalah produksi teater koma ke 116 Teater Koma. Ini juga angka yang hebat mengingat komunitas-komunitas teater Indonesia susah sekali menjaga eksistensi mereka. Kalau pun masih eksis dalam jangka waktu lama, mereka biasanya mengkis-mengkis antara ada dan tiada.

Republik Petruk berawal dari kisah Mustakaweni yang dendam pada Arjuna. Arjuna, kstria Pandawa itu sudah membunuh Ayahnya. Arjuna sendiri membunuh ayah Mustakaweni karena diutus oleh dewa gara-gara pria itu menginginkan wanita lain meski ia sudah beristri.

Untuk mengalahkan Arjuna, Mustakaweni harus mencuri jimat Kalimasada, jimat pelindung kelima Pendawa. Dengan menyamar menjadi Gatutkaca Mustakeweni berhasil merebut jimat sakti ini. Pandawa pun resah, kalang kabut untuk merebut pusaka itu kembali. Tapi siapa yang bisa? Bima pun sudah dikalahkan oleh sang pencuri dengan pusaka curiannya.

Kebetulan di saat itu muncul Bambang Priambada, anak Arjuna yang mencari ayahnya (maklum anak Arjuna kan berceceran di mana-mana). Untuk menunjukkan baktinya Bambang Priambada yang masih hijau ini bersedia merebut kembali jimat Kalimasada. Bagaimana bisa? Sementara Mustakaweni adalah wanita sakti. Ditambah jimat itu, ia tidak terkalahkan.

Tapi Priambada punya satu hal istimewa. Sebagai anak Arjuna, dia mewarasi ketampanan sang Ayah. Mustakaweni jatuh cinta. Sebaliknya Priambada juga jatuh hati pada pencuri cantik ini. Jimat Kalimasada berhasil direbut lalu dititipkan pada Petruk, abdi yang selama ini mengikuti Priambada untuk dikembalikan kepada Pandawa.

Petruk, diprovokosi oleh para Dewa, justru memanfaatkan keadaan. Dengan jimat sakti di tangan ia menaklukan negara Loji Tengaran dan menjadi raja di sana. Petruk yang semula abdi itu mendadak jadi ratu. Kerajaannya tampak makmur dan kaya raya. Tapi apa benar demikian? Satu persatu musibah dan kekacauan datang. Kebobrokan pun mulai bermunculan.

Cerita ini menggambarkan begitulah keadaannya bila seorang “babu” alias orang yang tidak berkompeten naik tahta menjadi pemimpin. Mirip ya dengan situasi sekarang di mana orang yang entah siapa, prestasinya apa, pengin jadi pemimpin bangsa.

Masih banyak lagi pelajaran moral khas Wayang dalam lakon ini. Misalnya, seperti dalam kisah Mustakaweni, kita harus menerima konsekuensi ketika orang yang kita cintai dihukum sebagai akibat kejahatannya. Bukan salah yang menghukum dong. Wong mereka juga hanya menjalankan perintah.

Pandawa yang hendak membangun candi Eka pun juga mendapat pencerahan bahwa tidak ada gunanya kita memaksakan suatu keseragaman. Candi itu akhirnya diubah menjadi candi Bhinneka. Pesan-pesan itu masih tetap relevan sampai kini, hingga seolah-olah menyentil sana-sini..

Pertunjukan itu sendiri lumayan menghibur. Kualitas aktor yang prima menjadi salah satu keunggulan pentas ini. Dialog yang panjaaaang sekali berhasil dibawakan dengan baik. Cornelia Agatha juga bisa melakonkan Mustakaweni dengan prima. Semua pemain mumpuni dalam olah vokal, peran, plus menyanyi dan menari. Musiknya juga bagus dan matang.

Kostumnya yang sangat komik (mirip kostum anime Dragonballz) juga digarap dengan detail yang apik. Warna-warnanya sangat memanjakan mata. Para pemain mengenakan rambut berwarna hijau stabilo, biru terang, kuning pirang, memberontak tapi tetap artistik. Begitu pula settingnya. Dengan propert-properti yang diberi roda hingga mudah digeser, pergantian setting selalu berjalan mulus dan tepat waktu. Ini masih ditambah crew settingnya yang juga berkostum dan bergaya, menjadi bagian dari pertunjukan, bukannya sekadar orang yang lalu lalang mengganggu. Backdrop yang besar-besar juga membuat pertunjukan ini makin enak di mata.

Yang jadi poin minusnya adalah cerita yang bertele-tele! Empat jam! Ini suatu durasi yang sangat egois bagi penonton. Padahal jelas, cerita ini bisa diringkas di sana-sini. Monolog Petruk di bagian pembukaan misalnya, bisa dihilangkan sama sekali. Dialog yang ngalor-ngidul juga bisa dipangkas.

Yang juga tidak mengena pada saya adalah humornya! Sebagian besar penonton tertawa pada lelucon mereka, tapi bagi saya entah ya humornya kok garing dan basi. Udah biasalah humor kayak gitu dalam teater. Teater anak SMA juga menggunakan humor yang sama. Apakah ini karena saya sudah terbiasa dengan pertunjukan teater atau karena saya orang Jawa –yang lebih suka dengan humor gaya Jawa—entahlah.

All in all, untuk sebuah pertunjukan dengan tiket 30-100 ribu, Republik Petruk adalah suguhan teater yang layak ditonton, bahkan oleh orang “awam” sekali pun.

MASA LALU LUCU

EKPLEMENTASI WACANA WAWASAN NUSANTARADAN PERKEMBANGAN TEATER TRADISI INDONESIA

SEKAPUR SIRIH

Sehingga terucap salam kepada para pembaca sekalian semuanya. Berhatur terima kasih kepada pelindung agung umat manusia sedunia,Tuhan yang maha esa.

Karena tuntutan tugas dan kegelisahan penyusun akan kegetiran dunia seni yang dipandang kaji mata saja menjadi kronologis terselesainya sebuah reportase singkat mengenai seni dan diberi judul
“EKPLEMENTASI WACANA WAWASAN NUSANTARADAN PERKEMBANGAN TEATER TRADISI INDONESIA”.

Sunhgguh merupakan kebahagian yang sangat luar biasa dimana akhirnya reportase singkat ini selesai disusun oleh penyusun. Namun, keyakinan akan kekurangan dari berbagai kajian bacaan yang diutarakan lewat tulisan ini sepenuhnya pula adalah keterbatasan penyusun sebagai seorang pemula. Harapan akan kritik saran sungguh merupakan pemasukan yang berharga.

TERIMA KASIH DAN SELAMAT MEMBACA.




PENDAHULUAN

Indonesia negera Republik, berazaskan Pancasila dengan jumlah kependudukan masuk rata-rata lima besar dunia (dok.kependudukan tahun 1999). Ini merupakan kekuatan besar yang selama ini belum dimanfaatkan maksimal pemberdayaan dari berbagai segi kehidupannya.

Kekuatan ini sama sekali belum terpetakan. Dari segi seni budaya saja baru ada pemusatan dibagian tengah negari nusantara. Wilayah timur Indonesia sam sakali sering tersisih, terlupakan.

Ada kalanya kita tidak terpikirkan akan hal ini sebelumnya. Kita sangking asyik terbuainya dengan masalah dalam negeri sendiri, sementara waktu sering melupakan senjata ampuh kejayaan Indonesia itu sendiri. Kesenianlah yang selama ini secara tidak langsung telah mengantarkan Indonesia untuk dikenal khalayak dunia.


ISI DAN PENJABARAN

Kenyataan pahitnya kita sering mengagap remeh apa yang ada dan menjadi senjata ampuh Indonesia itu dimata dunia global seperti sekarang ini.

Masyarakan kita yang mendiami wilayah nusantara ini dengan jumlah kepulauannya hampir 18000 lebih, bukan saja dibedakan karena segi geografisnya saja. Secara tidak langsung, sejarah perjuangan juga merupakan hal yang menjadi dasar pembentuknya keragaman seni budaya Indonesia. Salah satunya tergambar jelas pada bentuk kesenian pertunjukan. Kesatuan lebih kecilnya lagi adalah teater tradisi yang mana menjadi suatu keagungan negeri nusantara.

Adapun beberapa seni pertunjukan teater tradisi antara lainnya seperti tesebut, Randai di Sumatra Barat, Mendu di Riau, Kethoprak di Jawa, Mamanda di Kalimantan, dan banyak lagi lain nya yang menjadi ciri masing daerah yang ada di Indonesia.

Namun sangat disayangkan sekali. Selama ini teater tradisi sering dianggap sangat miskin pembaharuan dan akhirnya lenyap terlupakan oleh peradapan baru yang sangat kejam dan menggilas semua aspek kehidupan. Seperti ada ketidaksiapan para pelaku seni teater tradisi tersebut untuk menghadapi globalisasi dan keragaman bebas antar wilayah negara di belahan dunia. Dan kecemasan ini belum usai. Masih banyak pertanyaan yang mengganjal bagi kita semua tentunya. Salah satunya mungkin adalah, adakah penanggup jawab ini semua, dan apakah kita siap kehilangan seni kita sendiri lalu kehilangan satu peradapan yang pernah ada ???.







KESIMPULAN

Adalah merupakan kewajiban kita mengenai kejadian ini semua. Kelangsungan seni teater tradisi adalah salah satu bukti nyata yang harus dicari solusi penyaleasainnya. Pendalamakan wawasan nusantara dan kecintaan akan wilayah republik kesatuan Indonesia merupakan jawabannya.

Jangan malu bercermin kembali apa yang sudah dilakukan, agar dapat pula menjadi kenangan berharga dan pembelajaran masa depan seni budaya dan peradapan kehidupan di wilayah nusantara Indonesia.

TARI RENTAK BULIAN


abstrak :

Tari Rentak Bulian merupakan salah satu dari ragam kekayaan daerah yang ada di Riau. Di daerah lain di tanah air Indonesia yang kita cintai ini pasti banyak lagi kesenian adat serta ragam budaya yang serupa ataupun berbeda. Merupakan suatu inventasi yang sangat besar bagi bansa kita apabila kita mau mempelajari serta menjaga kelestarianyan, sehingga seni daerah dapat menjadi tuan di negerinya sendiri.

Alangkah merupakan suatu keindahan yang sangat luar biasa apabila kaum muda mau mempelajari nilai budaya. Dalam perkembangannya kelak dapat dipastikan bahwa tali waris budaya tidak akan mudah putus begitu saja. Serta akhirnya keragaman dan keanekaragaman seni budaya dapat terjaga sepanjang masa.

Terimakasih dari penulis akan kepedulian pembaca terhadap papernya. Salah satu bukti nyata para peminat dan pewris budaya adalah dengan menggali informasi yang terkandung dalam berbagai bacaan seni seperti papert ini.

Kepedulian saudara akan berdampak besar pada penerusan tali budaya Indonesia.

1

Bahasa gerak yang tergambar lewat seni tari merupakan suatu yang sangat luar biasa. Pemaknaan setiap lentik jari, setiap rentak langkah, setiap tajamnya pandang dan juga lain hal lagi adalah suatu makna yang saling terkait satu sama lainnya. belum lagi lenggok gemulai dari para penarinya atau malah gambaran ekspresi kejiwaan yang tampak dari raut air muka yang luar biasa memikat penikmat seni tari.

Jauh dari itu semua, ada kalanya kita jarang memperhatikan poin terpenting dari sebuah tari. Adapun poin terpenting tersebut merupakan arti dari makna tarian itu sendiri. Tari yang merupakan perpaduan gerak yang intens dengan tidak meninggalkan kaidah keanggunnan merupakan media seni pengungkapan berbagai rasa dari suatu kejadian laku yang mendasari sebuah tema.

Bentuk tari salah satu skop kecilnya adalah ritual. Dalam paper ini diulas singkat sebuah tari ritual pengobatan yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Indragiri Hulu, sebuah kota Kabupaten yang juga merupakan tempat asal penyusun di Provinsi Riau. Ritual pengobatan tersebu di kenal dengan nama Tari Rentak Bulian.

Pada paper ini juga nantiya penyusun akan membawa pembaca untuk dapat berfikir bukan sekedar memaknai karya seni dengan tepukan tangan saja, tapi juga berharap setelah membaca semua isi paper ini, pembaca tahu makna dari cara menilai sebuah karya seni yang sangat mengagumkan itu lewat media tari ( salah satunya ).

Sekiranya pula dalam paper ini ada suatu ketumpangtindihan cara pemaknaan, maka sebelumnya penyusun mohon maaf terlebih dahulu sebagai seorang manusia biasa yang juga tak elak dari pada kesalahan.

2
LEMBAR ISI DAN PENJABARAN

Sejarah Tari

Daerah Kabupaten Indragiri Hulu merupakan pintu gerbang langsung perbatasan daerah Provinsi Riau dengan Provinsi Jambi di arah Timur, berbatasan pula dengan beberapa kabupaten lain yang ada di Riau pada tiga arah mata angin lainnya. Secara cultural merupakan wilayah dengan adat yang kental kesukuan Melayu nya. Keadan alam nya yang sebagian besar adalah daerah daratan yang kaya akan hasil hutan serta termasuk dalam cagar alam Bukit Tigapuluh juga mengindikasi nama Indragiri Hulu sebagai wilayah melayu daratan di Provinsi Riau.

Keragaman alam telah diadapsi pendudukya yang hidup disana. Hal ini menciptakan sirkulasi budaya dengan ragam aneka bentuknya. Seni pertujukan yang terkenal seperti: Panggung teater rakyat ( Ranggung, Luka gila, Berandam , etc ) , Tari daerah ( Zapin, Silat pangean, Rentak bulian , etc ) , Kesenian musik ( Rebana, Joget, Gendang tabuh, etc ) merupakan sebagian kecil yang dapat kita jumpai di daerah tersebut hingga sekarang.

Ritual Pengobatan Rentak Bulian sendiri merupakan asal mulanya. Rentak yang maksudnya merentak atau melangkah, dan bulian adalah tempat singgah mahluk bunian atau mahluk halus dalam bahasa daerah setempat.

Tari Kreasi Rentak Bulian diambil senama dengan nama aslinya dengan menyeleksi ragam gerak tampa mengurangi arti dan makna yang terkandung didalamnya.

Kenapa Mesti Diseleksi Gerak dan Ragamnya ?
Pertanyaan itu yakin akan terlontar bagi para pembaca,
Penyeleksian ini terjadi karena kebutuhan pementasan yang harus memperhatiakn nilai dan hukum penunjang sebuah pertujukan. Ritual Pengobatan Rentak Bulian yang berlangsunng semalam suntuk dari segi

3
waktu pertujukan amat menyita tenaga, lain hal lagi seperti adanya sebuah ketentuan khusus bagi para penari yang terlibat yaitu tujuh orang dara desa yang tercantik dan masih perawan dengan seorang batin atau pemimpin upacara yang tak boleh sembarangan orang, batin adalah penduduk asli, seorang pria yang sudah paham betul keadaan masyarakat serta dapat dituakan dan dipercaya. Maka dengan tidak mengurangi arti dari acara asal mulanya, dibuatkanlah sebuah tari kreasi dengan mengindahkan tabu atau larangan. Namun tetap mempertahankan akar tradisi serta adat budayanya.

Terciptalah Tari Rentak Bulian.


Ritual Tari

Karena tari Rentak Bulian diangkat dari paham upacara adat Pengobatan maka ada juga beberapa hal yang perlu di perhatikan sebelum tari ini di langsungkan. Semua hal yang perlu diperhatikan tersebut terangkum pada bagian ritual tari sebagai mana berikut.

1. Penari adalah terdiri dari delapan orang muda yaitu 7 ( tujuh ) perawan
dara yang cantik dan molek tidak sedang kotor, serta 1 ( satu ) orang pemuda gagah perkasa,
2. Seluruh penari mendapat izin tetua adat kampung,
3. Sebelum menari, penari sudah diasapi dengan gaharu
4. Alat musik sudah pula di keramati
5. mayang pinang terpilih mudanya serta perapian tak boleh di mantera

Acara ritual tari ini biasanya berlangsung sebelum pertunjukan tari. Apabila ritual tari ini diindahkan, biasanya akan mendapat celaka yang tak di inginkan.


Para Penari

Seperti sudah dijelaskan diatas tadi bahwa penari berjumlah delapan orang dengan ketentuan 7 (tujuh ) orang dara dan 1 (satu ) orang bujag, ada pula ketentuan lain bagi para penari yaitu,

4


1. penari perempuan dalam keadaan bersih dari haid,
2. penari laki-laki sudah baligh
3. hapal benar gerak dan laku tari
4. sudah diasapi gaharu sebelum pementasan
5. setiap penari tak ada yang berdekatan bertalian darah

Dalam jalannya tari, tubuh para penari biasanya akan dalam keadaan siap menari dengan catatan sehat dan juga akan menjadi media penolak bala oleh para mahluk gaib. Biasanya pula penari pria akan dalam keadaan setengah sadar ( trans ) pada akhir puncak tari. Pada waktu itulah pula penari pria tersebut akan memecahkan mayang pinang sebagai media pengobatan dengan merentak mengelilingi penari perempuan lainnya.


Kelengkapan Tari

Bulian ; sejenis rumah rumahan atau pondok untuk tempat ritual
Perapian ; tempat untuk membakar sesaji
Kapur sirih ; alat untuk membuat balak atau tanda silang
Mayang pinang ; dari pohon pinang dan diukir motif melayu
Baju adat ; untuk dipakai para penari dan pemusik
Alat musik ; untuk pengiring tari



Alat Musik Pengiring Tari

Ada beberapa buah alat musik pengiring tario Rentak Bulian ini yaitu,

Gong, alat dari besi logam sebagai pengiring ritme langkah kaki penari
Seruling, alat tiup dari buluh bambu pilihan berlubang tujuh sampai duabelas sebagai tangga nada.
Ketok-ketok, dari sebongkah batang kelapa tua yang berdiameter 30-45 cm, di lubangi menyerupai kentongan pada daerah jawa.
Tambur, gendang besar sebagai bass.
Kerincing, pada kaki penari

5

Alat musik kulit lainnya sebagai gendang dengan ukuran dan bentuk yang berfariasi.


Jalannya Tari

Tari diawali dengan musik yang bertalu dengan langkah rentak bulian khas irama daerah setempat. Para penari berturut – turut dari seorang penari laki-laki yang berada di tengah apitan dua orang penari perempuan yang membawa mayang pinang dan perapian, serta lima penari perempuan lainnya berjejer berurut di belakang penari laki – laki masuk ke tengah arena tari di mana telah terletak sebuah bulian. Lahkah kaki mereka kaku dan tangan menyilang kedada depan.
Penari laki – laki yang bertelanjang dada dan bersayap putih adalah pemimpin gerak dengan tatap mata yang tajam di sebut batin.
Dua penari perempuan dikanan dan kiri batin adalah pengawal yang bertugas membawa kelengkapan upacara yaitu perapian di sebelah kiri, dan mayang pinang di sebelah kanan.

Semua penari bergerak dipimpin batin sampai ke bulian. Dalam pada itu, sesempai di bulian batin melakukan upacara dibantu dua orang pengawal. Dari mengapikan perapian sampai dengan mengasapi mayang pinang serta membalak tubuh atau membuat tanda silang pada tubuh penari laki – laki.

Lima penari lain nya bergerak mengikiti ritme musik dalam posisi duduk dan mengambil sikap menyembah batin.

Setelah batin selesai upacaranya maka ia akan mentilik para penari perempuan di sekitar bulian. Para penari perempuan termasuk pengawal akan mengantisipasi apabila secara tiba – tiba batin dalam keadaan trans.

Ketika batin dalam keadaan trans atau setengah sadar, ia akan memecahkan mayang pinang sebagai simbolik pengobatan, kemudian kembali ia mengitari penari perempuan untuk menghilangkan bala. Sang pengawal mengambil sikap menjaga para penari lainnya dari bahaya ketidaksadaran sang batin. Pengawal akan merebut mayang dan batin kembali terjaga dari keadaan trans nya.

6

Berikutnya , para penari akan mengitari bulian dan mengambil sikap pause atau berhenti sejenak dalam tari lalu kembali bergerak meninggalkan area tari.

Tari selesai.

Minggu, 25 Januari 2009

Identifikasi Sosiologis Melayu dan Seni Teater Modern di Riau


Melayu-


Kata atau nama Melayu telah dikenal dalam rentang waktu yang cukup lama. Kata atau nama Melayu telah disebut-sebut pada tahun 664/45 Masehi, dan muncul pertama kali dalam catatan (buku tamu) kerajaan China.[1

Melayu diartikan sebagai satu suku yang berasal dari Indalus (Sumatra) dan Seberang Sumatra (Malaka). Di Indalus atau Andalas terdapat kerajaan yang berhadapan dengan Pulau Bangka, di sana ada Sungai Tatang dan Gunung Mahameru serta sungai yang bernama ‘Melayu’. Rajanya bernama Demang Lebar Daun. Kata ‘melayu’ masih ditemui pada bahasa-bahasa di sekitar Palembang dan juga di Pulau Jawa; yang dihubungkan dengan kata ‘melaju’, atau ‘deras’,’kencang’. Kemudian ‘melayu’ dapat diartikan sungai deras aliran airnya; bisa juga ditafsirkan orang atau penduduknya pedagang yang gesit[2, dinamis. Melayu dapat pula berarti dagang; yang berarti orang asing. Bangsa Melayu identik sebagai seorang pedagang yang gesit. Fenomena kata ‘melayu’ yang kali kedua ini dan kemudian ditolak ukur dengan pernyataan ‘melayu’ pada poin pembahasan di pragraf sebelumnya juga sejalan dengan pernyataan dari catatan seorang biksu China bernama I tsing (Haan 1897; Schnittger 1939). Menurut catatan sang biksu, dia sempat mengunjungi Kerajaan Melayu sebanyak dua kali, yakni tahun 671 M dan 685 M.[3

Melayu juga diidentikan dengan Agama Islam. Yang disebut ‘orang melayu’ adalah orang yang memeluk agama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu; tidak ada orang Melayu yang tidak beragam Islam.[4

Tinjauan-tinjauan tentang suku Melayu tersebut di atas menggunakan metode pendekatan bahasa dan pemaknaan kata ‘melayu’ dalam arti kata. Metode tersebut sering pula disebut sebagai metode filologis. Dari hasil tinjauan tersebut tergambarlah bahwa melayu merupakan suatu suku yang berada di Pulau Sumatra dengan ciri suka berdagang dan sukses dalam pelayaran dagangnya. Kelokasian tempat dari asal-usul suku melayu ada dimana ? (tentang perkiraan suku Melayu ada di Sumatra Tengah), masih sangat kabur dan kurang jelas keberadaannya, atau: apakah ‘melayu’ hanyalah satu sebutan saja bagi seorang pelayar dan melaksanakan aktifitas perdagang pada masa dahulunya ?

Melayu pada tinjauan filologis hanya menafsirkan sebagai suku yang berasal dari Sumatra dan Seberang Sumatra (Malaka). Karena kebiasaan dagang suku tersebut maka persebaran adat mereka tersiar di Pulau Jawa dan seluruh Nusantara Indonesia juga di belahan bumi lainnya.

Melayu yang juga diidentikan dengan bahasa, adalah cikal bakal dari Bahasa Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa dasar dari pernyataan ini karena ‘Bahasa Melayu’ sudah akrab semenjak zaman dagang sebelum Nusantara menjadi Indonesia. ‘Bahasa Melayu’ digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan dagang tempo dulu. Fungsi Bahasa Melayu sebagai linguafranca[5 ini, persebarannya tampak meliputi budaya yang begitu luas, hampir meliputi seluruh daerah pantai di tepian lautan ‘pedalaman’ Indonesia.[6

Teks tulis dari Bahasa Melayu adalah huruf arab dengan struktur yang dituliskan berdasarkan ketetapan dengan pasal aturan tulis. Unsur yang mempermudah diterimanya akumulasi bunyi kedua bahasa (Arab dan Melayu) itu karena ada persamaan bunyi pada sebagian besar huruf yang ada dalam Bahasa Melayu dengan bunyi yang ada dalam Bahasa Arab.[7 Huruf Arab yang ditulis tanpa petanda baca tersebut sering pula disebut Huruf Arab Melayu (pegon). Penyebaran Bahasa Melayu meluas sejalan dengan pesat majunya perdagangan Suku Melayu itu sendiri.

Budaya Melayu banyak dipengaruhi Agama Islam. Melayu yang berkembang di Sumatra melingkupi kerajaan-kerajaan bekas Hindu dan Budha serta animisme[8 di nusantara. Adapun kerajaan–kerajaan itu antara lain : Samudara Pasai di Kalimantan, Sriwijaya di Sumatra, Aceh di Sumatra, Goa di Sulawesi, Aceh dan juga Riau Lingga.



Seni di Riau-


Khususnya di Riau yang kemudian merupakan salah satu wilayah temadun dari Budaya Melayu, bermukim bermacam-macam suku bangsa seperti Suku Melayu yang dianggap sebagai suku asli dan dominan, suku pendatang dari seluruh Indonesia dan suku-suku terasing. Di samping itu juga menetap di daerah ini bangsa pedagang dari luar negeri, yakni Cina. India, Arab dan Bangsa lainnya[9. Keragaman atmosfir kesukuan di Riau ini mengindikasikan terjadinya akulturasi budaya. Kebudayaan Melayu yang pada awalnya mendominasi berbaur dengan budaya bawaan lainnya yang ada di Riau.

Kerumpunan Melayu yang berkembang di Riau sangat mendominasi. Ini tidak dapat dilepaskan dari nilai sejarah pembentuknya. Kebudayaan Melayu yang begitu kental di wilayah Riau kemudian disinyalir sebagai suatu petanda sentiment yaitu tentang pusat Budaya Melayu. Oleh pemerintah setempat dan tentunya didukung oleh segenap Bangsa Indonesia, kemahawarisan Budaya Melayu yang mendominasi wilayah Riau ini menjadi sebuah proses pelacakan pusat Budaya Melayu semenjak beberapa tahun silam dengan sebuah misi publik yaitu : Riau adalah pusat dari Budaya Melayu Dunia pada tahun 2020 kelak.

Dominasi Budaya Melayu di Riau ini kemudian menjadi faktor sosiologis masyarakatnya. Hubungan sosial antar masyarakat Riau yang terdiri dari berbagai akar budaya yang saling berakulturasi telah menempatkan kemahawarisan Budaya Melayu sebagai filter [10budaya yang berkembang disana.

Keidentikan Budaya Melayu adalah peleburan budaya dan nilai norma Agama Islam. Agama Islam telah pula menjadi ciri lahirnya beragam bentuk kreatifitas seni sebagai bagian dari wujud Kebudayaan Melayu.

Seni di Kebudayaan Melayu adalah bagian dari nilai keindahan yang tertata apik dan tak lepas dari tuntunan nilai norma keislaman. Bentuk seni yang berkembang terdiri dari ragam budaya yang dibedakan dari faktor sosiologisnya. Kebudayan Melayu (yang juga berkembang di Riau) terdiri dari; 1) Kebudayaan Melayu Bangsawan, 2) Kebudayaan Melayu Lokal/ Rakyat.

Kebudayaan Melayu Bangasawan terbentuk dari hubungan sosial yang terjadi dalam lingkungan Bangsawan/Istana Kemelayuan. Kebudayaan Melayu Lokal/ Rakyat terbentuk dari hubungan sosial yang terjadi dalam lingkungan rakyat diluar wilayah istana. Bentuk-bentuk dari Kebudayan Melayu Bangsawan dan Kebudayan Melayu Lokal/ Rakyat itu diwujudkan dalam hubungan sosiologis masyarakat dalam kesatuan. Pola dari kedua bentuk Kebudayaan Melayu tersebut menciptakan bentukan ciri pada masyarakat pendukungnya masing-masing. Garis besarnya adalah Kebudayaan Melayu ada dalam ritus kehidupan masyarakatnya (lahir-hidup-kematian), ritual keagamaan dan adat, serta permainan adat dan kesenian.

Rangkaian pragraf berikut akan membatasi subjek pembahasannya yaitu kesenian ‘melayu’ yang berada di wilayah Riau.

Riau sejak dahulu sudah menjadi daerah lalu lintas perdagangan negara-negara tetangga, sehingga Riau melahirkan sosok dan warna budaya yang beragam. Hal ini merupakan beban, sekaligus berkah historis-geografis. Riau seakan-akan merupakan ladang perhimpunan berbagai potensi kesenian, yang di dalamnya terdapat pengaruh kebudayaan negara-negara tetangga dan kebudayaan daerah Indonesia lainnya. Kesenian Melayu Riau sangat beragam, karena kelompok-kelompok kecil yang ada dalam masyarakat juga berkembang. Perbedaan antara Riau Lautan dan Riau Daratan menunjukkan keanekaragaman kesenian di Riau. Hal ini sekaligus sebagai ciri khas Melayu Riau, karena dari pembauran kelompok-kelompok itu pandangan tentang kesenian Riau terbentuk.[11 Maka pada zamannya, Kebudayaan Melayu telah menjadi sistem yang berubah tiap waktu sesuai masyarakat pendukungnya yang juga mengalami perkembangan*

Kesenian adalah sebagai salah satu produk kebudayaan. Di Riau, terdapat beberapa bentuk kesenian diantaranya pertunjukan (teater, tari musik, dan nyanyian) dan sastra. Khususnya seni teater dalam kesenian pertunjukan di Riau terakumulasi pula dalam beberapa jenis dan bentukan (tercatat; yang telah identivikasi dalam proses pendokumentasian dan penginventarisasian) yaitu: Teater Bangsawan (Wayang Persi), Berdah, Berbalas Pantun, Dul Muluk, Nandung, Mak Yong, Mamanda, Mendu, Nandai, Randai Kuantan, Surat Kapal, Ranggung**

Teater modern di Riau adalah seni teater yang berkembang dengan ciri kedaerahan Riau (Kebudayaan Melayu sebagai identitas). Pada bagian berikutnya dari makalah ini akan disampaikan pandangan penulis terhadap perkembangan Teater Modern di Riau dimana penulis merupakan juga salah satu seniman teater dari latar keluarga Budaya Melayu di Riau, bertempat tinggal juga di Riau dan kemudian sejak tahun 2004 sampai sekarang mengurangi konsentrasi kegiatan kreatifnya di wilayah Riau karena alasan menempuh pendidikan (seni) diluar wilayah Riau.



Keterangan :
* ; perlu pembahasan lebih lanjut.
** ; beberapanya dalam proses penelitian dimana salah satunya (ranggung) juga dalam proses penelitian oleh penulis.


Teater Modern di Riau-


Menimbang perkembangan teater modern di Riau adalah menelaah sejengkal cerita yang sampai sekarang tidak pernah usai tuntas di tamatkan. Tentang fokus sajian pada bagian ini penulis memberikan beberapa alinea pragraf yang berisi tentang sudut pandang teater modern di Riau di tinjauan dari beberapa hal dengan berbagai ragam masukan dan referensi yang telah dikumpulkan dari berbagai pihak. Adapun teater modern di Riau ini akan coba di uraikan melalui tinjauan-tinjauan terhadap; 1) Sanggar-Komunitas Seni [teater] modern di Riau, 2) Tokoh Seni [teater] Modern di Riau, dan 3) Perkembangan Seni [teater] Modern di Riau dalam objektifitas berbagai Pementasan Seni [teater] di Riau.

Babakkan selanjutnya dari penelaahan teater modern di Riau adalah sajian dari penjelasan berbagai tinjauan tersebut diatas. Dengan mempertegas pernyataan (bahwa) Seni [teater] Modern di Riau adalah bentuk sajian seni teater sebagai pertunjukan[12 yang (secara objektif penulis) perkembangannya dipengaruhi oleh kaidah norma dan adat seni Melayu, dimana sebagai landasannya yaitu agama Islam.

Pelacakan Sanggar-Komunitas Seni [teater] modern di Riau menyematkan beberapa hal yaitu bahwa ragamnya terdiri atas Kelompok Sanggar yang cikal bakalnya adalah sebuah kegiatan klub atau ekstrakulikuler di sebuah sekolah, dan Kelompok Sanggar yang cikal bakalnya adalah komunitas seni. Sanggar dan komunitas tersebut mengandalkan supliran dana dari pihak – pihak yang berkenan dan memang berkewajiban akan kelangsungan keberadaan mereka. Hanya beberapa sanggar yang mampu bertahan dengan mengandalkan keuangan guna pendanaan kebutuhan sanggar-komunitasnya dari itensitas produksi kreatif. Beberapa sanggar yang kemudian sampi dengan sekarang mamou bertahan juga adalah sanggar tersebut memiliki salahsatu pemarkarsa atau seorang tokoh utama yang cukup berpengaruh dalam sanggar-komunitas tersebut. Berbeda dengan komunitas yang cikal bakalnya adalah sebuah komunitas seni, sanggar teater sekolah yang merupakan kelompok siswa/pelajar tergantung keberadaannya dengan sebuah system yang berada di sekolah tersebut dan jumlah keanggotaan dan pemerhati keberadaannya. Fenomena sanggar-komunitas teater yang cikal bakalnya adalah kegiatan klub atau ekstrakulikuler di sekolah adalah sebuah lingkaran kesinambungan yaitu hilang dan terbentuknya berjalan bersamaan dan selalu ada demikian.Kemudian sebuah fenomena yang menarik lagi adalah keberadaan tentang komunitas taeter kamus/ universitas, yaitu dimana kelomok ini adalah tidak bisa dikatagorikan sebagai kelompok sekolah dan juga tidak bisa pula dikatagorikan sebagai kelompok data komunitas umum. Komunitas teater kampus adalah sebuah kelompok mahasiswa-mahasiswi yang berminat untuk berkegiatan dalam kreatifitas teater. Keanggotaannya kebanyakan adalah purna dari kelompok komunitas teater sekolah dan masih bingung/mencari identitas dalam pemaknaan seni taeter sebagai sebuah komunitas independent.

Penulis menanggapi pula tetang keberadaan tentang komunitas teater yang dicatatnya sebagai komunitas teater festival yaitu keberadaan kelompok ini hanya bisa ditemukan pada saat diadakannya sebuah perhelatan festival teater dan kemudian setelah kegiatan festival tersebut usai, begitupula adanya usainya kegiatan komunitas tersebut.

Nama Alm. Idrus Tintin adalah seoarng sosok pendahulu perkembangan taeter modernd di Riau. Dalam dunia seni peran/teater, berbagai pengalaman telah ia peroleh dan berbagai sumbangsih telah ia berikan.[13 Ia adalah juga seorang penulis puisi dan naskah teater baik berupa saduran ataupun karya pribadi.[14

Kemudian beberapa nama-nama lain adalah tidak segaung dan segema nama-nama Alm. Idrus Tintin. Ini entah dikarenakan apakah seniman teater Riau adalah sosok lowprofile atau memang karena ketiadaan seniman teater lagi di riau ?.

Nama-nama tokoh teater riau yang lain memang ada, namun tak ada yang sampai melegenda dan meninggalkan banyak bekas yang dapat dikenang. Kemajemukan ini bisa jadi karena juga pengaruh budaya Melayu. Adanya hal tersebut yaitu dikarenakan pengaruh budaya Melayu yaitu pengagungan atas nama selain nama sang pencipta adalah sikap yang kurang terhormat.

Keragaman yang lain yang dapat disimpulkan dari tokoh teater Riau adalah ragam dari dua varian umum yaitu; tokoh teater yang mengetahui bentuk teater secara autodidak dan tokoh teater yang mengetahui bentuk teater secara autodidak dan akademik . Kebanyakan tokoh teater autodidak mendapatkan pengetahuan tentang teater adalah berdasarkan kegiatan teater tradisi yang menjadi bagian dari keseharian kegiatan yang ia lakukan bersama kelompoknya. Dengan adanya perkembangan teater hingga menjadi bentukan teater modernd maka tokoh – tokoh teater autodidak tadi mendapatkan banyak informasi yang lebih dalam ragam perkembangan karya-karya teaternya. Tokoh teater autodidak dan akademis adalah sosok dari beberapa orang yang menempuh jalur pendidiakan teater secara akademik dan juga memiliki latar pengetahuan teater dari ragam kegiatannya sebelum menempuh teater secara akademis. Ragam dari tokoh teater autodidak dan akademik adalah juga biasanya berlatarkan dari keanggotaan di sebuah kominitas teater.

Bersama dengan komunitas dan kelompok sanggarnya, tokoh – tokoh teater itu hanya sebagian kecil yang mementaskan karya secara berkala. Demikian pula dengan keberadaan kelompok teater sanggar sekolah yaitu itensitas pementasan mereka hanya berupa kegiatan festival dan peringatan hari-hari besar saja.

Merupakan suatu keuntungan sebenarnya yaitu keadaan geografi daerah Riau yang berada di lintas antar negara dan point of interest sebagai daerah budaya kerumpunan Melayu yang kental. Letak Riau sebagai lintas antar negara memungkinkan adanya bentuk akulturasi budaya yang mengimbas kepada perkembangan bentuk pementasan teater modernd Riau. Selain itu juga, perkembangan teater Riau akan mendapatkan suatu contoh keragaman dari berbagai macam perkembangan teater di luar wilayah. Sebagai point of interest daerah budaya kerumpunan Melayu pun memberikan warna yang berbeda dari contoh pertunjukan teater modernd di Riau. Namun hal ini belum bisa dimaksimalkan. alhasil adalah sekarang bentukan teater modernd di Riau masih sangat jauh tertinggal dari perkembangannya karena beberapa catatan penting di antaranya :
1. Alternatif tentang bentuk budaya Melayu yang mempengaruhi (secara langsung/tidak) teater modern di Riau tidak bisa dimaksimalkan untuk dijadikan sesuatu yang menciri khas,
2. Kelompok komunitas / sanggar teater di Riau hanya mampu memberikan tontonan yang terjebak kepada proses dilematis pendanaan dan ke-kurang-ahli-an pengelolaan produksi pementasan.
3. Tokoh teater Riau yang masih mempunyai anggapan yaitu teater hanya menjadi suatu kegiatan sampingan penghibur kebosanan, demikian pula keberadaan masyarakat Riau yang masih beranggapan teater hanya sebagai suatu bentuk tontonan hiburan.
4. Proses pembekalan tentang teater sebagai sarana komunikasi masa, belum menjadi suatu yang dapat di utamakan oleh pe-seni di Riau

Penulis menyadari bahwa kegelisahannya dalam makalah ini akan memberikan suatu dampak pada ketidaksetujuan dan pernyataan sikap oleh berbagai pihak pembaca. Perlu diadakannya alternatif diskusi yang berkelanjutan atas makalah ini agar tercipta suatu makalah yang sempurna dan bisa menjadi bentukan dari sebuah loncatan untuk proses pengidentifikasian sosiologis Melayu dan seni teater modernd di Riau.

Terimakasih.


[1 Prof. Suwardi MS,dkk, di kutip dari Lukman Harun, Mengembalikan Kejayaan Melayu di Indragiri (Yogyakarta, Alaf Riau bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta, Maret 2007), hal 4; Kata atau nama Melayu telah di sebut-sebut pada tahun 664/45 M., dan muncul pertama kali dalam catatan (buku tamu) kerajaan China. Menurut catatan itu, Melayu (ditulis “Moleyeo”) adalah nama sebuah kerajaan dan kerajaan itu telah mengirimkan utusannya ke begeri tersebut pada tahun ketika catatan ini di buat (Wolter 1967). Ada beberapa hal penting yang bisa di simpulkan dari catatan itu: pertama, Melayu adalah sebuah kerajaan; kedua, kerajaan tersebut adalah kerajaan yang berdaulat, sebab hanya kerajaan berdaulatlah yang bisa dan berwenang mengirim utusan (diplomatiknya) ke negara lain (apalagi ke sebuah negara adikuasa) untuk “sowan” yang biasanya juga bermakna adanya aliansi diplomatik atau politik; ketiga, “buku tamu” Kerajaan China tersebut tidak menyebutkan lokasi di mana Melayu atau kerajaan “Moleyeo” itu berada.
[2 Saleh Saidi, Melayu Klasik : Khasanah Sastra Sejarah Indonesia Lama (Denpasar, Larasan-Sejarah, April 2003), hal 22
[3 Prof. Suwardi MS,dkk, di kutip dari Lukman Harun, Mengembalikan Kejayaan Melayu di Indragiri (Yogyakarta, Alaf Riau bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta, Maret 2007), hal 5 : Menurut catatan sang biksu, dia sempat mengunjungi Kerajaan Melayu sebanyak dua kali, yakni tahun 671 M dan 685 M. Ada dua catatan penting dari Memoire I Tsing ini; sewaktu pertama kali ia mengunjungi Melayu, Melayu merupakan negara (kerajaan) yang merdeka (berdaulat), dan ketika kunjungan yang kedua Melayu telah menjadi bagian dari (ditaklukkan) kerajaan Sriwijaya.
[4 Ibid , hal 39
[5 Linguafranca: bahasa pengantar komunikasi
[6 Edi Sedyawati, Budaya Indonesia ; Kajian Arkeologi, Seni, Dan Sejarah (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007) hal 339 : Fungsi Bahasa Melayu sebagai linguafranca ini, persebarannya tampak meliputi budaya yang begitu luas, hampir meliputi seluruh daerah pantai di tepian lautan ’pedalaman’ Indonesia. Bahasa Melayu bahkan kadang-kadang masuk sebagai intrusi ke dalam karya-karya sastra daerah lain, seperti dalam sastra Jawa dan sastra Sunda. Bahasa Melayu pun dapat menjadi ‘benih’ bagi indentitas suatu kelompok etnik baru seperti orang Betawi (dari Batavia) di daerah Jakarta.
[7 Prof. Suwardi MS,dkk, di kutip dari Lukman Harun, Mengembalikan Kejayaan Melayu di Indragiri (Yogyakarta, Alaf Riau bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta, Maret 2007), hal 51
[8 Animisme: kepercayaan terhadap roh-roh
[9 Nursam. S, Ungkapan Tradisional Daerah Melayu (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1984/1985), hal 2
[10 Filter: alat penyaring
[11 Idrus Tintin dan B.M. Syamsuddin, Kesenian Riau dan Perkembangannya (makalah), Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya” bertempat di Tanjung Pinang, Riau, Indonesia 17-21 Juli 1985.
[12 Dra. Yudiaryani, M.A. , Panggung Teater Dunia Perkembangan dan Perubahan Konvensi (Yogyakarta, Pustaka Gondho Suli, Cetakan Pertama 2002), hal 14 : Teater adalah pertunjukan. Namun apa yang dimaksud tepatnnya arti kata “pertunjukan”? Secara mudahnya, pertunjukan adalah sebuah urutan laku (aksi) yang dilakukan di suatu tempat untuk menarik perhatian, memberikan hiburan, pencerahan, dan keterlibatan orang lain yaitu penonton. Pertunjukan teater dapat dilihat melalui susunan unsur teater (Brockett, 1988) yaitu: apa yang dipentaskan (teks, skenario, atau transkrip); pementasan (termasuk semua proses kreasi dan presentasi); dan penonton. Setiap unsur tersebut penting, dan masing-masing mempengaruhi seluruh konsep tentang teater.
[13 www.melayuonline.com, Makalah “Kesenian Riau dan Perkembangannya”, Dalam dunia seni peran/teater, berbagai pengalaman telah ia peroleh dan berbagai sumbangsih telah ia berikan. Itu dimulainya sejak tahun 1943 saat bermain drama dalam bahasa Jepang produksi Raja Khadijah. Tahun 1944 di Tanjungpinang, ia menggelar sandiwara dengan ide cerita Nosesang, dimana cerita ini bertutur tentang kehidupan petani dan nelayan. Tahun 1945 di Rengat, beberapa kali ia bermain sandiwara bersama grup Seniman Muda Indonesia (SEMI) asuhan Agus, Moeis dan Hasbullah. Pada tahun 1952, ia kembali ke Tarempa dan mendirikan sebuah sanggar sandiwara bernama “Gurinda”. Untuk menimba ilmu dan memperluas wawasan seni peran yang telah ia geluti, pada tahun 1959, ia memutuskan mengembara ke Pulau Jawa.
Di sinilah Idrus berkenalan dengan seniman-seniman Jawa antara lain; Asrul Sani, Rendra, B. Jayakesuma, Soekarno M. Noor, Ismet M. Noor, Teguh Karya, Chairul Umam, dan seniman lain. Pertemuan inilah yang menjadi titik tolak perkenalan Idrus dengan seni peran/teater modern/kontemporer. Selama berada di Jawa, ia sempat menjadi peserta dalam berbagai forum diskusi para seniman, baik formal maupun non-formal, terutama yang membicarakan tentang pemeranan dan penyutradaraan. Pada tahun 1961, Idrus Tintin kembali menetap di Rengat dan membentuk sebuah kelompok teater. Sejak menetap di Riau, setiap ada perayaan hari-hari besar, Idrus selalu tampil bermain teater. Tahun 1964, Idrus mengikuti Festival Drama di Pekanbaru yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Riau. Naskah yang dipentaskan adalah naskah Pasien. Tahun 1968, Idrus menyutradarai pertunjukan teater modern di Gedung Trikora Pekanbaru berjudul Tanda Silang. Tahun 1974, bersempena Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, Idrus menyutradarai pertunjukan teater kolosal di Balai Dang Merdu Pekanbaru dengan judul Harimau Tingkis. Pada tahun yang sama, ia bersama Armawai KH. menubuhkan wadah pembinaan teater di Riau yang diberi nama “Teater Bahana.”

[14 Ibid, Sebagai sosok seniman dan budayawan, Idrus Tintin telah banyak melahirkan karya, antara lain berupa sajak dan puisi yang terangkum dalam berbagai buku yaitu: Luput, adalah kumpulan sajak Idrus Tintin, berisi 26 sajak, dituliskan kembali oleh Armawi KH (tahun 1986). Burung Waktu, adalah kumpulan puisi Idrus Tintin, berisi 37 judul puisi, diterbitkan oleh Gramitra Pekanbaru (tahun 1990). Idrus Tintin Seniman dari Riau: Kumpulan Puisi dan Telaah, adalah kumpulan tiga judul puisi Idrus Tintin yaitu: Luput, Burung Waktu, dan Nyanyian di Lautan Tarian di Tengah Hutan (tahun 1996). Jelajah Cakrawala; Seratus Lima Belas Sajak Idrus Tintin, adalah kumpulan puisi Idrus Tintin (tahun 2003).
Selain karya-karya tersebut di atas, Idrus Tintin juga memiliki karya-karya lain berupa naskah teater dan pernah dipentaskan, yaitu: naskah cerita berjudul “Buih dan Kasih Sayang Orang Lain”, Naskah cerita berjudul “Bunga Rumah Makan”, naskah cerita berjudul “Awal dan Mira”, naskah cerita berjudul “Pa­sien”. Kesemuanya ditulis dan telah dipentaskan dalam sebuah pementasan di Tanjungpinang.

malam terakhir

Sentuhan Sakai dalam Teater Malam Terakhir
oleh : Denny Winson

PEREMPUAN tua itu dengan sisa-sisa, tenaganya berjingkrak-jikrak mengikuti irama lagu. Dia mengitari panggung yang menyerupai sebuah taman. Dua tong sampah dan sampah berserakan.

Di belakang panggung terpampang tiga siluet ukuran besar yang disorot lampu berwarna biru, merah, kuning. Dari siluet itu, tampak tiga pasang penari yang menggambarkan fase kehidupan perempuan tua semasa anak hingga tua renta.

Gambaran itu merupakan cuplikan dari penampilan teater Malam Terakhir yang dimainkan pekerja seni dari Teater Selembayung di Gedung Olah Seni (GOS) Taman Budaya Riau, 2 hingga 4 Januari lalu.

Naskah adaptasi dari novel laris sastrawan Jepang, Yukio Mashima. Peran perempuan tua atau Dang Dao (Komachi, versi aslinya) diperankan oleh Tri Sepnita. Tri yang akrab disapa Iid ini, cukup bagus memerankan watak perempuan tua. Penonton dibuat hanyut oleh penampilannya, dari awal, hingga akhir pertunjukan.

Iid juga mampu menghayati kata demi kata skrip yang disodorkan kepadanya. Penampilan Iid, dalam karya besutan Fedli Aziz tampak begitu total. Dia begitu menghayati peran, sampai-sampai dia tidak terlihat sedikitpun canggung saat memetik rokok, menghisapnya dalam-dalam ketika hatinya diserang rasa galau yang amat sangat.

Sayang, penampilan total Iid ini, tidak diimbangi oleh tokoh penyair yang diperankan M Paradison. Paradison yang akrab disapa Oon ini, sudah berupaya untuk tampil maksimal, tetapi ketika hendak memerankan penyair yang tengah mabuk terkesan polah itu dibuat-buat. ”Kau cantik. Kau paling cantik di dunia. Kecantikanmu tak akan memudar, sekalipun sudah seribu tahun,” tutur sang penyair yang dalam kondisi mabuk.

”Begitu… cantik! Bukankah itu yang mau kaukatakan? Jangan kau katakan! Barangsiapa mengatakannya umurnya tidak akan panjang lagi. Aku peringatkan!” jawab sang perempuan tua.

Kemudian ke dua pasangan renta ini berlari mengelilingi pentas. Menyerupai ‘Olang-Olang’ (elang-elang). Musik yang ditangani Rino Dezapaty lalu memainkan bunyi-bunyi klasik dari suku terasing yang ada di Riau, yakni Suku Sakai.

Secara keseluruhan, keinginan sutradari Fedli Aziz untuk membangun suasana magis dari Penaso (perkampung) Sakai tidak begitu berhasil. Tengok saja setting panggung. Sedikit pun tidak tampak perkampungan Suku Sakai yang kini makin terjepit oleh industri. Justru yang terlihat hanya sebuah taman yang kumuh.

Begitu juga busana yang dikenakan tiga pasang penari ‘Olang-Olang’. Para penari ini, hanya memakai untaian tali warna putih, sementara puak Sakai identik dengan pakaian warna hitam, kuning dan merah. Kekurangan lain, kalau boleh disebut, ini sebuah kecorobohan, tidak adanya ‘mantra’ dalam pertunjukan ‘Malam Terakhir’ itu.

Tak salah jika dalam sesi diskusi usai pertunjukan, seorang penonton memberikan nilai kurang, terhadap karya adaptasi itu. Sang sutradara, Fedli Aziz dinilai gagal mengubah setting Jepang kepada suasana Melayu khususnya adat istiadat Suku Sakai.

Terlepas dari kekurangannya, penampilan anak-anak Teater Selembayung ini bolehkan diberikan acungan jempol. Setidaknya Fedli begitu berani membuat ‘harga’ dari pertunjukan itu (meski sebenarnya karya seni umumnya tidak bisa dinilai oleh apapun). Sutradara muda harapan Riau ini, menjual tiket kepada penonton yang akan menikmati karyanya.

Keputusan ini patut dihargai. Selama ini tidak ada seorang pekerja seni yang berani memasang tarif masuk untuk menyaksikan karya-karyanya. Jangan untuk membayar, yang gratis pun jarang ditonton warga Riau.

Uniknya, meski tiket masuk pertunjukan teater ‘Malam Terakhir’ ini dijual seharga Rp 50 ribu (VIP), Rp 20 ribu (umum), dan Rp 10 ribu (pelajar), namun animo penikmat seni Kota Pekanbaru cukup besar.

Buktinya dari tiga malam pertunjukan, pementasan tersebut selalu dipenuhi penonton. Tambahan lagi, penonton seolah-olah enggan beranjak dari tempat duduknya sampai teater berakhir. Apakah ini awal dari kebangkitan dunia teater Riau, barangkali perlu dibuktikan lagi pada pertunjukan selanjutnya. Selamat Fedli!
Penulis; pengamat seni di Riau, juga wartawan Harian Analisa

Rabu, 21 Januari 2009



Dari Melayu ke Indonesia; Peran Kebudayaan Melayu dalam Memperkokoh Identitas dan Jati Diri Bangsa

Kehadiran Buku ini adalah bentuk persentasi dari kemahawarisan Kebudayan Melayu dalam memperkokoh keragaman budaya serta suku yang ada di Indonesia. Dari sudut pandang Suwardi MS, bahwa sampai sekarang masih dirasakan dan terlihat tumbuh yang dibuktikan dengan terusnya bermunculan para pemikir, penulis, dan seniman yang melahirkan karya-karya bermutu secara relative di berbagai Negara wilayah di kawasan inti dari pendukung budaya Melayu seperti di sepanjang Selat Malaka.
Budaya Melayu telah memberikan masukan yang sangat mempertegaskan kenyataan bahwa kebudayaan local ini kemudian adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pematrian nilai kejatidirian bangsa Indonesia. Menarik ulur dari nilai sejarah, budaya Melayu selama 15 abad yang lalu telah menunjukan keunggulannya seperti terlihat dari jati diri yang dimilikinya sampai berkuasanya Barat di dunia Timur. Budaya Melayu senantiasa mampu bertahan dengan didukung oleh sikap dan prilaku para pendukungnya yaitu suku Melayu.
Dalam tiga bagian utama buku ini yaitu; (1) peranan kebudayaan Melayu dalam memperkokoh jati diri bangsa, (2) peranan kebudayaan Melayu dalam integrasi bangsa, dan (3) peranan kebudayaan melayu memajukan pendidikan, adalah bentuk sajian yang didukung dengan referensi tulis dari buku pendukung dan makalah-makalah yang telah disajikan dalam berbagai pertemuan ilmiah oleh penulis sendiri. Penulis secara jelas menggiring pembacanya pada sebuah kesimpulan yaitu; (a) masuknya pengaruh kebudayaan asing ke dalam masyarakat Melayu terutama kebudayaan Barat sepanjang memenuhi ketentuan, disatu sisi dapat memperkaya khazanah kebudayaan Melayu---namun, proses filterisasi adalah kemutlakan yang sah dari proses tersebut, (b) kebudayaan Melayu memiliki berbagai nilai-nilai seperti keterbukaan, kemajemukan, persebatinan, tenggang rasa, kegotong-royongan, senasib sepenanggungan, malu, bertanggung jawab, adil dan benar, berani dan tabah, arif dan bijaksana, musyawarah dan mufakat, memanfaatkan waktu, berpandangan jauh ke depan, rajin dan tekun, nilai amanah dan ilmu pengetahuan taqwa kepada Tuhan, (c) kebudayaan Melayu telah membuktikan keberadaannya dalam merekatkan kesadaran nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Melaui buku yang diterbikan oleh Pustaka Pelajar ini, Prof. Suwardi MS selaku penulis menyampaikan sebuah gagasan yang diharapkan dapat menjadi manifesto pada pengakuan keberadaan Kebudayaan Melayu sebagai bagian yang tidak bias dilepasakan dari perkembangan kemajemukan nasionalisme kebangsaan di Negara Indonesia.








ULASAN PEMENTASAN TEATER
Sebuah Langkahan Perkembangan Teater Modern Riau
Opera Tun Teja di Anjung Seni Idrus Tintin, Bandar Serai, Riau dan Pralya di Taman Budaya, Riau.

Gegap gempita semangat mematenkan Riau sebagai Pusat Melayu Dunia tahun 2020 kelak menghantamkan pula sebuah gelombangperubahan kea rah perkembangan yang lebih baik kepada dunia seni di Riau. Selain telah berdiri sebuah gedung pertunjukan yang kemudian di nobatkan menjadi satu diantara gedung pertunjukan yang paling memadai serta repersentatif yaitu gedung Anjung Seni Idrus Tintin, di kompleks Bandar Serai yang juga merupakan kawasan dari Kampus Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR)
Tidak hingga sampai di situ saja, bahwa kemudian telah pula dihelat sebuah karya teater Modern dengan konsep yang dikemas dalam Opera Multivisual dengan mengangkat sebuah kisah Hikayat Hang Tuahyang begitu akrab di kalangan masyarakat Melayu. Walaupun pementas itu kemudian telah terjadi pada pertengahan Agustus 2007 silam, namun hingga pada pengawal tahun 2009 ini menurut beberapa kalangan seniman yang berkonsentrasi pada Budaya Melayu adalah salah satu keungggulan dalam dunia teater modern di Riau yang merupakan pula hasil kreatifitas dari seniman Riau sendiri.
Menyikapi hal tersebut, sejujurnya saya selaku penikmat pertunjukan teater yang kebenaran berasal dari Riau dan sampai sekarang masih berkhitmat sebagai salah satu dari mahasiswa di Jurusan Teater, Fakultas Seni Pertunjukan , Institut Seni Indonesia Yogyakarta sedikit kecewa kepada sahabat saya yang menyutradarai pertunjukan Opera Tun Teja tersebut. Oleh Marhalim zaini yang juga merupakan alumnus dari ISI Yogyakarta dan kini telah menjadi Ketua Jurusan Teater di AKMR serta pernah pula dinobatkan menjadi SPN (Seniman Pemangku Negeri), Opera Tun Teja saya anggap cacat dan gagap dalam persentasi karyanya.
Opera Melayu Tun Teja yang diproduksi Bandar Serai Orchestra, Yayasan Kesenian Riau dan CIOFF Riau Section dipadati hampir 400 pengunjung dan tentunya saya salah satunya. Opera ini bercerita tentang Hikayat Hang Tuah. Dalam opera ‘Tun Teja’ yang lebih mencuatkan tema perempuan dan kekuasaan. Tun Teja, puteri Bendahara Pahang yang cantik jelita telah dijadikan ‘alat’ bagi Hang Tuah untuk menunjukkan baktinya kepada Sultan. Meski kecewa, Tun Teja tak bisa berbuat apa-apa karena ia dipengaruhi lewat kekuatan guna-guna. Kesetiaan Hang Tuah kepada Sultan ternyata tak berlangsung lama. Sebuah fitnah merusak hubungan yang erat Sultan dan Hang Tuah. ‘Pahlawan’ Melaka ini pun terbuang ke sebuah tempat yang terpencil. Sikap Sultan memicu kemarahan Hang Jebat, teman baik Hang Tuah. Jebat pun mendurhaka kepada Sultan dan merebut Tahta. Tapi sayang, kekuasaan yang berhasil direbut Jebat justru membuatnya mabuk. Kekuasaan telah merubahnya menjadi sosok yang rakus. Sementara itu, hati Tun Teja pun semakin sedih karena dituduh permaisuri Sultan terlibat dalam pemberontakan Hang Jebat. Namun Tun Teja membantah terlibat dan mengatakan bahwa jatuhnya Sultan adalah akibat sikapnya sendiri. Sebagai perempuan yang terhempas dan terampas, Tun Teja mengajak permaisuri menggugat nasib perempuan yang hanya jadi korban dalam kekuasaan. Akhirnya, untuk menghentikan Jebat yang mabuk dengan kekuasaannya, Hang Tuah pun dijemput kembali. Hang Tuah pun bersedia karena dalam prinsip hidupnya, kesetiaan adalah segalanya.
Yang perlu dicermati dari bentuk pementasan teater modern dengan konsep Opera Melayu Tun Teja ini adalah ketika akhirnya label ‘Opera’ dan kemudian disejajarkan denga pautan kata ‘Melayu’ masih jauh dari harapan saya selaku penonton. Walaupun pada akhirnya usaha kreatifitas SPN Marhalim Zaini dan kru kreatif ingin menampilkannya secara maksimal pertunjukan tersebut namun keadaan daya tak berimbang dengan upaya mereka. Lalu saya mengambil kesimpulan bahwa Opera Melayu Tun Teja adalah sebuah garapan tempelan antara kesatuan yang bisa dinikmati sesukanya. Di Opera Melayu Tun Teja tersebut saya bisa menikmati; 1) suguhan musik orchestra yang (kurang atmosfer Melayunya) oleh SPN. Zuarman Ahmad selaku composer Banadar Serai Orkestra (BSO), 2) gianscrean yang menampilkan visual latar dan juga menjadi tempat dijatuhkanya siluet untuk beberapa adegan, 3) parade kostum pakaian adat Melayu oleh para pelaku, serta 4) pentas tata lampu yang indah. Instrumen pendukung dari pertunjukan ini saja sebenarnya sudah sangat menakjubkan, apalagi kalau saja berhasil diciptakan kesatuan yang lebih baik.
Satu hal lagi yang saya rasakan bahwa adanya perasaan muatan pesan (Opera Melayu) yang akan disajikan tidaklah sampai tuntas dilangsir dalam pementasan. Disatu sisi pada awlanya saya mengarapkan bahwa dengan pementasan ini akan tercipta warna tersendiri dan bisa dielu-elukan sebagi warna lokal (baru) teater modern di Riau. Namun saya hanya mendapatkan sebuah pertunjukkan warna yang sama dari berbagai pentas teater modern (Riau) yang pernah saya lihat: yaitu cacat dalam pemaknaan kontekstual ke taraf penyapaian yang terlalu terkungkung dengan keagungan Budaya Melayu.
Akhiran bulan Oktober 2008 dalam Festival Gelora Teater Riau oleh Mini Teater Kota Rengat 1989 di Taman Budaya Riau dipentaskanlah sebuah teater modern dengan ruang konsep antrophologi teater. Naskah yanng dipentaskan adalah ‘Pralaya’ karya Fadli Azis yang juga bercerita tentang hikayat Hang Tuah namun dalam pendekatannya dengan tokoh Hang Jebat. Didukung dengan multivisual yang sederhana dan juga pelaku musik yang bermain rangkap dalam setiap intstrument alat musik, pentas ini dinombatkan menjadi pemenang Festival. Persentasinya adalah sebuah pengembang dan penggelembungan makna cerita yaitu pengkhianatan yang berujung kepada kehancuran. Yang bisa dijadikan pencermatan adalah kelompok Mini Teater Kota Rengat berhasil menyajikan Pralaya menjadi bagian yang utuh dengan seluruh unsur pendukungnya dan lebih berjaya dapat diterima dengan mudah dan dimengerti oleh penontonnya sebagai sebuah pementasan teater modern.
Pralaya disajikan dalam durasi pementasan selama 90 menit, dengan penggabungan unsur tari, musik, sastra lisan, dan tentunya aksi para aktor-aktrisnya yang didukung pula dengan tata artistik multimedia oleh para kru panggung. Titik berat dari sajian Pralaya adalah tuntutan keaktoran yang harus mampu tuntas dalam masalah keaktorannya. Sajian Pralaya menciptakan ruang yang akhirnya (dirasakan) oleh penontonnya bahwa dirinya selain daripada menikmati tapi juga menjadi bagian dari pertunjukan tersebut. Pengaktualan naskah Pralaya pada wilayah pementasannya diakui oleh pengarangnya Fedli Azis bahwa “mini taeter telah cukup berani dan mengembangkan tafsir yang sebenarnya cukup sederhana kepada masalah kekinian yang sangat global”. Bahwa oleh Mini Teater Kota Rengat 1989 yang mana merupakan salah satu sanggar teater yang berdiri secara independent ini, pementasan Pralaya telah di identikkan dengan ciri penampilan sanggar tersebut yang selalu menggunakan unsur pola lantai dan pola tubuh pelakon sebagai media yang diutamakan. Walaupun tidak baru lagi (dikarenakan telah di gunakan lebih dahulu oleh pementasan Opera Melayu Tun Teja), konsep multimedia pada pementasan Pralaya lebih dapat dirasakan lebih tertata dan belum lagi pembebasan makna tafsir yang disajikan kepada penonton Pralaya lebih kursial dan multitafsir sesuai dengan sudut pandang masing-masing penonton yang menikmati tontonan tersebut dari berbagai batasan pola. Pralaya juga dengan nyata-nyata dipentasakan dalam situasi yang sebenarnya mencemooh atau mengejek seni teater modern (Riau) yang terkungkung pola ke-melayu-an pada setiap pementasannya. Dalam situasi demikian, Pralaya berhasil menyadarkan pelaku teater modern di Riau bahwa perkembangan teater modern di Riau belum bisa di anggap layak dan jauh ketinggalan dibandingkan dengan berbagai pementasan teater modern lainnya yang berada diluar Riau.
Pementasan Opera Melayu Tun Teja disandingkan dengan Pementasan Pralaya adalah sebuah dimensi yang jauh berbeda satu dengan lainnya. Tun Teja dengan segala kemegahan aspek pendukungnya telah menarik hati penonton karena sebagai salah satu dari pentas teater termegah, sedangkan Pralaya dalam pentas festival telah menarik hati penonton karena ketelitan dalam penyajian. Sebuah karya teater yang bagus menurut saya adalah sebuah karya yang berhasil dinikmati dengan baik oleh penontonnya, dan memberikan imbas perubahan yang disebut katarsis (pensucian-pembersihan) jiwa para penontonnya. Dan pentas Opera Melayu Tun Teja dan Pralaya sama-sama bisa dinikmati dengan baik.