Jumlah Pengunjung Saat Ini

Jumat, 23 Juli 2010





Di karenakan adanya agenda rapat Kepengurusan "sempeneRIAUteater INDRAGIRI HULU" yang akan melaksanakan jejak penjaringan dan peregenerasian kepengurusan blog ini, maka dengan kebijaksaan tersebut blog ini sementara waktu akan di perbaiki. Terima kasih.




Rabu, 19 Mei 2010

Malaysia Promosikan Kebhinekaan Budayanya

Malaysia Promosikan Kebhinekaan Budayanya


Duta kebudayaan Malaysia menggunakan pakaian tradisional sebagai cermin budaya malaysia.

TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah Malaysia mempromosikan kebhinekaan seni dan budayanya di Usmar Ismail Hall, gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Kamis malam lalu. Acara bertajuk "1 Malaysia: Harmoni dalam Keragaman" itu dihadiri oleh Menteri Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia Datuk Seri Utama Rais Yatim, Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia Tifatul Sembiring, Sekretaris Jenderal Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Wardiyatmo, dan Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan.

Malaysia hendak menunjukkan bagaimana kebudayaannya terdiri dari komponen-komponen yang terpisah dan berbeda namun mencerminkan sebuah lanskap yang telah dibentuk oleh penggabungan dari budaya masyarakat Malaysia secara kosmopolitan. "Ini merupakan campuran menarik dari unsur budaya kelompok etnis utama dengan orang-orang pribumi di negara ini," kata Rais Yatim sebelum acara dimulai.

Menurut Surin Pitsuwan, budaya merupakan sebuah kekuatan untuk menginspirasi kreativitas dan membantu merekatkan komunitas di tengah masyarakat yang berbeda-beda. Dia mengaku bahwa ASEAN sebagai penyelenggara sangat bahagia dapat menggelar acara seperti ini. "Kami memberi kehormatan untuk keanekaragaman budaya, toleransi, dialog dan kerja sama," katanya.

Adapun Tifatul mengatakan bahwa acara tersebut dapat dimanfaatkan sebagai ajang silaturahmi oleh negara-negara anggota ASEAN, seperti Indonesia dan Malaysia. "Kita ini negara serumpun. Ini merupakan ajang promosi kita bersama," katanya.

Acara tersebut, kata dia, merupakan bagian dari usaha pemerintah dalam diplomasi budaya. "Kami berharap melalui diplomasi budaya seperti ini kita dapat meredakan pernik-pernik perbedaan yang pernah ada," kata Tifatul.

Menurut Rais Yatim, acara tersebut merupakan acara tradisi ASEAN, khususnya di bidang seni, yang malam itu giliran Malaysia mempertunjukkan kesenian dan kebudayaannya. Acara ini, katanya, juga bertujuan untuk merekatkan kembali persahabatan di negara anggota ASEAN, khususnya antara Indonesia dan Malaysia.

"Budaya di Malaysia merupakan penggabungan unik bentuk budaya, nilai-nilai dan praktik yang kaya dan beragam," kata Rais.

Malam itu Malaysia menyajikan tiga segmen kebudyaannya, yakni yang tradisional, modern dan kontemporer, yang di tiap-tiap segmen menggambarkan cirinya yang beragam karena konteks, asal-usul dan hal-hal yang mempengaruhinya. Sekitar 400 tamu menikmati bermacam-macam musik, lagu, dan tari dari Malaysia.

Segmen tradisional menggambarkan berbagai suku di negeri itu, seperti Cina, India dan Arab. Para pengunjung dapat menangkapnya dengan jelas sejak tiba di pintu masuk Usmar Ismail Hall sudah disambut oleh para pemuda Malaysia yang mengenakan pakaian adat dari berbagai daerah di negerinya, termasuk busana khas Cina, Arab dan India. Dalam segmen ini ditampilkan lagu "Our Roots" oleh Muhammad Ikhwal, tarian Cina, tari zapin dari Arab, dan tari rakyat India. "Ini menggambarkan keragaman etnis yang ada di Malaysia," kata Rais.

Segmen kedua memperkenalkan Malaysia sebagai negara modern dengan Kuala Lumpur sebagai pusat kesenian. Di sini disajikan pertunjukan musik "Zikir in Fusion" dan "Zapin in Fusion" serta lagu "Kuala Lumpur: A Vibrant City of Culture" oleh Noryn Aziz.

Adapun segmen terakhir menggambarkan Malaysia sebagai masyarakat dengan satu irama satu gerakan, yang hidup bersama secara harmonis dan berjuang untuk kemakmuran Malaysia. Di panggung kali ini disajikan pertunjukan musik "One Rhythm, One Movement" oleh Sham, Sesatre dan Kam, "Malaysia in 1" dan joget Malaysia.

Herry Fitriadi

Rampak Melayu dalam Panggung Serantau

Rampak Melayu dalam Panggung Serantau

Rampak Melayu dalam Panggung Serantau. Tempo/Dwi Narwoko

TEMPO Interaktif, Pokok beringin daunnya lebat
Ditanam orang di negeri Siam
Kami ingin berkenal dekat
Di mana rumah tempat berdiam

Lebat daunnya di pokok beringin
Akar menjuntai sempat ke bawah
Jika itu yang Cik Abang ingin
Tanyakan saja pada Toke


Gelak tawa berhambur cicit-mencicit dari mulut sekelompok ronggeng Melayu. Mereka berhimpun satu sama lain mengelilingi seorang Cina totok yang mereka sebut Toke. Perempuan penghibur itu sangatlah rupawan. Sampai-sampai tiga lelaki hidung belang itu mabuk kepayang ingin bertegur sapa.

Pantun berlarik-larik mereka lantunkan demi menarik hati. Ronggeng itu membalasnya satu demi satu. Rupanya tak semudah itu mereka mendapatkannya. Untuk menggunakan jasa para penghibur, mereka harus membeli tiket dari Toke.

Begitulah dialog terjadi antara Toke dan tiga lelaki hidung belang itu. Salah satu cuplikan teatrikal berjudul Berbalas Pantun dalam pertunjukan Panggung Melayu Serantau, pada Jumat malam pekan lalu, di Teater Luwes Institut Kesenian Jakarta. Pergelaran tarian Melayu tersebut digarap oleh koreografer ulung Arison Tom Ibnur.

“Tari Melayu tak lagi populer sejak Orde Baru,” kata Tom. Padahal, semasa pemerintahan Bung Karno pada 1950-an, tari Melayu, seperti Serampang Dua Belas atau Mak Inang Pulau Kampai, dikukuhkan menjadi tarian nasional. Kedua tari karya maestro tari Melayu, Sauti, tersebut digarap dengan sangat rampak pada pementasan kali ini.

Keberadaan ronggeng, kata Tom, tak hanya ada di Jawa. Masyarakat Melayu juga menyebut perempuan penghibur ini sebagai ronggeng. Bahkan hingga saat ini masih bisa ditemui di desa-desa kecil masyarakat Melayu. Tak dimungkiri bahwa peran ronggeng selalu identik dengan prostitusi. Namun masih ada juga yang hanya berlaku sebagai perempuan penghibur.

Tom mengatakan filosofi tarian Melayu tak kalah kaya dibanding tarian Jawa. Serampang Dua Belas, misalnya, yang mengisahkan perjalanan cinta sepasang muda-mudi. Terdapat 12 tema yang bercerita seputar muda-mudi tersebut memulai pendekatan dan akhirnya merajut pernikahan. Apabila mereka sudah saling mengaitkan sapu tangan masing-masing, pertanda pernikahan telah mereka lakukan.

Berangkat dari sebuah tarian rakyat, Serampang Dua Belas berkembang di seluruh Kepulauan Nusantara, termasuk Malaysia dan Filipina. Sang kreator Sauti kemudian memolakannya sehingga tarian tersebut bisa dipelajari dan dikembangkan. "Saya khawatir pakem-pakem yang sudah dibuat oleh Sauti itu menjadi usang dan tidak diperhatikan lagi sebagai khazanah Indonesia," ujar Tom.

Menurut Tom, pergelaran ini salah satu cara mereka cipta sekaligus mereaktualisasi keberadaan tari Melayu. Tom menampilkan enam komposisi tari karyanya sendiri ataupun karya Sauti. Diawali dengan Sembah Makan Sirih, tarian persembahan sekapur sirih sebagai simbol rasa hormat bagi tetamu dalam sebuah perhelatan. Para penari perempuan membawa tempat sirih dan rangkaian bunga menunjukkan keramahan dan kehalusan budi. Penari pria dengan gagah membawa payung emas bertingkat yang menunjukkan kemegahan budaya Melayu. Gerakan tari kemudian berakhir dengan mempersembahkan sirih tersebut kepada para tamu.

Ada pula tari Zapin Dana Bedana. Tarian yang semula dibawa para saudagar Arab ini telah diadopsi seutuhnya oleh masyarakat Melayu. Tari Zapin menunjukkan kegembiraan muda-mudi. Pada awalnya kaum perempuan tak diperbolehkan menari Zapin. Tapi masyarakat Melayu telah memperbolehkannya. "Saya coba libatkan perempuan menari Zapin tapi masih dalam tata krama dan sopan santun Melayu,” kata Tom.

Bermula dari gerakan dua penari laki-laki, salah satunya Tom, di atas sebuah permadani. Mereka beradu gerak, saling melengkapi hingga membentuk semacam dialog dalam gerakan. Alas permadani yang digelar bukan tanpa alasan. Karpet indah ini menunjukkan kepiawaian penari. Barang siapa yang mampu menari di atas karpet tanpa terlipat, sudah lihailah mereka. Tingkatan selanjutnya, mereka boleh menggunakan alas rotan.

Selepas gerakan duet pembuka itu, para penari laki-laki dan perempuan berpasangan menghambur memenuhi panggung. Suasana riang kental terasa. Gerakan-gerakan canda sesekali terlihat. Saking riuhnya, kadang gerak mereka menjompak-jompak mengajak diri larut dalam keriangan itu.

Tak hanya dendang tarian, tapi musik juga mengalun riang. Seperangkat alat musik, seperti biola, akordeon, kendang, dan gambus, tertata sedemikian rupa. Ditambah lagi pelantun lagu yang kental dengan cengkok Melayu. Bahkan pada satu kesempatan, penonton diajak serta berdendang bersama, membaur dalam panggung.

Pentas itu boleh dibilang tak semeriah keberadaan tari Melayu. Belakangan popularitas tarian Melayu makin memudar. Tokoh-tokohnya juga banyak yang meninggal dan tak sempat melakukan regenerasi.

Bahkan ciptaan Sauti justru populer di luar Indonesia. Di sana, tarian tersebut dipelihara dan dikembangkan menjadi lebih kontemporer. "Mereka menghargai tarian Sauti itu milik Indonesia," Tom menjelaskan.

Ismi Wahid

Selasa, 06 April 2010

11 Kelompok Seni Pertunjukan Raih Program Kompetitif Hibah Seni Kelola-Hivos 2010

(2010-04-06)
11 Kelompok Seni Pertunjukan Raih Program Kompetitif Hibah Seni Kelola-Hivos 2010

Sebanyak 11 kelompok seni pertunjukan yang tersebar di lima provinsi Indonesia, berhasil meraih kesempatan untuk berpentas didukung oleh Program Kompetitif Hibah Seni Kelola-Hivos 2010. Mereka telah berkompetisi dengan 54 proposal yang masuk sejak Program Kompetitif Hibah Seni Kelola-Hivos 2010 dibuka akhir tahun 2009.

Program Hibah Seni merupakan program dukungan dana kompetitif untuk kegiatan seni pertunjukan di Indonesia ini telah teruji selama kurun waktu 10 tahun. Melalui program ini Kelola hendak mendorong praktik penyelenggaraan hibah kesenian yang lebih terbuka dan kompetitif. Alasan lain program ini juga bertujuan mengembangkan kemampuan manajemen para peraih Program Kompetitif Hibah Seni.

Berikut adalah 11 Peraih Program Kompetitif Hibah Seni 2010 yang telah lolos penilaian tim seleksi; Amna S. Kusumo (Kelola, Jakarta), Imas Sobariah (teater,Lampung), Joned Suryatmoko (teater, Yogyakarta), Michael Asmara (musik, Yogyakarta) dan S. Trisapto (tari, Jakarta).

A. Karya Inovatif
1. The Royal Actor Experimental Theatre, Jember, Teater: AKAL BULUS SCAPIN
2. Laskar Panggung, Bandung, Teater: SIKAT SIKUT SAKIT
3. Dwi Windarti, Solo, Tari: MENCARI HARMONI
4. Bengkel Mime Teater, Bantul, Teater Mime: PUTRI EMBUN DAN PANGERAN BINTANG
5. Wendy HS, Padangpanjang, Teater: TAMBO RANTAU: KABAR DARI NAGARI LAKI LAKI
6. Imam Mahfud, Ponorogo, Tari: JARANAN THEK KESURUPAN PLASTIK

B. Pentas Keliling
1. Galang Dance Company , Padang, Tari: PENANTIAN
2. Studiklub Teater Bandung, Bandung, Teater: AH, MATJAM-MATJAM MAOENJA
3. Seni Teku, Bantul, Teater: KINTIR : ANAK-ANAK MENGALIR DI SUNGAI
4. Melki Jemri Edison Neolaka, S.Sn, Bantul, Tari: MUMSO NOK TUA
5. Padepokan Seni Sarotama, Karanganyar, Wayang: GATHUTKACA JEDHI

Kami berharap dengan adanya pengumuman hasil peraih Program Kompetitif Hibah Seni Kelola-Hivos 2010, Friends of Kelola berkenan untuk menyebarluaskan berita gembira ini sebagai bentuk apresiasi dan dukungan untuk melestarikan kekayaan seni Indonesia. Sekian dan terima kasih.

Peraih Program Magang Nusantara Kelola 2010 – Hivos Segera Magang di 13 Organisasi Tuan Rumah

(2010-04-05)
Peraih Program Magang Nusantara Kelola – Hivos Segera Magang di 13 Organisasi Tuan Rumah

Program Magang Nusantara tahun 2010 telah menyeleksi calon peserta hingga terpilih 14 peraih program Magang Nusantara Kelola-Hivos yang akan segara magang di 13 Organisasi Tuan Rumah (OTR) yang tersebar di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Program ini memberi kesempatan kepada pekerja seni atau pelaku seni untuk melihat dan belajar, bekerja serta mengembangkan jejaring di suatu organisasi profesional yang teruji dan memiliki reputasi yang baik.

Sasaran yang diharapkan dari program magang adalah peraih program Magang Nusantara bisa membagikan pengalaman yang diperoleh selama mengikuti magang ke komunitas asalnya dan mengembangkan jejaring dengan komunitas yang lebih luas setelah program ini selesai.

Berikut adalah nama-nama peraih program kompetitif Magang Nusantara 2010 beserta Organisasi Tuan Rumah di mana mereka akan dimagangkan:
1. Centre Culturel Francais, Jakarta - Tri Asih Puspitaningtyas, Bandung
2. Galeri Antara, Jakarta - Didi Mugitriman, Jambi
3. Goethe Institut, Jakarta - Nurhamsiah, Makassar
4. Japan Foundation, Jakarta - Sekar Putri Handayani, Sukoharjo
5. YMMI JiFFest, Jakarta - Fatris M.F., Padang
6. Kineforum, Jakarta - Ayu Suminar, Bangka Belitung
7. Lembaga Indonesia Prancis (LIP), Yogyakarta - Amanda Manggiasih PC, Bandung
8. LPK Natya Lakshita Didik Nini Thowok Yogyakarta - Deden Tresnawan, Bandung
9. Saung Angklung Udjo, Bandung - Wildan Kurnia, Garut
10. Selasar Sunaryo Art Space, Bandung - Chabib Duta Hapsoro, Semarang
11. Teater Garasi, Yogyakarta - Hayyu Citra Herdana, Tangerang
12. Teater Koma, Jakarta - La Ode Farid Ahkyar H., Bau – Bau dan Ade Puraindra, Riau
13. Yayasan Bagong Kussudiardja, Yogyakarta - Femmy, S.Sos, Padang

Kami berharap dengan adanya pengumuman hasil seleksi Magang Nusantara 2010, Friends of Kelola berkenan untuk menyebarluaskan berita gembira ini sebagai bentuk apresiasi dan dukungan untuk melestarikan kekayaan seni Indonesia. Sekian dan terima kasih.

Kamis, 18 Maret 2010

DIRI MELAYU DAN LIYAN (OTHER) JAWA

DIRI MELAYU DAN LIYAN (OTHER) JAWA
oleh Sudibyo
Makam Hang Tuah di Kg. Pengkalan Perigi, Tanjong Keling, dlm kawasan pekuburan Melayu, Melaka, Malaysia. (foto: www.shw.reactivatezul.fotopages.com)
* Pembacaan Poskolonial Terhadap Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Raja-raja Pasai

A. Pengantar

Cukup banyak tulisan yang telah mencoba untuk menjelaskan identitas Melayu dan kemelayuan. Namun, dari beberapa tulisan, tulisan-tulisan yang terkumpul dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries (Barnard: 2004) merupakan hasil riset mutakhir tentang konsep kemelayuan (Malayness) dan identitas Melayu (Malay Identity). Dalam salah sebuah tulisan yang disusun Reid (2004: 1-24) dikemukakan bahwa sampai dengan abad ke-19 arti istilah Melayu setidak-tidaknya mencakup tiga hal. Pertama, istilah itu berhubungan dengan perhatian terhadap anak keturunan raja. Kedua, Melayu mengacu pada makna munculnya kebangsaan modern atau ras dan ketiga Melayu sebagai superkultur urban.

Menurut pandangan yang pertama para pengarang istana yang sangat menghormati tradisi kerajaan mencemaskan semakin mantapnya prinsip-prinsip kemelayuan yang terjadi di luar kepentingan pribadi raja dan keluarga kerajaan (Chou, 2004: 4). Dalam pandangan itu, intervensi dari luar (baca: dari Jawa) yang berpotensi menggerus identitas Melayu akan membangkitkan kesadaran untuk memperkokoh identitas tersebut (Andaya, 2004 b: 18). Arti kedua merupakan persuasi gagasan-gagasan yang berasal dari Eropa tentang kebangsaan dan ras. Berbeda dengan pandangan yang pertama, makna yang kedua ini menganggap raja-raja Melayu sebagai ancaman terbesar bagi bangsa Melayu. Arti yang kedua ini mensyaratkan kemampuan bersaing bagi bangsa Melayu tidak hanya dengan kelompok-kelompok etnis yang lain yang pada waktu itu banyak bermukim di Bandar-bandar dagang Melayu seperti Jawa, Mandailing, Bugis, Aceh, Banjar, dan Pekan, tetapi juga dengan para penutur bahasa Melayu lain yang memiliki loyalitas terhadap penguasa-penguasa tertentu. Adapun pengertian Melayu sebagai superkultur urban adalah ciptaan Belanda dan hal itu tidak banyak berhubungan dengan etnisitas. Istilah itu merupakan label bagi diaspora komersial dari penduduk urban berbahasa Melayu dari latar belakang etnis yang berbeda-beda. Menurut pandangan ini siapa saja yang bertutur dalam bahasa Melayu adalah Melayu (lihat Chou, 2004: 4).

Dalam skema di atas, Sejarah Melayu (SM), Hikayat Hang Tuah (HHT) dan Hikayat Raja-Raja Pasai (HRRP) merupakan representasi dari konsep yang pertama.

B. Diri dan Liyan dalam Perspektif Pascakolonialisme

Dalam wacana pascakolonialisme ada pembicaraan tentang otherism atau otherness. Dasar pandangan itu adalah anggapan bersifat etnosentris yang memandang bahwa diri sendiri (etnis atau bangsa sendiri) adalah makhluk-makhluk mulia. Sementara liyan dipandang dengan persepsi berlapis dari rasa tidak suka, takut, dan benci. Ketidakpercayaan terhadap liyan ini sangat problematik karena merupakan dasar bagi rasisme (Brace, 2006: 268).

Sementara itu, klaim bahwa ada basis genetik bagi superioritas suatu bangsa terhadap bangsa yang lain sama sekali tidak berdasar. Superioritas adalah konsep politik dan sosioekonomi yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa politik, militer, sejarah ekonomi yang mutakhir serta tradisi kultural dari suatu negara atau kelompok (Harrison, 2003: 74). Superioritas ras adalah sebuah konstruk sosial (Brace, 2006: 270).

Dengan demikian, devaluasi terhadap “perbedaan” atau “liyan” pada dasarnya adalah persoalan psikologis. Secara naluriah, orang cenderung curiga terhadap siapa saja yang kelihatan berbeda: berbeda kepercayaan, berbeda tingkah laku, berbeda aksen atau bahasa, berbeda pakaian, dan berbeda makanan. Berangkat dari sini, persepsi terhadap liyan pada hakikatnya berpusat pada diri. Tidak ada liyan yang bisa dijadikan objek. Semua liyan adalah bagian dari diri dan semua realitas adalah subjektif karena merupakan konstruk (Brace, 2006).

Dasar-dasar teoretik di atas tampaknya dapat diterapkan untuk alat analisis terhadap berbagai fenomena tekstual dalam SM, HHT, dan HRRP yang menempatkan Jawa sebagai liyan. Yang akan dilakukan adalah membongkar konstruk sosial dan historis Melayu yang melahirkan superioritas Melayu dan penstereotipan Jawa sebagai liyan.

C. Diri-Melayu dan Liyan Jawa dalam Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah, dan Hikayat Raja-Raja Pasai

Sejarah Melayu (SM), Hikayat Hang Tuah (HHT), dan Hikayat Raja-Raja Pasai (HRRP) merupakan tiga buah memori naratif Melayu terpenting. Meskipun ketiga narasi itu tidak berkisah tentang kenyataan atau tidak seluruhnya tentang kenyataan, tetapi juga tidak dapat disederhanakan begitu saja sebagai fiksi yang hanya berasal dari benak pembawa cerita. Ketiga narasi tersebut menarasikan tradisi yang secara lisan telah diwariskan selama berabad-abad tentang ekspansi imperium Jawa atas Tanah Melayu baik di selatan maupun di utara Selat Malaka.

Oleh karena itu, ketiga narasi berbahasa Melayu di atas menyimpan ingatan kolektif yang hampir sama terhadap Jawa mengingat ketiganya berasal dari kurun waktu yang hampir sezaman. Ingatan kolektif itu terbangun dari proses panjang pasang surut hubungan Melayu-Jawa. Jawa dicitrakan sebagai ”bangsa” yang layak diwaspadai dan dipinggirkan karena kekuasaan Jawa telah menjadi sangat dominan pada masa ketiga narasi tersebut dibangun. Jawa menjadi ancaman potensial yang harus dilawan dan diberontaki meskipun hanya pada tataran wacana.

Dalam cerita ke-6 SM disebutkan tentang hubungan Jawa (Majapahit) dengan dunia Melayu. Dikisahkan bahwa salah seorang raja Majapahit, Sang Aji Jaya Ningrat adalah keturunan raja Tanjung Pura. Raja ini mempunyai seorang putri yang sangat cantik, Raden Galuh Candra Kirana. Kecantikan Candra Kirana termasyhur sampai ke Melaka, sehingga Sultan Mansyur syah pun berminat untuk menyuntingnya. Dengan ditemani oleh beberapa orang hulubalang setianya, antara lain Tun Bijaya Sura dan Laksamana Hang Tuah, Sultan Mansyur Syah mengunjungi Majapahit. Mereka disambut oleh Seri Betara Majapahit dengan penuh keagungan, tetapi juga dengan bermacam-macam tipu daya yang bertujuan untuk menghinakan dan melenyapkan sultan Melaka beserta para hulubalangnya itu (Ahmad, 2006: 112-130).

Pelecehan pertama terjadi di balairung Majapahit. Sultan Melaka diterima di balairung yang memiliki tangga tiga tingkat. Sultan Melaka duduk di lantai peseban sebaris dengan raja Tanjung Pura dan raja Daha yang pada waktu itu tengah menghadap Betara Majapahit. Sementara itu, tepat di hadapan Betara Majapahit di salah satu anak tangga ditambatkan seekor anjing berantai emas. Hang Tuah yang merasa sangat terhina dengan kejadian itu minta tolong kepada Tun Bijaya Sura mencari akal untuk melepaskan diri dari situasi yang tidak menyenangkan itu. Tun Bijaya Sura pun menari-nari dengan ikat kepala berhiaskan genta. Tariannya menarik perhatian Betara Majapahit, hingga ia dipersilakan menari di dekatnya. Sambil menari, Tun Bijaya Sura mendekati anjing berkalung emas tersebut dan mengibas-ngibaskan ikat kepala bergenta yang berbunyi gemerincing. Mendengar gemerincing bunyi genta, anjing berkalung emas itu pun terkejut dan meronta sekuat tenaga hingga kalung emas di lehernya putus terus melarikan diri.

Ketika diminta untuk menyuguhkan atraksi yang lain, Tun Bijaya Sura memilih menampilkan sapu-sapu rengit/ringin. Ia minta bantuan tiga orang anak Melayu untuk memainkannya. Ternyata, salah satu bagian dari permainan itu adalah menghadapkan kaki ke arah Betara Majapahit. Tun Bijaya Sura tidak mengindahkan protes dari para punggawa Majapahit karena dianggap melanggar tabu yang berlaku di istana Majapahit. Ia membela diri dengan berdalih bahwa apa yang disaksikan itu adalah bagian dari pertunjukan sapu-sapu rengit/ringin.

Merasa berhasil membalas penghinaan Betara Majapahit terhadap sultan Melaka, Tun Bijaya Sura memberi giliran kepada lima sekawan, Hang Tuah, Hang jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu untuk menunjukkan keperkasaan mereka dengan cara menaiki balai larangan Betara Majapahit. Dengan gagah berani, kelima pahlawan Melaka itu naik ke balai larangan yang pada waktu dipenuhi oleh orang-orang yang tengah menghadap Betara Majapahit. Perbuatan lima sekawan itu mengundang amarah orang-orang Majapahit yang segera menghujani mereka dengan berpuluh-puluh, beratus-ratus, bahkan beribu-ribu tombak. Namun, tak satu pun ujung tombak berhasil menggores kulit mereka. Sebaliknya, beribu-ribu tombak orang-orang Majapahit justru kehilangan mata tombaknya karena sabetan keris tempa Melaka.

Keperkasaan Hang Tuah menjadi buah bibir di Majapahit. Di mana-mana orang merindukan Hang Tuah. Jika ia berada di Peseban, peseban gempar; jika ia pergi ke pasar, pasar geger. Segala perempuan Majapahit, terutama para perempuan muda tidak mampu mengendalikan birahinya ketika melihat Hang Tuah. Bahkan, perempuan yang sedang berada di pangkuan suaminya, segera akan meninggalkan pelukan suaminya jika Hang Tua berada di dekatnya. Orang-orang jawa pun berpantun sebagai berikut.

Enya suruh tanggapana penglipur; saben dina katon parandene oneng uga. Iwer kabeh sang dara kabeh, dene Laksamana lumaku-lumaku, penjurit ratu Melayu. Kaget wong paken dene Laksamana tumandang, Laksamana tumandang, penjurit ratu ing sebrang. Geger wong pasar dene Laksamana liwat penjurit ratu Melaka. (Ahmad, 2006: 124)

Ini sirih jadikanlah sebagai pelipur rasa birahi; setiap hari terlihat, tetapi tetap merasa rindu. Kacaulah para dara semuanya melihat Laksamana berjalan-jalan, hulubalang raja Melayu. Terkejutlah orang-orang di pangkuan karena melihat Laksamana, hulubalang raja seberang. Gemparlah orang sepasar melihat laksamana lewat, hulubalang raja Melaka.

Ujian terhadap Sultan Mansyur Syah dan para hulubalangnya terus-menerus terjadi. Setelah berhasil mengatasi berbagai rintangan itu, Sultan Mansyur Syah dikawinkan dengan Raden Galuh Candra Kirana. Kedua mempelai tinggal beberapa waktu di Majapahit untuk kemudian pulang bersama-sama ke Melaka. Namun, sebelum berangkat Sultan Mansyur Syah menugasi Tun Bijaya Sura untuk minta daerah Indragiri, Hang Jebat untuk daerah Jambi dan Tungkal, sedangkan Laksamana diminta untuk minta daerah Siantan sebagai bagian dari kesultanan Melaka. Berdasarkan pertimbangan Patih Gajah Mada, semua permintaan Sultan Mansyur Syah dikabulkan, kecuali permintaannya akan daerah Siantan. Siantan dianugerahkan Betara Majapahit kepada Hang Tuah turun kepada anak cucunya karena Betara Majapahit sangat terkesan kepada tarian yang dipersembahkan Laksamana kepadanya.

Kontestasi Melayu-Jawa juga menjadi bagian yang cukup penting dalam HHT. HHT merupakan teks yang tidak mengenal batas waktu karena termasuk epos Melayu yang paling populer. Versi-versi awalnya kemungkinan besar telah diceritakan pada abad ke-15, tetapi versi tulisnya baru muncul satu setengah abad atau dua abad berikutnya (bdk. Reid b, 2004: 222). Hikayat ini berkisah tentang seorang pahlawan Kesultanan Melaka yang merupakan representasi keberanian Melayu. Hang Tuah melakukan muhibah ke negeri India, Cina, dan bahkan Rum (Byzantium/Turki) sebagai utusan sultan Melaka untuk mendapatkan pengakuan mereka terhadap eksistensi Kesultanan Melaka dan penghormatan mereka kepada orang-orang Melayu beserta rajanya.

Dari sekitar 500 halaman hikayat itu (Ahmad, 1997), sekitar 150 halaman (h. 109 s.d.190 dan h. 266 s.d. 322) diabadikan untuk mengisahkan persaingan antara Sultan Melaka dengan Seri Betara Majapahit. Kisahnya bermula ketika Sultan Melaka bermaksud meminang Tun Teja sebagai istrinya. Keinginan ini dicela oleh Patih Kerma Wijaya karena menurut dia, hanya putri Betara Majapahitlah yang layak bersanding dengan sultan. Sebagai wujud tanggung jawabnya, Patih Kerma Wijaya bersedia memimpin utusan ke Majapahit. Hanya saja karena di Majapahit terdapat banyak prajurit pilihan dan jagoan, Patih Kerma wijaya mohon diizinkan ditemani oleh para kesatria Melaka yang gagah berani dan bijaksana. Dengan izin raja, Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu pun menyertai perjalanan Patih Kerma Wijaya ke Majapahit.

Kedatangan Sultan Melaka disambut oleh Seri Betara Majapahit dan Patih Gajah Mada dengan berbagai kehormatan. Akan tetapi, karena khawatir jika sudah menikah dengan Sultan Melaka putrinya, Raden Galuh Emas Ayu akan dibawa ke Melaka, Seri Betara Majapahit minta kepada patih Gajah Mada mengatur siasat dan tipu daya agar keinginan Sultan Melaka itu dapat digagalkan (h.142).

Patih Gajah Mada merancang beberapa siasat antara lain melalui amuk, pencurian keris Taming sari milik Hang Tuah, dan pembunuh yang sangat sakti untuk menghabisi para hulubalang Melaka itu. Akan tapi, para prajurit Majapahit pilihan Patih Gajah Mada selalu gagal melaksanakan tugasnya. Kelima hulubalang Melaka itu malahan sempat berguru tentang ilmu keprajuritan dan tata pemerintahan kepada seorang ajar Majapahit bernama Sang Persata Nala di Gunung Wirana Pura. Mereka berlima juga diajar berbagai-bagai kesaktian. Meskipun demikian, Hang Tuahlah yang dianggap oleh Sang Persata Nala dapat mewarisi ilmunya karena dia sangat tekun dan berbakat (h.160-163). Di sini Hang Tuah mewarisi “ilmu” Jawa in optima prima yang sangat berguna dalam persaingannya dengan para jago Majapahit..

Ujian dari Jawa untuk Hang Tuah, muncul lagi ketika Hang Tuah diutus sekali lagi oleh Sultan Melaka untuk meredakan kemarahan Seri Betara Majapahit karena mendengar Sultan Melaka benar-benar mengawini Tun Teja, putri Bendahara Seri Buana Inderapura (h.269). Patih gajah Mada menyiapkan berbagai siasat dan tipu daya untuk membunuh para hulubalang Melaka itu. Melaui topos amuk, pameran kekuatan prajurit, pencurian keris oleh prajurit rahasia, dan rencana pembunuhan dengan melibatkan ribuan prajurit, serta bantuan dari tokoh-tokoh sakti, Hang Tuah berusaha dilumpuhkan. Namun, karena Hang Tuah sudah menguasai ilmu keprajuritan dan segala kesaktian Majapahit dari Sang Persata Nala, segala upaya Patih Gajah Mada sia-sia. Walaupun demikian, Seri Betara Majapahit dan Patih Gajah Mada tidak putus asa. Diutusnya Marga Paksi tujuh bersaudara untuk melakukan tugas rahasia menyusup dan menghancurkan Melaka dari dalam. Namun, sekali lagi, tugas itupun gagal. Hang Tuah berhasil menggagalkan aksi ketujuh prajurit rahasia utusan Patih Gajah Mada tersebut dan memenggal kepala mereka (h.320).

Persaingan Melayu-Jawa juga mendapatkan perhatian dalam Hikayat RajaRaja Pasai (HRRP). HRRP mengisahkan kehancuran Pasai oleh Majapahit karena raja Pasai, Sultan Ahmad melakukan tindakan tercela membunuh putranya Tun Abdul Jalil yang dicintai oleh putri Majapahit karena dibakar cemburu. Perbuatan tercela Sultan Ahmad itu bukan yang pertama kalinya karena sebelumnya ia juga merekayasa pembunuhan terhadap anak sulungnya, Tun Beraim Bapa juga karena dibakar cemburu. Tindakan yang kedua berakibat fatal bagi Pasai karena sepeninggal Tun Abdul Jalil, putri Majapahit Tuan Puteri Gemerencang yang telah dibakar asmara menenggelamkan diri di laut Jambu Air, tempat mayat Tun Abdul jalil dibuang. Kematian Tuan Puteri Gemerencang membakar amarah Sang Nata Majapahit. Dalam waktu tiga hari tiga malam Pasai pun dihancurkan oleh bala tentara Majapahit dan untuk sementara waktu, dijadikan sebagai koloni Majapahit. Harta benda Pasai dijarah dan penduduknya dijadikan tawanan. Dalam perjalanan pulang ke Majapahit dengan membawa kemenangan besar, bala tentara Majapahit singgah di Jambi dan Palembang. Kedua daerah itu menyatakan takluk kepada Majapahit. (Hill, 1960: 93-100).

Kejayaan atas Pasai mendorong Sang Nata melakukan perluasan daerah taklukan. Ia minta kepada Patih Gajah Mada bersama dengan Tumenggung Macan Negara, Demang Singa Perkasa, dan Senapati Ing Alaga untuk menaklukkan sebagian Sumatra: Ujung Tanah, Tioman, Bangka, Belitung, Riau, dan Bintan serta sebagian Kalimantan: Sambas, Mempawah, Sukadana, Kota Waringin, dan Banjar. Selain itu, bala tentara Majapahit juga berlayar ke arah Timur menaklukkan beberapa wilayah di Timur seperti Bima, Sumbawa, Selaparang, Bali, dan Blambangan. Semua kerajaan itu menyatakan takluk kepada Majapahit dan secara teratur menyerahkan upeti kepada Sang Nata Majapahit (Hill, 1960: 100-102 ; Jones, 1987: 71).

Belum puas dengan menguasai beberapa kerajaan tersebut di atas, Sang Nata Majapahit kembali merancang perjalanan penaklukan. Akan tetapi, berbeda dengan penaklukan-penaklukan sebelumnya penaklukan itu dilakukan dengan cara mengadu kerbau. Yang menjadi sasaran penaklukan adalah Pulau Perca, dalam hal ini adalah sebuah daerah di pedalaman Jambi yang bernama Priangan. Patih Gajah Mada menemui Patih Suatang, panglima bala tentara Priangan menyampaikan tantangan Sang Nata Majapahit, yaitu jika kerbau Majapahit menang daerah itu harus menjadi taklukan Majapahit, tetapi sebaliknya jika kerbau Majapahit kalah, pasukan Majaphit akan menarik diri dari Pulau Perca. Tantangan Sang Nata disanggupi oleh Patih Suatang. Ia minta waktu selama tujuh hari untuk melakukan persiapan (Hill, 1960: 103-104 ; Jones, 1987: 72-73).

Tahu bahwa kerbau Sang Nata Majapahit adalah kerbau besar, perkasa, serta tiada terlawan, Patih Suatang mempersiapkan seekor anak kerbau yang kuat dan kokoh. Selama tujuh hari anak kerbau itu di tempatkan dalam sebuah kandang dan dibiarkan tidak menyusu. Ketika tiba saatnya kerbau itu diadu, kerbau kecil yang sedang kelaparan itu secepat kilat menyerbu selangkangan kerbau Sang Nata Majapahit dan menetek testis kerbau Majapahit itu. Kerbau Majapahit itu berusaha melepaskan diri dari kerbau kecil tersebut, tetapi sia-sia karena tubuh kerbau itu kecil dan berada di antara selangkangan kerbau Majapahit. Akhirnya, kerbau Majapahit tersebut terus-menerus melenguh, berguling-guling di tanah dan kalah. Para kesatria Majapahit merasa malu menyaksikan kejadian itu (Hill, 1960: 104-105 ; Jones, 1987: 72-73). Mereka mohon pamit kepada Patih Suatang untuk pulang kembali ke Majapahit. Keinginan mereka tidak dikabulkan oleh Patih Suatang. Patih Suatang beserta anak buahnya justru menyiapkan sebuah pesta besar dengan makan dan minum untuk melepas keberangkatan bala tentara Majapahit. Hanya syaratnya, bala tentara Majaphit tidak boleh menenggak minuman sendiri. Mereka minum dengan cara menenggak minuman yang dituangkan ke dalam mulutnya oleh orang-orang Patih Suatang dari sebatang bambu. Karena tidak memiliki kesempatan untuk menolak minuman itu, bala tentara Majapahit mabuk bertumbangan. Pada saat mabuk itulah, para prajuit Majapahit dibantai oleh para pengikut Patih Suatang. Yang bisa melarikan pulang ke Majapahit (Hill, 1960: 105-106 ; Jones, 1987: 74-75).

Setelah makan, maka berdirilah segala hulubalang dan rakyat membawa minuman seorang buluh telang itu, lalu ia hampirlah pada seorang seorang. Maka hendak disambutnya oleh orang Jawa itu tiada diberinya oleh segala rakyat Pulau Perca itu katanya,”Tiada demikian adat kami, melainkan kami juga menuangkan dia kepada mulut tuan tuan akan memberi hormat jamu kami itu.” Maka sekaliannya pun berngangalah, maka tabuh pun berbunyi, maka sekaliannya pun menuangkan lalu meradakkan ke kerongkongannya. Maka setengah mereka itu habislah mati dan setengah mereka itu lari....Maka segala rakyat yang lari itu pun pulanglah ia ke Majapahit dengan Masygulnya dan percintaannya....

Cerita ke-6 SM menunjukkan strategi narasi Melayu dalam menyiasati pertandingan wacana yang terjadi antara Melayu dengan Jawa. Pertama, SM menggunakan genealogi untuk mempertemukan sultan Melaka dengan raja Majapahit. Raja Majapahit digambarkan sebagai anak raja Melayu Tanjung Pura yang pada hakikatnya memiliki pertalian darah dengan sultan Melaka karena sama-sama merupakan keturunan Sang Sapurba. Genealogi ini menempatkan sultan Melaka setara dengan Betara Majapahit. Kedua, berbagai siasat dan tipu daya yang dirancang Patih Gajah Mada dan Seri Betara Majapahit untuk mecelakai sultan Melaka dan para hulubalangnya digambarkan selalu gagal. Kegagalan itu menunjukkan superioritas Melaka atas Majapahit. Ketiga, kekalahan Majapahit yang harus ditebus dengan jatuhnya beberapa daerah taklukannya di seberang lautan ke bawah kekuasaan sultan Melaka, menyiratkan bahwa di hadapan Melaka posisi tawar Majapahit lemah.

Sementara itu, di pihak lain, dapat pula ditafsirkan bahwa segala kebesaran Melaka hanya bisa diperoleh melalui perantaraan kemurahan hati Betara Majapahit. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa peristiwa. Sultan Melaka mendapatkan istri yang setara dengan kebesarannya hanya di Majapahit, yaitu dengan mengawini Raden Galuh Candra Kirana. Di samping itu, dalam berbagai peristiwa yang memojokkan Majapahit, tetapi mengunggulkan citra Melaka, Betara Majapahit bersedia mengakui kecerdikan siasat para hulubalang Melaka dan selalu memberi keleluasaan kepada mereka untuk menunjukkan berbagai kepiawaian mereka yang lain yang kesemuanya hanya akan mengagungkan bangsa Melayu. Bahkan, ketika sultan Melaka minta beberapa daerah taklukkan Majapahit sebagai hadiah, Betara Majapahit pun dengan senang hati melepaskannya. Dari berbagai peristiwa ini, terlihat bahwa sebagian kejayaan sultan Melaka hanya dapat diperoleh dari kebesaran hati Betara Majapahit. Dengan demikian, meskipun ditempatkan dalam posisi yang kurang menguntungkan, kehadiran liyan Jawa merupakan bagian integral dalam SM.

Fenomena di atas semakin mengemuka dalam HHT. Keputusan Sultan Melaka menerima saran Patih Kerma Wijaya untuk meminang putri Seri Betara Majapahit, Raden Galuh Emas Ayu menunjukkan bahwa sultan mengakui hegemoni Majapahit. Lebih-lebih, saran ini berasal dari seorang pejabat senior yang amat disegani yang asalnya adalah pendatang dari Lasem, salah satu wilayah Majapahit. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa anasir Jawa mulai menggerakkan cerita.

Pelibatan Hang Tuah dan keempat sahabatnya dalam misi ini merupakan strategi Kerma Wijaya untuk melibatkan para kesatria Melaka itu dalam pusaran konflik. Kerma Wijaya pasti mengetahui karakter para kesatria Majapahit yang tidak menyukai kehadiran orang-orang Melayu. Dengan demikian, segala peristiwa yang dialami oleh Hang Tuah dan keempat sahabatnya sudah dapat diramalkan. Narator Melayu yang mahatahu (omniscent) merangkai kisah kejayaan para kesatria Melayu ini sebagai sarana untuk mengagungkan citra Melayu di mata orang-orang Majapahit (Jawa). Serangkaian kegagalan siasat Patih Gajah Mada adalah bukti kebesaran Melayu. Ternyata, Melayu tidak mudah ditundukkan bahkan oleh seorang sekaliber Patih Gajah Mada yang dikenal secara luas sebagai ahli strategi yang ulung.

Akan tetapi, keberhasilan itu juga menyulut kedengkian di kalangan para hulubalang Melayu. Mereka khawatir kedudukan mereka akan tergusur oleh Hang Tuah. Karena itu, dengan bersekongkol dengan Kerma Wijaya mereka berusaha menyingkirkan Hang Tuah. Mereka berhasil memfitnah Hang Tuah di hadapan sultan, sehinggga Hang Tuah dihukum buang karena dituduh berselingkuh dengan dayang-dayang istana. Dalam peristiwa ini, liyan Jawa menjadi salah satu faktor penyebab penderitaan Hang Tuah. Peristiwa itu terulang lagi ketika Hang Tuah sekali lagi berhasil mengakhiri segala gangguan yang berasal dari kekuatan subversif Majapahit. Karena fitnah dan kedengkian Kerma Wijaya dan beberapa orang hulubalang Melayu, Hang Tuah sampai dijatuhi hukuman mati. Meskipun hukuman itu kemudian secara diam-diam diubah oleh bendahara menjadi hukum buang untuk yang kedua kalinya.

Barangkali pengalaman buruknya dengan orang-orang Jawa itulah yang menyebabkan Hang Tuah dalam sebuah jamuan yang diadakan untuknya pada masa pembuangannya di Inderapura sampai dua kali menyebut bahwa Jawa-Majapahit adalah penyebab tercemarnya identas Melayu Melaka. Di mata Hang Tuah orang Jawa tidak bercita rasa seni serta tidak pandai menari. Tampaknya, hal ini dimaksudkan untuk menyudutkan orang Jawa bahwa orang Jawa hanya menguasai keterampilan kasar dan kurang memperhatikan kehalusan budi serta perilaku.

Maka Laksamana pun tersenyum seraya berkata: Orang Melaka gerangan Melayu kacukan, bercampur dengan Jawa Majapahit…. Laksamana berbangkit menari…. Maka kata Laksamana: jangan sahaya diajuk karena orang Melaka ini tuannya bercampur Jawa Majapahit tiada tahu menari. (Ahmad, 1997: 199)

Dalam hubungannya dengan berbagai pengalaman buruk yang pernah menimpa Hang Tuah, fragmen di atas dapat dibaca sebagai keraguan diri-Melayu terhadap liyan-Jawa dan mulai bertumbuhnya prasangka buruk Melayu terhadap Jawa. Bagi orang Melayu-Melaka, kejawaan telah mencemari autentisitas identitas mereka. Percampuran itu juga mengakibatkan lahirnya kultur hibrida yang tidak mereka kehendaki (bdk. Maier, 1992: 20). Melalui pembacaan kontrapunktal, yaitu membaca teks dengan mempertimbangkan hal-hal yang tidak ditampakkan dalam teks atau disembunyikan (Said, 1994: 51 ) fragmen di atas juga dapat ditafsirkan bahwa Hang Tuah menyesalkan perkawinan yang dilakukan Sultan Melaka dengan putri Majapahit serta dominasi pelarian Jawa, Kerma Wijaya di istana Melaka.

Kedudukan Kerma Wijaya menjadi kuat karena pada saat melarikan diri ke Melaka dia membawa seluruh kerabatnya beserta 7000 orang pengikutnya (h. 51). Kerabat dan para pengikutnya itu kemudian menjadi kekuatan yang ada di belakang Kerma Wijaya dan menaikkan wibawanya sebagai pejabat penting di bawah sultan. Selain itu, sebagai seorang pejabat senior dia juga berhasil menciptakan jejaring yang luas di kalangan para hulubalang Melaka, khususnya mereka yang tidak menyukai Hang Tuah (h. 192 dan 324). Kerma Wijaya memiliki loyalitas ganda. Meskipun telah memiliki kedudukan tinggi di istana Melaka, dia tidak dapat menyembunyikan kebaktiannya kepada Seri Batara Majapahit. Kerma Wijaya mencoba mengarahkan orientasi hubungan luar negeri Melaka ke Majapahit. Tampaknya, HHT merupakan narasi pertama Melayu yang menengarai tentang adanya kemungkinan bahaya yang ditimbulkan oleh dominasi migran Jawa.

SM dan HHT sebagai narasi sezaman (Andaya, 2004a: 71 dan Maier, 2004: 77) tampak ingin menggugat dominasi Jawa atas Melayu yang pada abad ke-15 hanya mengacu pada Semenanjung Malaysia (Andaya, 2004a: 71). Hal ini terjadi karena pada abad ke-15 Majapahit dan Melayu berebut hegemoni atas negeri-negeri di sekitar Selat Melaka. Hanya bedanya kekuasaan Majapahit tengah menyongsong senjakala, sedangkan Melaka berada pada puncak kejayaannya.

Yang menarik, kedua naratif tersebut menyebut nama Patih Gajah Mada sebagai tokoh yang selalu menimbulkan kesulitan bagi para kesatria Melayu, Hang Tuah lima sekawan. Padahal, secara faktual hal itu tidak mungkin terjadi karena Patih Gajah Mada sudah meninggal pada 1364 (Robson, 1995: 7 dan Ras, 1992: 150). Anakronisme itu terjadi karena dalam ingatan sosial Melayu, Patih Gajah Mada dianggap sebagai musuh bersama yang potensial. Pada 1331 Patih Gajah Mada pernah menyatakan ambisi teritorialnya melalui sumpah palapa yang menyatakan bahwa dia tidak akan beristirahat sebelum berhasil menaklukkan Nusantara (wilayah di luar Majapahit).

Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa. (Brandes, 1920: 36)

Apabila nusantara sudah takluk saya beristirahat, apabila Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik sudah takluk pada saat itulah saya beristirahat.



Tak ada bukti yang meyakinkan bahwa bahwa Gajah Mada berhasil mewujudkan ambisi teritorialnya tersebut. Namun, satu tahun setelah Gajah Mada wafat pada 1365, Nagarakertagama menginformasikan bahwa imperium Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk telah memegang kendali atas bumi Melayu: Sumatra, Pahang, sebagian besar Semenanjung Malaysia, sebagian Kalimantan, dan daerah-daerah di Kepulauan Sunda Kecil, Makasar, Maluku Selatan, dan Papua (Pigeaud, 1960-1963 I: 16-18). Apabila daftar yang dibuat oleh Prapanca ini benar, artinya pada saat itu Majapahit berhasil menguasai seluruh wilayah Nusantara. Hegemoni atas bumi Melayu merupakan ambisi lama Kertanegara, raja Singasari, ketika yang bersangkutan pada 1275 menempatkan pasukan yang kuat dalam rangka sebuah ekspedisi di Sumatra (Brandes, 1920: 24) dan Robson, 1995: 54).

Hegemoni Jawa atas Melayu di atas tampaknya juga yang menjadi dasar bagi penulisan bagian akhir HRRP. Berbeda dengan SM dan HHT, HRRP memberi ruang yang seimbang dalam narasinya. HRRP secara terbuka mengungkapkan kehancuran Pasai karena raja yang berkuasa telah bertindak zalim. Patih Gajah Mada dan bala tentaranya merupakan legitimasi bagi penghancuran Pasai karena tidak mungkin ada penghancuran dari dalam. Doktrin raja adil raja disembah, raja zalim bisa disanggah dalam praksisnya telah berubah menjadi raja adil raja disembah, raja zalim (tak bisa) disanggah karena raja secara mistis adalah syah alam dan zil’lullah fi-l-‘alam. Doktrin ini menjelaskan bahwa kekuasaan raja adalah muqaddas dan bisa memaksa segala lapisan masyarakat untuk tunduk dan patuh kepada penguasa. Oleh sebab itu, tidak ada ruang untuk pembagian kekuasaan. Apabila ada, hal itu pasti terjadi karena karena paksaan. Biasanya, peristiwa itu diawali dengan peristiwa kaotis (Sudibyo dalam Wahid, 2006: 294). Serangan Majapahit atas pasai adalah peristiwa kaotis yang mengakhiri kekuasaan Pasai.

Kejatuhan Pasai merupakan sarana negosiasi untuk memunculkan kembali kekuasaan Melayu yang lebih cerdas jika dibandingkan dengan Pasai. Patih Suatang dan bala tentaranya yang tidak lebih perkasa daripada Pasai dapat menghancurkan kekuatan destruktif Majapahit, bahkan dengan cara yang sangat memalukan. Majapahit (Jawa) yang digambarkan hanya mengandalkan kekuatan fisik (bala tentara yang besar dan kerbau aduan yang kuat) dapat dikalahkan dengan taktik dan siasat yang jitu. Bahkan, terkesan bahwa Jawa sangat dungu karena sama sekali tidak dapat membaca taktik dan siasat tersebut. Hal itu terlihat dari ketidaksiapan mereka ketika kerbau aduan mereka dihadapi oleh anak kerbau kecil yang tengah kelaparan dan kelengahan mereka ketika pada pesta mereka dibuat mabuk dan sama sekali tidak menyadari bahaya diminumi minuman keras dari tabung bambu yang ujungnya sudah diraut runcing.

Lepas dari kebenaran faktual informasi yang disampaikan kitab Pararaton dan Prapanca, pada tataran diskursif, ambisi Kertanegara dan Gajah Mada itu tampaknya menjadi salah satu konstruk yang menjadi dasar penyusunan memori naratif SM, HHT, dan HRRP. Ketiga ingatan naratif yang kemudian dituliskan pada sekitar abad ke-17 s.d. 18 itu tidak harus dipahami sebagai kisah tentang peristiwa nyata, tetapi juga tidak boleh hanya disederhanakan sebagai rekaan yang lahir dari mulut tukang cerita.

Proses pengubahan (perubahan) dalam rangkaian transmisi dapat disamakan dengan proses konseptualisasi. Setidak-tidaknya masyarakat memiliki cara untuk menyegarkan ingatan akan masa lampau. Kecenderungan alami ingatan sosial adalah mengesampingkan apa yang dianggap tidak bermakna dan tidak memuaskan secara naluri dalam ingatan kolektif masa lampau dan menyisipinya atau bahkan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih sesuai dengan konsepsi khusus tentang dunia. Proses konseptualisasi yang sering mendiskualifikasi ingatan sosial sebagai sebuah sumber empiris juga merupakan sebuah proses yang menjamin stabilitas seperangkat ide yang diyakini secara kolektif dan memungkinkan ide-ide itu disebarkan dan ditransmisikan (Fentress and Chris Wickham, 1992: 58-59)

Melalui judul yang berkisah tentang sejarah sebuah negeri (SM) dan kisah tentang seseorang (HHT) atau kelompok orang (HRRP), ketiga naratif itu mengisyaratkan bahwa yang dikemukakan di dalamnya adalah fakta atau atau menyerupai fakta. Meskipun pengertian fakta di sini harus dipahami sebagai fakta yang hidup dalam ingatan masyarakatnya. Di samping itu, ketiga naratif tersebut berusaha menarasikan tradisi yang dalam beberapa hal telah ada sebelumnya dalam ingatan masyarakat. Kemungkinan besar, ketiga naratif tersebut dimaksudkan sebagai wacana tanding bagi dominasi teks Jawa yang mendeskreditkan kedudukan bangsa Melayu. Fungsinya adalah untuk menciptakan imbangan kekuasaan antara Melayu dan Jawa karena dalam narasi besar Jawa, Melayu ditempatkan di bawah dominasi Jawa.

D. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian di atas tampak bahwa fenomena otherism atau othernes dalam SM, HHT, dan HRRP, muncul setiap kali identitas Melayu terancam. Pada masa prakolonial Melayu, ancaman potensial datang dari Jawa yang secara diskursif melalui narasi besar Pararaton dan Nagara Krtagama mewacanakan keunggulan imperium Jawa atas tanah Melayu. Metanarasi tentang keunggulan Jawa itu mendapatkan tandingan dalam tiga naratif penting Melayu di atas yang secara persuasif menolak dominasi tersebut. Meskipun demikian, secara tersirat terlihat bahwa penolakan itu justru lebih mengukuhkan kedudukan liyan Jawa. Liyan Jawa yang diberontaki, pada dasarnya dibutuhkan untuk menegakkan identitas Melayu prakolonial yang loyal terhadap penguasa.

Dalam konteks masa kini fenomena fobi terhadap Jawa dan semangat anti-Melayu yang terdapat dalam memori naratif yang pernah muncul dalam serangkaian peristiwa yang menandai pasang surut hubungan antara kedua negara perlu dimaknai dengan lebih bijak. Romantisme sebagai bangsa serumpun harus diinterpretasikan bahwa kedua bangsa bisa berdiri sejajar. Tidak perlu muncul romantisme bahwa bangsa yang satu harus selalu memaklumi apa yang dilakukan oleh bangsa yang lain serta tidak perlu memunculkan kompleks superioritas dan inferiortas, lebih-lebih mimpi-mimpi tentang keagungan Indonesia Raya atau Melayu Raya yang terbukti pernah sangat mengganggu hubungan kedua negara. Sementara itu, laut yang membentang di antara kedua negara hendaklah dipahami sebagai jembatan penghubung bukan sebagai jurang pemisah.

Daftar Pustaka

Ahmad, Kassim. 1997. Hikayat Hang Tuah. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan.

Ahmad, A. Samad. 2006. Sulalatus Salatin: Sejarah Melayu. Edisi Pelajar. Cetakan ke-10. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Andaya, Barbara Watson and Leonard Y. Andaya. 1982. A History of Malaysia. Houndmills, Basingstoke, Hampshire: Macmillan Education LTD.

Andaya, Leonard Y. 2004 a. “The Search for the ‘Origins’ of Melayu”. Barnard, Timothy P. (ed.). 2004. Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries. Singapore: Singapore University Press.

------------- 2004 b. “Rethinking Malay Relationships: Rulers and Kinship Groups”. Symposium Thinking Malayness. The Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa Tokyo University of Foreign Studies 19-21 June 2004.

Brace, C. Loring. “Race” Is a Four-Letter Word: the Genesis of the Concept. New York: Oxford University Press.

Brandes. J.L.A. 1920. “Pararaton (Ken Arok): Het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit”. Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Deel LXII. ‘s Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Chou, Cynthia. 2004. “Movement, Shifting Identities and the Imagination”. Symposium Thinking Malayness. The Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies, 19-21 June 2004.

Fentress, James and Chris Wickham. 1992. Social Memory: New Perspectives on the Past. Oxford: Blacwell Publishers.

Harrison, Nicholas. 2003. Postcolonial Criticism. Cambridge: Polity.

Hill, A.H. 1960. “Hikayat Raja-Raja Pasai: A. Revised Romanised Version of Raffles MS 67 with an Engilsh Translation.” JMBRAS, Volume 33, Part 2, No. 190.

Jones, Russel. 1987. Hikayat Raja Pasai. Petaling Jaya: Fajar Bakti SDN. BHD.

Maier, H.M.J. 1992. “The Malays, the Waves and the Java Sea”. Houben, V.J.H., H.M.J. Maier and W. van der Molen (eds.) 1992. Looking in Odd Mirros: the Java Sea. SEMAIAN 5. Rijksuniversiteit Leiden: VTCZAO.

------------2004. We Are Playing Relatives: A Survey of Malay Writing. Leiden : KITLV Press.

Pigeaud, Th. G. Th. 1960-1963. Java in the fourteenth Century. A Study in Cultural History. The Nagarakertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D. The Hague: Nijhoff. 5 Vols.

Ras, J.J. 1992. “Java and the Nusantara”. Houben, V.J.H., H.M.J. Maier and W. van der Molen (eds.) 1992. “Looking in Odd Mirros: the Java Sea”. SEMAIAN 5. Rijksuniversiteit Leiden: VTCZAO. 17

Robson, S.O. 1995. Desawarnana (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca. Leiden: KITLV Press.

Reid, Anthony. 2004 a. “Understanding Melayu (Malay) as a Source Of Diverse Modern Identities”. P.Barnard, Timothy. 2004. Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries. NUS: Singapore university Press.

-------------2004 b. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Diterjemahkan oleh Sori Siregar, Hasif Amini, dan Dahris Setiawan. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Said, Edward W. 1994. Culture and Imperialism. New York: Vintage Book.

Sudibyo. 2006. “Raja Adil Raja Disembah, Raja Zalim (Tak) Bisa Disanggah: Mistifikasi dan Pengagungan Kekuasaan dalam Babad dan Hikayat”. Wahid, Puteri Roslina Abd.(ed.). 2006. Prosiding Persidangan AntaraBangsa Pengajian Melayu 2006, 8-9 November 2006. Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Melayu.
*) Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada

Minggu, 14 Maret 2010

Diskominfo PDE Riau Taja Lomba Media Tradisional

Diskominfo PDE Riau Taja Lomba Media Tradisional

Pekanbaru(Riau Crime.Com)- Dinas Komunikasi Informatika dan Pengolahan Data Elektronika (Diskominfi PDE) Riau akan menaja Festival Media Tradisional pada Maret mendatang. Festival ini merupakan salah satu strategi Diskominfo PDE Riau mengangkat kembali seni tradisional Riau.

Kepala Diskominfo PDE Riau Hj Indrawati Nasution, SE melalui Kepala Bidang Komunikasi Ir H Yogi Getri, Senin (22/2) di Pekanbaru mengatakan dengan adanya lomba ini diharapkan seni tradisional Riau akan tumbuh dan berkembang kembali dalam kehidupan generasi muda mendatang.

Yogi mengatakan, kegiatan ini nantinya akan diagendakan secara rutin, sebab manfaatnya akan besar sekali. Disini akan muncul seniman-seniman baru Riau. Dan pemenang festival nantinya akan mewakili Riau menjadi peserta lomba tingkat nasional bulan Mei mendatang.

Sementara itu Kepala Seksi Komunikasi Sosial Diskominfo PDE Riau Yenny Zarwani S.Kom mengatakan peserta yang akan diundang berasal dari 12 kabupaten/kota se-Riau. "Kita sudah mengadakan koordinasi dengan sangar-sanggar seni yang ada," ungkapnya.

Disebutkannya, media tradisional ini menjadi salah satu wadah yang dapat mengembangkan seni tradisional yang ada di dalam masyarakat. Riau yang terdiri banyak etnis dengan 12 kabupaten/kota ini tentunya akan kaya sekali dengan seni tradisional.* RC/ad

Teater DPR vs Teater Kampus

Teater DPR vs Teater Kampus

Rabu, 3 Maret 2010 - 10:01 wib
text TEXT SIZE :
Share

Panggung politik anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DPR, secara khusus anggota Pansus Bank Century, benar-benar menjelmakan diri dalam panggung teater.

Ada tokoh protagonis maupun ada tokoh antagonis. Ada konflik, ada skenario, ada improvisasi, dan ada sejumlah penonton melalui layar televisi. Kebetulan pada saat yang sama sekarang ini juga berlangsung panggung teater yang sesungguhnya, yang diselenggarakan oleh mahasiswa-mahasiswi London School of Public Relations-Jakarta (LSPR).

Sebenarnya, karena ini benar-benar pentas berteater dan sudah menampilkan 57 kali pementasan selama lima tahun terakhir. Apakah kedua komunitas ini layak diversuskan, tergantung diskursus mana sebagai pendekatan. Secara pribadi saya merasa lebih nyaman, lebih mendapatkan pelajaran dari pendekatan teater kampus. Di tengah hiruk-pikuk persoalan politik yang memaksa diperhatikan, tak ada salahnya perhatian kita sisakan untuk dunia kesenian.

Teater Kampus

Istilah teater kampus, pernah berjaya di awal tahun 70-an, ketika sejumlah komunitas kampus di Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo, Padang, atau bahkan kota lebih kecil mampu menghadirkan pentas. Itu masa jaya Dewan Kesenian Jakarta yang memberi kemungkinan untuk berpentas.

Sehingga tercipta genre atau pendekatan yang berbeda dengan para seniornya, baik grup yang profesional maupun grup tradisi. Fakultas Sastra Universitas Indonesia, sempat mencatatkan prestasi. Namun sesudah itu, seakan tak ada bekas kelanjutannya. Keberadaan teater di Indonesia agaknya memang mempunyai siklus yang pendek dan tidak kontinu.

Bahkan sejak komunitas seperti Dardanella–yang bersamaan dengan grup Miss Riboet Orion, atau grup seniman tradisi seperti Srimulat, atau angkatan Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI dan Asdrafi, bahkan juga angkatan Taman Ismail Marzuki (TIM), mempunyai akhir yang sama. Meredup dan sayup.

Teater LSPR, yang dalam pentas dinamai Teatro dan Teater Festival, agak berbeda kelangsungannya karena didukung oleh para mahasiswi-mahasiswa. Sehingga dalam lima tahun terakhir mampu mengorganisir 57 kali pementasan. Dari sumber daya manusia pendukungnya, selalu terjadi regenerasi, dari segi panggung sebagai tempat berpentas telah tersedia, dan juga membentuk komunitas penonton, baik dari kampus sendiri, keluarga atau handai taulan.

Yang lebih menarik dalam proses ini adalah ketika diadakan festival, masing-masing grup bertanding dan bersaing untuk menjadi pemenang namun dalam proses produksi ternyata bekerja sama, bergantian menerima tamu, menjualkan tiket.

Terjadi koalisi yang sehat, mana kala para fraksi–yang dalam bahasa mahasiswa adalah batch atau angkatan–mempunyai target yang sama. Untuk kesempurnaan sebuah pertunjukkan. Untuk komunitas besarnya, LSPR. Ini adalah proses yang sama dalam grup teater seperti Teater Koma, misalnya. Semua yang terlibat di dalamnya, tidak selalu hanya menjadi bintang atau pemain, karena ada pembagian tugas untuk yang disebut praproduksi bahkan pascaproduksi.

Teater Politik

Istilah teater politik, yang dibawa para wakil rakyat tidak memperlihatkan proses itu. Keberadaannya sebagai wakil rakyat, direduksi menjadi “hanya” wakil partai politik dan atau bahkan wakil diri sendiri. Ini tercermin bahkan sejak mencalonkan. Dalam berbagai baliho, selebaran, atau spanduk mereka hanya mencantumkan nama dan nomor urut.

Kalaupun berada di nomor urut kelima, nama di atasnya atau apalagi di bawahnya yang satu partai dikosongkan. Ada egoisme menonjolkan diri dengan meniadakan orang lain yang separtai. Demikian juga dengan daerah pemilihan yang diwakili pun sebenarnya bukan selalu berdasarkan asal atau kemampuan. Lebih kepada perhitungan neraca laba-rugi, wilayah gemuk atau kurus.

Hal yang sama ketika terpilih dan masuk ke dalam suatu komisi bukan selalu berdasarkan kemampuan dan pengalaman, melainkan perhitungan komisi yang kering meskipun penting dan atau basah dan rezeki berlimpah. Proses awal seperti ini, gagal menempatkan diri sebagai wakil rakyat sepenuhnya karena ketergantungannya pada partai politik. Bahkan, orang yang sama yang dikenal masyarakat karena keahliannya bisa berbeda suaranya ketika berada di partai A atau B, misalnya.

Semua kemampuan, keahlian, dan integritas tunduk pada partai. Identitas diri menjadi bagian perpanjangan dari kesetiaan kepada partai, bukan kepada rakyat. Kalau sudah begini, bisa diperkirakan bahwa teater yang dipertontonkan dengan gagah, kadang pongah, hanyalah penyaluran frustrasi, untuk akhirnya kembali ke skenario yang tak mampu diimprovisasi, atau diubah.

Kecuali kalau berani mbalelo, tapi ini pun sesuatu yang langka. Peta ini memberi gambaran bahwa hal-hal yang tidak bertentangan dengan kepentingan partai– tentang pemberian bantuan yang terkena bencana, tentang mendapatkan fasilitas mewah, bisa berjalan seiring.Tapi, tidak untuk masalah yang oleh partai dianggap genting yang bisa menjadi bagian dari bargaining.

Teater Penonton

Lalu di mana peran dan keberadaan penonton? Pada Teater Politik, jawabannya jelas.Tak ada tempat untuk mereka. Kalaupun dalam ungkapan mereka mengatakan masyarakat menonton, masyarakat menjadi saksi dan mencatat, bisa tetap tak dihiraukan. Dalam teater yang sesungguhnya kesetiaan pada penonton menjadi utama.

Lakon yang diberi judul Journey to the West, atau Kera Sakti, atau menjadi Demalung (yang artinya babi), atau Sang Prajaka (dalam bahasa Jawa) tetaplah sama seperti yang diketahui penonton. Penekanan jalan cerita pada tokoh Tong Sam Cong atau Dewi Kuan Im atau manusia babi atau kera adalah proses kreatif. Tapi, tak bakal para pencari Kitab Suci berhenti di tengah jalan karena kompromi.

Pentas teater yang sesungguhnya bukan semata untuk ketenaran para pemain yang tampil, melainkan juga dalam mendidik, mengajak, menyapa, membagi pengalaman hidup bersama penonton. Pada penonton dan bersama penontonlah proses berteater menjadi indah dalam menyampaikan ekspresi pesannya. Mungkin itu sebabnya saya lebih suka menonton teater di LSPR dibandingkan dengan di DPR yang kemarin nyaris saja berbaku hantam. Dan saya bahagia menjadi penonton.(*)

Arswendo Atmowiloto
Budayawan
(//mbs)

Rabu, 24 Februari 2010

s.

lalu aku gagal dalam sisa waktu ?
entahlah.

aku sekali lagi harus bertekuk lutut dan atau dengan sengaja di tekuk lututnya oleh penyakitan.
maka, yang tertunda hanyalah sebuah sisa-sisa dari helaan nafas yang sekali duanya selalu mencandu masuk kealam imajinasi kreatif dalam cipta teater, hidupku.

berkhayal sekalipun,...aku tak sempat lagi.
dasar!!! penyakitan!!!.

Sabtu, 13 Februari 2010

EVALUASI GAGAS TEATER / 13 FEB 2010

GAGAS TEATER hanya sebuah konsep dari pemaknaan ruang persentasi ajang dekade 2 bulan sekali atas kerja kreatif yang diadakan secara bertahap dan berkala setiap seminggu sekali oleh sempeneRIAUteater INDRAGIRI HULU [SI] dalam Kelas Laboratorium Seni Teater. Bahwa kemudian GAGAS TEATER di anggap sebagai ajang coba-coba bisa pula dikatakan “ya” ; atas sebuah kesempatan dengan segala kemudahan prasarana yang tersedia dengan gratis yang diberikan kepada anggota kelas terdaftar sebagai peserta didik dalam Kelas Laboratorium Seni Teater tersebut. Konsep GAGAS TEATER yang mengesankan keminiman dan kemiskinan atau lebih kasar lagi adalah ketiadaan ini, secara tidak langsung telah mengusung sebuah semangat penampilan yang harus bagus—harus sempurna—harus berkesan para penyajinya : para peserta didik. Malam perdana GAGAS TEATER yang bertepatan diadakan pada kesempatan pergantian tahun cina (IMLEK) dan hari semangat kasih sayang (VALENTINE) telah secara langsung mengsugesti semangat kreatif dari SATEPENSA (SMP 1 RENGAT), DAyung sereMPAK TEATER (SMK 1 Rengat) dan Sanggar Seni Danau Raja (SSDR TEater) tampil maksimal dalam karya bertema ‘1 x 1 = 8 (kosong)’ Selamat !! sempeneRIAUteater I N D R A G I R I H U L U SATEPENSA Dalam karya visualisasi puisi “AKU DAN ANAK KEMBARKU, DAN ANAKKU YANG SATUNYA LAGI YANG BUAT PARTAI BARU” Viva teater !!! Kemutlakan atas sajian yang berdurasi 13 menit 26 detik itu terkesan ‘mau cepat selesai dan malu-malu tapi mau’. Kemudian silahkan mengejawantahkan maksud dari kesan tersebut. Sisi positifnya: SATEPENSA berhasil menyulap ruang pentas ala kadarnya (sesuai konsep GAGAS TEATER) dengan penuh maksimal dan menciptakan sensasi tontonan logis serta meng“kena” karena unik (yang walaupun lemah dan membosankan; dari kacamata keilmuan teater). Uniknya lagi kelompok SATEPENSA adalah satu-satunya kelompok yang paling minim latihan di lokasi pementasan selama jadwal yang telah disediakan sebelum persiapan acara telah berhasil menganulir masa penonton dengan sensasi kekagetan-kekagetan (bahasa teaternya: suspent) /kejutan-kejutan pola bloking yang sulit ditebak—entah karena memang sudah konsepnya demikian, atau memang belum direncanakan matang hingga sampai ke waktu pertunjukan sedikit terasa m e n g g a n j a l. Kemana singkronisasi puisi yang dibacakan dengan cara mendeklamasi itu dengan visual yang coba ditampilkan ?.... siapa tokoh sentral pembangun plot penceritaan dalam puisi itu?... apa yang membedakan pelaku utama-pelaku pembantu serta para figure dalam visualisasi puisi “AKU DAN ANAK KEMBARKU, DAN ANAKKU YANG SATUNYA LAGI YANG BUAT PARTAI BARU”?... atau memang sudah ingin dibuat adanya penyamaan tingkat fungsi pemeranan dalam visualisasi puisi oleh SATEPENSA ini?... dan yang paling penting adalah : pesan yang ingin disampaikan apakah dapat dimengerti oleh penonton atau tidak?... Jika ingin membuat visual pikirkan pula dampak visual apakah dapat dimengerti oleh penonton? Dan dapat sesuai dengan puisi yang disampaikan. Jika harus memakai property maka maksimalkanlah penggunaannya bukan hanya sekedar barang pajangan atau pembuat “heboh” saja. Jika harus memberika tontonan kepada penonton maka jadilah aktor dan artis yang mengenal hokum dimensi tokoh dengan cara pembedahan secara psikologis,sosiologis dan fisiologis. SSDR Te Dalam karya visualisasi puisi “ORANG GILA” Setidaknya kami para pelaku seni dalam [SI] tahu benar komunitas SSDR TE beberapa tahun terakhir memegang prediket komunitas teater remaja T E R B A I K di R I A U yang telah menelurkan aktor dan artis berbakat termasuk pola penyutradaraan dengan konsep tata artistic yang sempurna. Maha kaya dalam dimensi kreatifitas yang serba lebih baru dan lebih berkembang ketimbang komunitas teatere remaja lainnya di Riau. Tetapi, kejanggalan kami rasakan dalam penampilan malam GAGAS TEATER ini. SSDR Te kehilangan kemaha-dahsyatan pola teater mereka. “yang biasanya meng-aum- di Riau kini menjadi meng-ngeong- di kota tercintanya RENGAT. Ada catatan penting yang harus dijaga yaitu : konsistensi kepada latihan-latihan dasar ilmu teater dan pembekalan semangat tim (kolektifitas) dalam kerja kreatif yang satu sama lainnya musti mau berkorban dengan keikhlasan untuk lelah,capek,mual,muntah, bahkan mati dalam sebuah persiapan pementasan. Teater tidak bisa mengadndalkan satu tokoh utama pengeraknya. Teater adalah kerja kebersamaan yang menuntut makna kerja seni, kerja menghidupkan tokoh, kerja pertunjukan, kerja lprtunjukan langsung (live), kerja nilai kualitas pementasan, kerja nilai dramaturgi dengan 4 aspek ketentuan wajibnya. Membuka kembali buku-buku pedoman teater yang mungkin selama ini tersusun rapi di lemari adalah jawabannya. Atau mengumpulkan dan meredaksikan kembali ilmu para aktor-artis terbaik adalah jalan instant perbaikan komunitas ini. Mengakrabkan kembali kebersamaan tim dan kolektifitas kerja dengan jalan yang paling sederhana yaitu membedah naskah serta menjadikannya objek latihan jangka menegah untuk kemudian di pentaskan ke public. SSDR TE tempat lahirnya pelaku muda seni teater yang banyak diantaraya kemudian teatap menjadi pelita bagi perkembangan dunia seni teater yang jujur adanya adalah seperti sebuah judul naskah lakon “sumur tanpa dasar”. 1 x 1 : 8 [kosong] - gagal dalam persepsi yang ingin dibentuk. - gagal dalam cita-cita artistic - gagal dalam dramatig musikalisasi - gagal dalam maksud pertunjukan out door yang semustinya mampu menjemabk penonton dalam baluran saling komunikatif - berhasil dalam keseriusan cerita - berhasil dalam beberapa teknik-teknik dasar pembentukan laku lakonan - berhasil dalam kebersamaan (kolektifitas)

Rabu, 10 Februari 2010

Pentas Hibrida Teater Koma

Pentas Hibrida Teater Koma

Minggu, 7 Februari 2010 | 03:20 WIB

Oleh Putu Fajar Arcana

Nyaris dalam setiap pentas Teater Koma selalu tampil megah, dengan tata kostum dan ”setting” panggung yang ”agung”. Panggung gemerlap itu tidak saja bermakna membedakan ”realitas” pentas dengan realitas sehari-hari, tetapi Koma justru secara ”jamak” meneruskan tradisi yang ada dalam teater rakyat.

Pementasan lakon Sie Jin Kwie sebuah karya China klasik, 5-21 Februari 2010 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, memperlihatkan betapa N Riantiarno sangat memerhatikan ”keagungan” itu. Seluruh ruangan di belakang panggung nyaris semuanya dipenuhi oleh properti, yang menjadi penanda pergantian adegan.

”Enggak tahu, saya kok tiba-tiba ingin properti yang begitu lengkap,” tutur Riantiarno, di belakang panggung sesaat menjelang pementasan perdana lakon itu.

Secara konsep, sesungguhnya tak ada yang istimewa dalam penyiapan properti itu. Nano, begitu sutradara Teater Koma ini dipanggil, hanya meneruskan apa yang sesungguhnya sudah dikerjakan oleh teater-teater rakyat. Bedanya, kini Nano menganggap setting dan properti itu sebagai hal yang perlu digarap serius. Ia bahkan harus mengerahkan puluhan ”orang hitam” (petugas pengganti setting panggung) untuk mendorong, mengangkat, mengganti, dan memasang latar belakang itu.

Alhasil, secara keseluruhan pentas Sie Jin Kwie terasa lebih ”sibuk”. Hampir-hampir tidak ada jeda di atas pentas. Menjelang satu adegan selesai, ”orang-orang hitam” itu sudah supersibuk memasang setting panggung yang baru.

Pemadatan

Ketika Dalang (Budi Ros) mengawali cerita dengan bertutur, di layar belakang juga muncul visualisasi yang menggambarkan kisah kepahlawanan tokoh Sie Jin Kwie. Dan adegan sejajar semacam ini berulang kali dipraktikkan di atas panggung oleh Nano.

Selain itu, kemeriahan panggung, dalam pengertian sebenar-benarnya, diangkat oleh keberanian Nano untuk melakukan ulang-alik antara teater (modern), boneka potehi, dan wayang tavip. Ia bisa dengan seenaknya mengganti adegan teater yang sedang berjalan dengan pementasan wayang tavip. Bahkan pada beberapa adegan, Dalang dan Dalang Wayang Tavip (Tavip S) secara bergantian menuturkan adegan-adegan yang mendukung struktur utama plot: mengisahkan tentang kepahlawanan tokoh Sie Jin Kwie dalam membela negaranya.

Sebagai upaya artistik, pentas ini menunjukkan upaya pencarian Nano untuk melakukan hibridisasi terhadap teater rakyat, teater modern, dan boneka potehi. Ketika Dalang berkisah, sering kali tokoh-tokoh berlaku sebagai boneka potehi dengan mimik dan dialog sebagaimana dalam wayang tradisi China itu.

Hibridisasi tidak menjadi sekadar pemadatan kisahan, tetapi menyenyawakan dua ”zat” teater menjadi satu tubuh yang utuh. Dan di situlah Nano senantiasa mendulang energi pentas-pentasnya selama ini. Lakon-lakon seperti Sam Pek Eng Tay, Konglomerat Burisrawa, Semar Gugat, Opera Ular Putih, Kala, Republik Bagong, Republik Togog, dan Republik Petruk adalah nomor-nomor yang memberi ruang hidup pada hibridisasi.

Hal menarik pada Sie Jin Kwie, Nano harus melakukan studi teks yang intens lantaran kisah yang ditulis oleh Tio Keng Jian dan Lo Koan Chung pada abad ke-14, ini sudah pernah diterbitkan di Indonesia dalam berbagai versi dan bentuk, termasuk komik. Selain itu, kisah klasik ini terdiri dari beberapa episode yang amat panjang.

”Pada draf naskah pertama jika dipentaskan mungkin bisa menghabiskan 7-8 jam, tetapi akhirnya durasinya menjadi sekitar empat jam,” ujar Nano.

Kisah ini menceritakan tokoh pahlawan Sie Jin Kwie (Rangga Riantiarno) yang muncul dalam mimpi raja Lisibin. Sie Jin Kwie akan menjadi penyelamat Lisibin dalam perang Dinasti Tang melawan Raja Kolekok yang takhtanya dikudeta Jenderal Kaesobun (Paulus Simangunsong). Tetapi dalam upaya menjadi tentara, Sie Jin Kwie senantiasa dihalangi oleh para jenderal korup, yang ”menyembunyikannya” di pasukan dapur.

Justru di dapur Sie Jin Kwie membentuk pasukan PD-Tang (Pasukan Dapur Tang), yang kemudian menjadi pengumpul jasa terbanyak dalam perang. Raja Lisibin yang sejak awal mimpinya memerintahkan mencari Sie Jin Kwie baru bertemu pada babak akhir, setelah perang berlangsung 12 tahun. Sie Jin Kwie akhirnya menjadi penyelamat Dinasti Tang setelah mengalahkan Jenderal Kaesobun.

Pentas ini memang belum beranjak jauh dari pentas-pentas Teater Koma sebelumnya. Nano tetap mencoba ”taat” mengikuti struktur dramaturgi yang sudah ia ”bangun” sejak awal pendirian Koma tahun 1977: tetap berangkat dari tradisi kemudian memadukannya dengan pengertian teater Barat. Secara isi, mungkin sudah Barat, tetapi secara bentuk tetap meneruskan bentuk-bentuk teater rakyat.

Mungkin di situlah terjadi hibridisasi, di mana Nano berhasil mentransformasi isi dan bentuk teater rakyat ke atas pentas-pentas modern, yang kemudian banyak menyedot penonton.

Kamis, 04 Februari 2010

kelas laboratorium seni teater mempersembahkan : GAGAS TEATER





sinopsis :

disebuah desa sukardaya indragiri sedang mewabah demam malaria dan demam bola. banjir yang semakin meninggi mengakibatkan nyamuk semakin banyak didesa ini. sejalan dengan wabah malaria yang makin merisaukan, wabah demam bola yang makin membingungkan karena sang primadona si kulit bundar dukungan penduduk desa kalah terus dalam laga liga. desa ini aman-aman saja dahulunya, namun beriring waktu dan munculnya monster drakula penghisap darah segar ekonomi rakyatnya, desa ini terancam.


sabtu , 6 feb 2010
di gedung kesenian kota rengat
"sempene riau" eks bioskop kota rengat.
pukul 19.00-selesai

Sabtu, 30 Januari 2010

BlackProjeck




sempeneRIAUteater basecamp

sempeneRIAUteater INDRAGIRI HULU [SI] 3

Prestasi


Semenjak berdirinya SI pada Akhir November 2009 telah eraih beberapa prestasi serta anggota-anggotanya telah pula mengikuti beberapa kegitana sebagai mana berikut

1. Prestasi Teater dan lomba-lomba lainnya
Gelora Teater Riau ke XI di Taman Budaya Pekanbaru tahun 2009
Penaja Kegiatan Dewan Kesenian Riau
- Duta Lomba Utusan Dewan Kesenian Indragiri Hulu
- Peserta dengan peringkat Penyaji Terbaik
- Sutradara Terbaik atas nama Adepuraindra
- Pemeran Utama Pria Terbaik atas nama Ramdani Syami
- Nominasi Pemeran Utama Wanita atas nama Inet
- Nominasi Pemeran Pembantu Pria atas nama Nartok
- Nominasi Penata Artistik Terbaik atas nama Asrul Mudha

Festival Media Tradisional Indonesia ke II yang direncanakan diadakan di Anjung Seni Indrus Tintin Pekanbaru tahun 2010 ini.
Penaja Kegiatan DEPKOMINFO INDONESIA (pusat)
- Duta Lomba Utusan Propinsi Riau
- Seleksi Nasional Lomba Teater Festival Media Tradisional Indonesia

Laman Cipta Sastra Dewan Kesenian Riau 2009
- Duta Lomba utusan kelompok
- Seleksi Penulisan tingkat kelompok

2. Prestasi Individu
- Peserta Pelatihan Media Tradisioal 2009 atas nama Adepuraindra dan Ramdhani Syami
- Peserta Pelatihan dan concer jazz DKR 2009 atas nama Said Fitriady
- Peserta Dedah Sinetron DKR ats nama Asrul Mudha
- Peserta Pembimpbing Jambore Pramuka atas nama Romi Hendri
- Panitia Konser Musik J-Rock bekerjasama dengan Rokok A-Mild atas nama Fajar Romadhan

3. Pementasan Teater
- Ranggung dalam perjuangan, Karya Salimi Yusuf. Gelora Teater Riau 2009
- GeGeR 5 JANUARI, berempena HJKR dan HBKR di Rengat
- Gagas teater (dalam produksi) 1x1= 8 [kosong]. di Gedung Sempene Riau
- Tim Publikasi Pementasan Keliling Seni Teku Yogyakarta dalam produksi “kintrir”

sempeneRIAUteater INDRAGIRI HULU [SI] 2

Profile


Nama Komunitas : sempeneRIAUteater INDRAGIRI HULU
List Nama Kenal : [SI]
Makna Nama :
- sempeneRIAUteater INDRAGIRI HULU yang terdiri dari tiga macam kata tautan sebagai mana adanya adalah berarti; (sempene: nama keris khas Indragiri yang menurut sejarahnya merupan keris melayu dengan pemiliknya yaitu Sultan Narasinga yang juga merupakan Raja Indragiri yang berasal dari Bandar Malaka. Keris sempene alkisah tidak boleh di gunakan untuk membunuh seseorang dengan apapun alasannya, namun gunakanlah keris ini untuk membela diri walaupun akhirnya harus terjadi pertumpahan darah yang mengakibatkan kehilangan nyawa. Kata RIAU: lebih kepada pemaknaan teritorial cakupan keanggotaan komunitas ini berkembang nantinya dimana mewadahi wilayah propinsi Riau. teater: simbolisasi bidang komunitas seni yaitu seni teater. INDRAGIRI HULU: identitas tempat kelompok ini berkembang yang menjadi sentral basecamp)
- Sempene Riau juga merupakan nama gedung kesenian yang berada di kota Rengat-INHU. Gedung yang mempunyai makna histories sebagai salah satu bangunan bersejarah yaitu eks bioskop kota Rengat ini menjadi markas (basecamp) utama dari seluruh pusat kegiatan yang dilakukan oleh kelompok ini

Tempat dan Tanggal Berdiri : Rengat, akhir November 2009

Alamat
Basecamp I : Gedung Kesenian Sempene Riau
Sekretariat Dewan Kesenian Indragiri Hulu (DKI)
Jl. Jendral Ahmad Yani – RENGAT
Indragiri Hulu, Riau, INDONESIA

Basecamp II : sempeneRIAUteater INDRAGIRI HULU
Jl. D.I Panjaitan. Gg. Cik Puan
Rt 06 Rw 02, No 99 Sekip Hilir
Indragiri Hulu, Riau. 29138

Telephone : [0769] 323405
Mobilephone : 081328448862, 08126805284
e-mail : nagasastranegararasa@yahoo.co.id
web.blog : www.miniriauteater.blogspot.com



Kinerja

Bidang Kerja :
dalam proses kerja kreatifnya sempeneRIAUteater mengembangkan 3 wadah kegiatan yaitu :
1. blog riset dan penulisan teater,
: pada bagian kegiatan ini, SI menjadi wadah berkumpulnya para creator muda yang tertarik pad bidang penelitian seni khususnya teater serta penulisan sastra. Dengan menjaring para creator muda setingkat remaja/dewasa kwalifikasi pendidikan menengah dan mahasiswa, mereka diajak bersama-sama untuk menghasilkan sebuah penelitian ilmiah serta menghasilkan karya-karya sastra yang nantinya di usahakan untuk di publikasikan atas nama kelompok SI.

2. blog laboratorium teater (artistik,aktor dan penyutradaraan),
: kegiatan ini bertumpu dengan maksud utama yaitu pengejaran prestasi dan regenerasi tim teater SI. Seumpamanya adalah wadah pelatihan atau bengkel kerja kreatif seni teater, laboratorium ini dikhususkan kepada para pelajar setingkat remaja saja. Kelas yang dibuka dan diadakan rutin setiap minggunya yaitu kelas dasar keaktoran untuk pelajar setingkat SLTP dan kelas penyutradaraan serta artistic setingkat SLTA. Sebagai reviue akhri setiap kelas akan diadakan kegiatan inagurasi yaitu pementasn dan wisuda kelas setiap 3 tahun sekali. Dan sebagaia pemacu kegiatan keberhasilan pembelajaran kelas juga diadakan pementasan gagas teater setiap waktu bila diperlukan yang juga di upayakan sebagai kegiatan promosi SI.

3. sempeneRIAUteater bersempena : pentas karya minimal setahun 2 kali.
Selain mengikuti beberapa agenda tetap festival teater ataupun parade teater dalam skala nasional dan internasional, SI secara independent akan melaksanakan pentas tunggal baik secara tetap di gedung pertunjukan kota kelahirannya ataupun dengan konsep pentas keliling bersambang membawa sebuah pertunjukan teater ke luar daerah.