Jumlah Pengunjung Saat Ini

Kamis, 31 Maret 2011

Wanita dalam Nada - Konser Seriosa oleh Ati Sriati

Waktu
19 April · 19:30 - 22:30

Tempat
Bumi Sangkuriang
Jl. Kiputih no. 12, Ciumbuleuit
Bandung, Indonesia

Dibuat oleh:

Info Selengkapnya
Dalam rangka memperingati Hari Kartini

emtiarts, Bumi Sangkuriang, Rotary Club Bandung Utara mempersembahkan:

WANITA DALAM NADA
Konser Amal

Soprano : Ati Sriati
Pianis : Widiana Hartanthi
Sopran : Ardelia Padmasawitri

Selasa, 19 April 2011
19.30 WIB
Bumi Sangkuriang
Jl. Kiputih no. 12, Ciumbuleuit
Bandung

Informasi dan pemesanan undangan:
Pradetya Novitri (081.394.269.285)
atau di Bumi Sangkuriang

Selasa, 29 Maret 2011

sedemikian pentingkah ?

saya merasa cemas....


sedemikian pentingkah ceremonial /......
atau tak lebih dari basa-basi saja......




saya cemas.

Selasa, 22 Maret 2011

pentas teater ”Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh”








Teater Salihara Jakarta
Jl. Salihara no. 16 Pasar Minggu
Jakarta Selatan





”Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh”
Diproduksi oleh Pentas Indonesia

Jumat-Sabtu
25-26 Maret 2011
Pkl. 20.00 WIB
Teater Salihara J
akarta
HTM Rp 50.000 - Pelajar/Mahasiswa Rp 25.000 (tem
pat terbatas)


Playscript by Faiza Mardzoeki
Directed by Wawan Sofwa
n
Actors Sita Nursanti, Willem Bevers, Anita Bintang, Bagus Setiawan
Artistic Director: Deden Bulqini
Music Director: Mogan Pasaribu, Jeffar Lumban Gaol
Costume Designer: Deden Siswanto

Costume : Ayu Suminar
Make up: Dewi Djaja, Taufik S. Pasopati
Stage Manager : Heliana Sinaga
Production Manager : Tri Asih Puspitaningtyas
Producer: Faiza Mardzoeki
Produced by: Pentas Indonesia

Drama “Mereka Memanggilku N
yai Ontosoroh” adalah versi baru dari drama “Nyai Ontosoroh” yang diadaptasi oleh Faiza Mardzoeki dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Nyai Ontosoroh versi panjang (dengan durasi 3 jam) telah dipentaskan 9 kali oleh 9 sutradara di 9 wilayah di Indonesia pada tahun 2007. Dari 9 kali pertunjukan, satu diantaranya dipentaskan selama 3 malam di Jakarta, ditonton oleh sekitar 3000 orang dan mendapatkan perhatian besar dari berbagai media, dengan sutradara Wawan Sofwan.

Versi pendek, dengan durasi 1,5 jam berjudul ”Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh” naskahnya digarap kembali oleh Faiza Mardzoeki dan disutradarai oleh Wawan Sofwan.
“Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh” menggunakan struktur alur cerita kilas balik/flash back, perjalanan figur perempuan, Nyai Ontosoroh alias Sanikem, tokoh utama dalam roman Bumi Manusia. Cerita ini dimulai ketika Annelies harus dibawa ke Belanda. Annelies ingin melihat koper tua ibunya. Sebelum Nyai Ontosoroh menyerahkan koper tua itu kepada Anellies, ia mengeluarkan barang-barang kenangan lama sejak ia masih menjadi Sanikem yang dijual oleh Ayahnya kepada Tuan Mellema. Dari benda-benda di dalam koper itulah cerita dimulai. Benda-benda kenangan yang mengantarkan Nyai menceritakan seluruh kisah hidupnya.
Para aktor yang bermain adalah Sita (RSD) Nursanti (Nyai Ontosoroh), Anita Bintang (Annelies), Willem Bevers (Tuan Mellema) dan Bagus Setiawan (Minke).
”Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh” telah dipentaskan dengan sukses di Tropentheater Amsterdam pada tanggal 20-21 Mei 2010, Tong Tong Festival Den Haag pada tanggal 22-23 Mei, dan di Zuiderpershuis Culturel Centrum, di kota Antwerpen-Belgia pada tanggal 26 Mei 2010, atas Sponsor Tropentheater Amsterdam. Sebelum tour ke Eropa, dipentaskan terlebih dahulu di Indonesia, yaitu di Selasar Sunaryo Art Space Bandung dan di Erasmus Huis Jakarta, pada bulan awal Mei 2010 dengan dukungan dari Erasmus Huis Jakarta.

Tahun 2011, atas undangan dan dukungan Salihara, ”Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh” dipentaskan kembali untuk publik Jakarta di teater Salihara.


Informasi acara & reservasi tiket (kecuali pameran)
021-789-1202, 0817-077-1913
0857-193-111-50, 0812-8184-5500, 021-9974-5934

Acara ini didukung oleh :

Komunitas Salihara
Gathaya Performing Arts & Character Development

Senin, 21 Maret 2011

Riauberaksi Tak Diam Dengan DELAY Indonesia



Beberapa warga Riau tidak tinggal diam dengan DELAY (penundaan) yang kerap terjadi di Indonesia. Mereka adalah beberapa warga Riau yang peduli terhadap permasalahan sosioekonomi yang tergabung dalam Riauberaksi, sebuah komunitas seni peran yang telah terbentuk sejak tahun 2009 yang dibentuk oleh sutradara lulusan IKJ (Institut Kesenian Jakarta) Fakukltas Seni Pertunjukan, Willy Fwiandri. Mereka peduli terhadap masalah sosioekonomi yang dekat dengan kehidupan kita sebagai manusia.

“Kepada seluruh penumpang pesawat “Garuda di Dadaku” dengan nomor penerbangnan G 1903 dengan tujuan Antah Berantah, silahkan memasuki Pesawat”. Ya, sebuah pertunjukan apik dan kreatif berjudul DELAY telah ditampilkan oleh Riauberaksi pada Sabtu dan Minggu, 19 dan 20 Maret 2011 lalu di Anjung Seni Idrus Tintin, Bandar Serai Pekanbaru. Mereka mengangkat permasalahan sosial ekonomi di negeri ini yang sedang hangat dibahas kemudian diexplore dalam settingan ruang tunggu bandara. Dalam settingan tersebut mereka dengan apik mengisinya dengan permasalahan-permasalahan tersebut mulai dari permasalahan Gayus yang sangat populer, skandal Century, tabung gas LPG 3 kg, koin untuk presiden, PSSI, pencalonan kepala daerah, hingga kunjungan Miyabi dan Tsunami. Keunikan dapat dirasakan penonton seolah-olah mereka berada di bandar udara Biar Lambat Asal Selamat; mulai dari sistem dan tempat pemesana tiket yang diset layaknya check in di bandara, tiket pertunjukan yang dibuat seperti boarding pass, kursi penonton yang diset bak kursi di dalam pesawat, dan bahasa-bahasa yang sering kita temukan di bandara, seperti “bagi penonton diharapkan check in terlebih dahulu sebelum memasuki ruang pertunjukan”. Dan setelah memasuki ruang pertunjukan, penonton dibuat seolah-olah memasuki cabin pesawat.

Di dalam ruang tunggu bandara yang mengutamakan keselamatan penumpang (meski harus terlambat dan mendelay penerbangan terus) tersebut terdapat sekelompok orang yang telah muak menunggu pesawat mereka, Garuda di Dadaku, yang tak kunjung berangkat. Dalam penantian mereka pada saat itulah mulai muncul berbagai kejadian yang menggambarkan kisruhnya persoalan-persoalan yang tengah menimpa bumi pertiwi ini. Persoalan PSSI yang digambarkan oleh salah seorang penumpang dengan seragam Timnas Garuda yang begitu mencintai Pertiwi(bumi pertiwi). Ia seolah-olah Irfan Bachdim yang berjuang demi timnas Indonesia, namun tak menyadari bahwa dirinya tak dihiraukan PSSI. Gambaran Gayus disini diperlihatkan bagaimana orang-orang di ruang tunggu tersebut beramai-ramai sibuk mencari-cari dimana Gayus, padahal sebenarnya Gayus ada di mana-mana, bahkan memungkinkan bahwa diri kita juga seorang Gayus. Koin untuk Presiden digambarkan oleh sepasang suami isteri yang merupakan orang sangat penting dan super sibuk memasuki ruang tunggu bandara, dimana sang isteri menginginkn semua hal dapat berjalan lancar dan mudah, sementara sang suami tak mempu melakukanya. Kemudian sang suami mengemukakan keinginannya untuk mendapatkan kenaikan gaji atas posisi dan pekerjaannya. Selain itu, ada juga adegan dimana seorang mantan anggota DPR yang juga sedang menunggu, dengan mudahnya mendapatkan akses lancar karena menggunakan fasiulitas yang dianggapnya milik pribadi, padahal merupakan fasilitas anggota DPR yang seharusnya sudah ia kembalikan karena ia telah menjadi mantan anggota DPR. Dan masih banyak gambaran-gambaran lainnya, seperti bintang–bintang porno yang malah dicalonkan menjadi kepala daerah, pembagian tabung gas LPG 3kg yang malah mnenimbulkan ledakan dan permasalahan di masyarakat, serta kedatangan Miyabi yang mendapat pertentangan FPI.

Menurut Yoserizal Zen, DELAY (penundaan) pergerakan suatu benda merupakan peristiwa lazim sehingga manusia menjadi “membiasakan” diri saaat DELAY datang menderanya. Beliau menambahkan bahwa dalam bingkai kesenian, seniman merekam berbagai permasalahan sosial menjadi karya seni yang perlu dicermati maknanya. Misalnya di bandara, DELAY merupakan sesuatu yang terbiasa dialami penumpang. Namun penyebabnya bisa saja dikarenakan kondisi alam. Seperti gempa, tsunami dan lain sebagainya. Akibatnya tiudak sedikit terjadi pertengkaran antara pemakai jasa dengan penjual jasa. Dan penyelesaiannya pun tidak memuaskan pemakai jasa.

Sang Sutradara sendiri menuturkan bahwa ide-ide kreatifnya berasal dari permasalahan sehari-hari yang ada disekitar kita. Dan apa yang beliau tuangkan dalam DELAY merupakan gambaran yang sedang terjadi di negeri ini, dimana banyak hal telah dipolitisi, tidak hanya pada aspek sosial dan ekonomi saja, namun juga pada seni, budaya dan olahraga. Dan parahnya lagi, ketika bencana melanda negeri ini, masih saja banyak pihak yang memanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Disamping itu, beliau lebih banyak mengangkat permasalahan sosial ekonomi sehari-hari, karena beliau menyadari penonton tidak lahir di zaman Hang Tuah. Sehingga ketika kita mementaskan sejarah yang telah lalu, penonton banyak yang tidak paham dan cenderung merasa bosan serta ingin meninggalkan ruiang perytunjukan sebelum pertunjukan berakhir. Sedangkan, bang Willy sendiri ingin agar bagaimana penonton tahu apa yang sedang terjadi di sekitarnya dan mereka menikmati pertunjukan yang meka tonton hingga timbul rasa penasaran yang membuat mereka ingin terus duduk menikmati pertunjukan hingga selesai. Beliau juga berharap agar kita bangga menjadi bangsa negeri ini, bangsa Indonesia, bagaimanapun kondisi negeri ini. Dan harapan besarnya adalah mampu mengangkat dan memajukan Teater Riau.

.

go too rengat " RIAU BERAKSI"

Riau beraksi Bungkus Kritik Sosial dengan Adegan Komedi


DELAY: Salah satu adegan dalam teater bertajuk Delay yang dibawakan oleh Sanggar Riauberaksi, Sabtu (19/3/2011) malam di Gedung Idris Tintin.(istimewa)

Laporan FIRMAN AGUS, Kota
firman-agus@riaupos.com

Banyak jalan menuju Roma. Begitu pula banyaknya pilihan orang-orang untuk menilai, memandang dan mengkritisi negeri ini. Di saat-saat permasalahan semakin kompleks, musibah di mana-mana dan kisruh yang bak patah tumbuh hilang berganti, masyarakat Indonesia-pun gerah.

Dibuat menunggu peristiwa demi peristiwa yang seakan-akan tidak akan pernah usai. Kelompok teater Riauberaksi coba menyentil itu lewat sebuah pementasan komedi bertajuk Delay.

Sekitar pukul 20.00 WIB, suara pengumuman bahwa pesawat akan segera berangkat terus diulang-ulang dari dalam ruangan Gedung Idrus Tintin Pekanbaru Sabtu (19/3) malam lalu.

Selanjutnya suara pesawat berderu diperdengarkan kepada penonton yang sebagian besar adalah muda-mudi.

Sejenak penonton seakan-akan diajak masuk ke dalam suasana bandara dan terbang ke angkasa, sementara pementasan belum juga dimulai.

Tiba-tiba lampu ruangan yang luas ke atas itu meredup, panggung terbuka dan prolog bernada pelan mulai terdengar.

Seorang pensiunan yang berada di atas anjungan paling tinggi duduk santai dengan kursi goyangnya, sambil bercerita rentetan peristiwa yang terjadi di Indonesia, yang menurut mereka, membuat masyarakat bosan dan terus menunggu dalam ketidakpastian.

Sudah bisa ditebak, sekitar delapan belas karakter pementasan main dalam waktu bersamaan sebagai dua petugas bandara dan enam belas penumpang yang sedang menunggu penerbangan. Supaya lebih lokal agaknya, adegan dimulai dengan berangkatnya seorang wakil rakyat secara istimewa menggunakan pesawat pribadi.

Para penumpang lain tentu tidak terima, selain stres menunggu pesawat yang tidak juga kunjung datang dan dikerjai beberapa kali oleh petugas bandara, mereka semua langsung menyemprot sang wakil rakyat yang tidak mengembalikan mobil dinasnya.

Semenjak itu seluruh peristiwa yang pernah lama mengemuka di Indonesia satu persatu muncul, mulai dari koin untuk presiden, kemelut PSSI, Irfan Bachdim dengan patriotisme butanya, artis yang suka mencari sensasi, sampai-sampai Miyabi dan FPI juga disinggung.

Di tengah-tengah suasana pementasan makin memanas, sementara penonton terkikik-kikik tertawa, para pemain teater bernyanyi mengikuti lagu yaang terus diulang-ulang oleh salah satu tokoh yang memerankan Irfan Bachdim.

‘’Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati,’’ lirik lagu ini bergema, delapan belas tokoh yang memerankan latar belakang yang berbeda larut dalam lagu patriotis dengan makna yang dalam ini.

Pementasan teater Delay ini adalah cara lain sanggar Riauberaksi melihat peristiwa yang terjadi di Indonesia.

Sanggar ini mencoba mengajak para penontonnya tetap bangga menjadi seorang Indonesia, walaupun kondisi sosial ekonominya sedang carut marut.

Seperti yang dikatakan sang Sutradara Willy Fwi dalam pesan yang tersirat di sela-sela teater kritik sosial berbungkus komedi ini. ‘’Apapun yang terjadi di negeri ini sepatutnya kita bangga, negeri ini terlalu indah untuk dihancurkan oleh para parasit dan sampah negeri ini,’’ tegas Willy Fwi lagi di ujung pementasan.

Sementara, seusai pementasan berakhir, para pemain yang datang dari berbagai latar belakang pekerjaan, status dan usia mendapat ucapan selamat dari para penonton yang hadir pada malam itu.

Zainal salah seorang penonton yang hadir Sabtu (19/3) lalu memberikan apresiasi atas pementasan Delay ini.

‘’Ini bagus, menyentil tapi lucu. Kalau bisa kritikannya lebih ditajamkan lagi,’’ ujar Zainal, warga Jalan Pangeran Hidayat Kecamatan Pekanbaru Kota ini.(*7/yls)

Minggu, 20 Maret 2011

AGENDA SEMPENE BERBAGI UNTUK INDONESIA TIMUR


Negeri ini sedang berduka atas penderitaan saudara-saudara kita yang tertimpa bencana. Kami sadar, apa yang kami mampu pastilah bukan sekedar do’a. Kami juga paham, bahwa korban bencana tak hanya butuh do’a dari saudara-saudaranya. Kita saudara mereka dan kita berhak lakukan lebih. Maka, menyisihkan sedikit rejeki adalah kelumrahan ikhlasnya hati.

Sabtu, 19 Maret 2011 sempeneRIAUteater mengadakan agenda sempene berbagi, dan menggalang dana untuk korban bencana alam di INDONESIA TIMUR baru-baru ini, Sebagai rasa kepedulian kita terhadap musibah-musibah yang sedang menghampiri negri kita. Kami semua yang sedang tidak dilanda musibah berusaha mengulurkan tangan berbuat sesuatu demi membantu mereka yang sedang kesusahan. Dan kami pun setuju menggalang dana sukarela dengan cara 'mengamen' dan menurunkan semua anak-anak teater dari semua sanggar-sanggar di sempene untuk mengamen di jalan-jalan, di pusat keramaian kota, dsb.
Kami juga mengucapkan terima kasih banyak kepada semua orang yang telah menyisihkan sebagian rejekinya untuk membantu saudara-saudara kita yang tertimpa bencana.
dan inilah sebagian dokumentasi dari sempene yang menggalang dana dengan cara mengamen.

Allah-lah Sang Maha Pembalas Terbaik. Semoga dana yang tidak seberapa ini bisa sedikit menolong mereka yang membutuhkan....

Kamis, 17 Maret 2011

Teater – Ragam Seni yang Senantiasa Diciptakan Kembali


Di mancanegara dunia teater Jerman tidak jarang dicap sebagai ribut dan dilanda narsisme. Akan tetapi di belakangnya terdapat sistem yang sering dikagumi. Kota madya pun memiliki gedung pertunjukan untuk ketiga jenis seni panggung (sandiwara, opera, balet) yang menarik dari segi artistik. Sebagian besar di antaranya tergolong tipe teater repertoar, berarti daftar pertunjukannya mencakup beberapa karya pentas yang biasanya dibawakan oleh ansambel tetap. Secara keseluruhan terbentuk semacam panorama teater, sebuah jaringan rapat yang terdiri dari teater milik negara bagian dan kota, teater keliling dan teater swasta. Sumbangan masyarakat Jerman bagi teater cukup besar: bentuknya gagasan, perhatian dan subsidi. Banyak orang menganggap panggung-panggung sebagai hal mewah, mengi­ngat pendapatan teater dari karcis masuk pada umumnya hanya mencapai sepuluh atau lima belas persen dari pengeluarannya. Akan tetapi sistem subsidi telah melewati titik kulminasi dalam perkembangannya dan sedang berada dalam tahap yang sulit, karena seni suka diukur dengan prasyarat materinya.

Peter Stein, tokoh unik dalam teater Jerman, adalah “sutradara kelas dunia” yang berbeda dari pengarah pementasan lain dengan menciptakan karya yang dapat dikenali melalui kontinuitas pengulangan motif, tema dan pengarang. Gaya pe­nyutradaraannya mengutamakan teks. Antara angkatan seniman yang berteater sekarang dan tokoh seperti Peter Stein, Claus Peymann, direktur artistik Berliner Ensemble, atau Peter Zadek († 2009) terbentang jarak yang jauh. Perbendaharaan kata yang dipakai generasi mereka itu tidak cocok lagi untuk teater kontemporer. Pengertian seperti mencerahkan, mengajari, menelanjangi atau bercampur tangan berkesan usang. Penonton pun tak dapat dikagetkan lagi, provokasi di atas panggung biasanya berlalu tanpa sahutan dan sering tidak lebih daripada serangan terhadap klise usang yang dilancarkan dengan rutinitas. Teater angkatan muda tidak lagi mau menjadi “avant-garde”, melainkan mencari bentuk ekspresi tersendiri. Berkenaan dengan tren ini jumlah pertunjukan perdana karya dramawan kontemporer meningkat secara tajam sesudah pergantian abad. Terlepas dari mutunya yang sangat bervariasi, pementasan tersebut menunjukkan seluruh kebinekaan bentuk seni pertunjukan; drama tradisional bercampur dengan pantomim, tari, proyeksi cuplikan film dan musik menjadi paduan yang selalu baru. Tidak mengherankan kalau pementasan yang gayanya sering terbuka dan bersifat improvisasi itu umumnya disebut “instalasi dramatis” atau “adaptasi untuk panggung”.

Frank Castorf, kepala teater Freie Volksbühne Berlin, yang membiarkan teks sandiwara diutak-atik dan disusun kembali sesukanya menjadi salah seorang yang diteladani oleh generasi muda sutradara itu. Nama Christoph Marthaler dan Christoph Schlingensief juga menandai pandangan baru mengenai seni panggung dan pencarian kemungkinan ekspresi baru yang sesuai dengan globalisasi kapitalisme dan kehidupan yang didominasi oleh media elektronis. Michael Thalheimer diang­gap sebagai ahli untuk tema yang sulit yang mengupas perso­alan dengan melihat intinya. Armin Petras, Martin Kusej atau René Pollesch telah menciptakan bentuk pementasan yang meng­utamakan gaya: cara bercerita tradisional dengan berpegang pada teks terasa agak asing bagi mereka. Terhadap sikap itu selalu diutarakan kritik, kritik yang seolah-olah membuktikan bahwa dunia teater penuh hidup, biarpun tidak sejiwa.

Teater sanggup bereksistensi terus meskipun ada penghancur karya drama seperti Frank Castorf, dan pada waktu yang sama dapat disorakinya interpretasi kesutradaraan teliti yang mengutamakan kesanggupan para aktor. Kebinekaan yang diperagakan setiap tahun oleh Pertemuan Teater Berlin dapat ditafsirkan di satu pihak sebagai ungkapan rasa bingung yang bertambah kuat, namun di lain pihak sebagai tanggapan de­ngan beraneka suara atas persoalan yang muncul dalam realitas masyarakat yang serba kompleks. Publik yang berperhatian
penuh akan memperoleh manfaat dari kebinekaan tersebut yang selalu memberi kunci baru untuk memahami teks yang seolah-olah sudah dikenal. Terserah apakah kebinekaan itu membingungkan, menjengkelkan atau menghibur kita, selalu diciptakannya gambaran baru mengenai hidup kita.

Senin, 07 Maret 2011

“Sie Jin Kwie Kena Fitnah” – Kisah & Jalan Cerita

Lakon teater karya Tio Keng Jian dan Loko An Chung
Saduran dan Sutradara: Nano Riantiarno
Bagian ke-2 dari trilogi pementasan lakon “Sie Jin Kwie”
Pementasan teater produksi ke-122 Teater Koma
Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki-Jakarta
4-26 Maret 2011

(klik pada gambar untuk memperbesar)

[spoiler alert!]

Setting kisah epik sejarah ini adalah di masa Dinasti Tang, kaisar negeri Cina sekitar abad ke-7. Tokoh utamanya adalah Sie Jin Kwie, panglima perang yang amat berjasa bagi kerajaan. Ini melanjutkan kesuksesannya yang telah dipentaskan di lakon bagian pertama. Karena itu, oleh sang Raja Li Si Bin, ia dianugerahi hadiah dan pangkat. Bahkan ia diberi pangkat Raja Muda dan dibangunkan istana di Xan Si. Ia kemudian menjemput istrinya Liu Kim Hwa di kampung. Di perjalanan, ia melihat seorang remaja berumur 12 tahun sedang memanah burung belibis. Karena amat mahir, burung-burung yang itu terpanah tepat di dalam paruhnya. Namun tiba-tiba muncul monster jelmaan ayah Thio Jin Bin, musuh Sie Jin Kwie. Sie Jin Kwie memanah anak itu, namun malah terkena si remaja tersebut. Sesampainya di rumahnya, istrinya sempat tak percaya itu suaminya, namun setelah menunjukkan tanda lahir di lengan kanannya, barulah sang istri percaya. Dari keterangan istrinya, selama ditinggal oleh Sie Jin Kwie berperang, anaknya Tin San sudah tumbuh menjadi remaja 12 tahun, sementara putrinya Sie Kim Lian masih berusia sekitar 6 tahun. Di rumah itu hanya ada putrinya, sementara menurut sang istri putranya pergi berburu. Sie Jin Kwie kaget karena remaja yang tadi dipanahnya ternyata anaknya sendiri. Istrinya sempat marah, apalagi Sie Jin Kwie pulang hanya mengenakan seragam prajurit rendahan. Liu Kim Hwa bahkan sempat tak percaya untuk kedua kalinya saat sang suami menjelaskan bahwa ia kini Raja Muda dan mengajaknya ke istana. Ia baru percaya saat suaminya menunjukkan stempel emas lambang kekuasaan. Mereka pun kemudian bersama-sama pindah ke istana Xansi, dengan lambang kerajaannya Bangau.

Di wilayah kerajaan Tang yang memiliki lambang kerajaan berupa Macan, seorang pembesar tengah berunding dengan istrinya. Ia adalah Paman Raja Li Si Bin yang bernama Li To Cong. Istrinya adalah Thio Bie Jin yang merupakan anak seorang raja dari marga Thio. Karena berontak kepada raja, seluruh marga Thio dibasmi. Tinggallah satu orang lagi dari marga Thio yang masih hidup selain Thio Bie Jin. Dia adalah Thio Jin, sepupu jauhnya. Karena dendam kepada Sie Jin Kwie yang memberi saran pada raja untuk membasmi keluarganya, duo Thio ini merancang niat jahat. Mereka berencana memfitnah Sie Jin Kwie agar dihukum mati oleh Raja Li Si Bin.

Maka, Thio Jin membuat surat panggilan palsu dari Raja untuk Sie Jin Kwie agar datang ke ibukota, bahkan mengantarkannya sendiri dengan menyamar. Karena diminta datang sendiri, maka Sie Jin Kwie tidak membawa pengawal dan hanya didampingi Thio Jin yang menyamar. Sesampainya di ibukota kerajaan, Sie Jin Kwie dicegat oleh Li To Cong di gerbang utara. Ia lalu mengundang Sie Jin Kwie untuk mampir minum arak dan bermalam. Meski sudah berupaya menolak, namun dengan alasan kesopanan akhirnya Sie Jin Kwie mau masuk ke istana Li To Cong.

Ternyata, ia dijebak. Araknya diberi bius kuat oleh Thio Jin sehingga ia tertidur. Saat tertidur, ia digeletakkan di kamar Loan Hong putri Li To Cong dan Thio Jie Bien. Tujuannya agar dikesankan ia memperkosa Loan Hong, yang adalah sepupu raja. Dengan begitu, ia bisa dikenakan hukuman mati sesuai skenario rancangan Thio Jin. Meski Loan Hong memohon agar rencana itu dibatalkan karena jelas akan tersebar kabar dirinya telah kehilangan kehormatan, Li To Cong bersikeras. Maka Loan Hong yang tak tahan menanggung malu bunuh diri.

Kejadian itu membuat Li To Cong tambah marah dan segera menyeret Sie Jin Kwie ke penjara. Di penjara, Sie Jin Kwie disiksa oleh jaksa. Namun karena obat tidur yang diberikan Thio Jin terlalu kuat, justru Sie Jin Kwie tak kunjung bangun dalam waktu lama hingga berminggu-minggu. Li To Cong yang berusaha agar Sie Jin Kwie dihukum mati secepatnya dapat digagalkan oleh Thia Kauw Kim sahabat Sie Jin Kwie yang meminta agar raja menundanya hingga Sie Jin Kwie bangun.

Di penjara, Sie Jin Kwie akhirnya berhasil dibangunkan. Ia selalu dijenguk oleh para sahabatnya. Mereka membawakan makanan, padahal Li To Cong tidak memberinya agar Sie Jin Kwie mati kelaparan. Karena selalu mendapat kunjungan, Thio Jin menghasut lagi agar Li To Cong melarang tahanannya itu dikunjungi siapa pun. Ia juga menempatkan pengawal pribadinya di penjara karena sipirnya sudah disuap para pejabat sahabat Sie Jin Kwie.

Karena kesulitan menjenguk dan Sie Jin Kwie terancam kelaparan, Cin Bong putra Cie Bok Kong yang masih berusia 9 tahun diminta agar menyusup ke penjara. Meski ayahnya ragu, namun Cin Bong sendiri bersemangat melaksanakan permintaan Thia Kauw Kim. Ia dan rekan-rekannya berhasil memperdayai penjaga dan bahkan membuat Li To Cong luka-luka. Ibunya melaporkan hal ini kepada permaisuri, sementara Li To Cong kemudian tergopoh-gopoh melapor pula pada raja yang sedang bersama permaisuri di taman raja. Namun jelas sulit mempercayai seorang anak kecil bisa melukai orang dewasa. Maka raja pun menyuruh Li To Cong pulang tanpa menanggapi pengaduannya.

Persidangan dilanjutkan hingga raja kembali memutuskan hukuman mati dilaksanakan. Namun Thia Kauw Kim telah mengirim surat permintaan pertolongan kepada dua orang pembesar kerajaan dinasti Tang. Mereka adalah Utti Kiong dan Utti Pokeng. Keduanya adalah penasehat kerajaan dan sahabat Raja Tian, ayah Raja Li Si Bin yang sedang berkuasa. Selain nasehatnya biasanya didengarkan, keduanya punya hak veto terhadap keputusan raja karena masing-masing memegang benda pusaka kerajaan Dinasti Tang. Sayangnya, karena kesibukan masing-masing, tak satu pun bisa segera datang ke ibukota. Apalagi Utti Kiong selain karena kesibukannya mengawasi pembuatan patung-patung Buddha untuk seluruh kerajaan, ia juga buta huruf jadi jelas tak bisa membaca surat yang dikirimkan. Sementara Utti Pokeng malah terlalu kalem dan senang bersyair. Ia membalas pesan Thia Kauw Kim justru dengan bersanjak yang intinya menyuruh agar membiarkan saja Sie Jin Kwie menghadapi takdirnya.

Dalam keputusasaan, Li To Cong kembali mendesak agar Sie Jin Kwie segera dihukum mati. Sementara itu, di dua tempat berbeda, kedua kekasih Sie Jin Kwie mendapatkan kabar mengenai kemalangannya. Di rumahnya, Liu Kim Hwa menerima kabar tersebut dari putrinya yang sudah beranjak dewasa. Sementara Putri Zhae Yang menerimanya dari asistennya. Zhae Yang adalah tunangan Sie Jin Kwie sebelum lelaki itu menikahi Liu Kim Hwa. Karena kabar pernikahan kekasihnya itu, Zhae Yang sempat berencana hidup membiara. Namun karena kabar itu dan hatinya masih gundah, asistennya menyarankan agar ia menuruti kata “cinta”. Karena menurutnya, “cinta langit” dan “cinta manusia” sama-sama cinta. Zhae Yang, Liu Kim Hwa dan Sie Kim Lian lantas berangkat ke ibukota. Sie Kim Lian ditemani dua sahabatnya yang ahli pedang.

Sementara itu, entah bagaimana caranya, Utti Kiong akhirnya tahu bahwa telah terjadi ketidakadilan di ibukota terhadap diri Sie Jin Kwie. Ia lantas bergegas berangkat dan mengamuk di istana. Berita mengamuknya Utti Kiong diterima oleh sahabat-sahabat Sie Jin Kwie dari putranya. Mereka lalu bergegas ke istana dan di sana Utti Kiong benar-benar marah. Karena kedudukannya sebagai sahabat ayahnya, Raja Li Si Bin membiarkan Utti Kiong gusar. Ia menunjukkan ruyung pusaka milik Dinasti Tang turun-temurun yang berbunyi “ruyung ini dapat digunakan untuk mengadili siapa pun di kerajaan Tang, termasuk raja yang sedang berkuasa.” Namun Li Si Bin yang sudah gelap mata termakan hasutan Li To Cong tak menggubris dan malah masuk ke ruangan pribadinya. Utti Kiong yang mengejar mencoba mengetuk tapi tak dibukakan pintu dan malah disuruh pulang. Ia tetap bertahan di depan pintu, mengketuk-ketuk pintu dengan ruyung hingga ruyung dari besi itu hancur menjadi 16 bagian. Karena tak digubris raja, Utti Kiong kemudian bunuh diri di depan kamar raja. Kejadian itu membuat geger.

Thia Kauw Kim kemudian meminta agar hukuman mati terhadap Sie Jin Kwie ditunda karena negara dalam masa berkabung. Akhirnya Li Si Bin setuju dan menunda hukuman mati hingga musim semi mendatang. Sie Jin Kwie pun dibawa kembali ke penjara.

Seiring berlalunya waktu, ternyata raja lupa pada kasus itu. Sehingga sudah 3 kali musim semi terlewati hukuman mati belum juga dijatuhkan. Sementara, kerajaan Tartar Barat pimpinan Sou Po Tong sedang bersiap-siap menjatuhkan Raja Li Si Bin agar dapat menguasai kerajaannya. Dengan pasukan besar berjumlah 500.000 prajurit, pasukan Sou Po Ton merebut kota demi kota milik kerajaan Tang hingga hampir mencapai ibukota. Mengamuknya Sou Po Tong dan pasukannya seolah sejalan dengan lambang kerajaannya yang bergambar celeng atau babi hutan.

Di ibukota, Li To Cong mengingatkan raja akan terkatung-katungnya hukuman mati Sie Jin Kwie. Seketika itu juga Li Si Bin menitahkan agar hukuman mati dilaksanakan saat itu juga di hadapannya di istana. Ia memerintahkan Sie Jin Kwie diambil dari penjara dan diseret ke hadapannya.

Saat algojo siap memancung kepala Sie Jin Kwie, tiba-tiba Utti Pokeng datang. Ia dengan bersyair mengingatkan raja akan nilai-nilai kebajikan. Di samping itu, ia mengingatkan kembali maklumat raja yang dipegangnya, ditandatangani dengan sumpah darah oleh Raja Li Si Bin dan ayahnya Raja Thian. Isinya menyatakan bahwa apapun yang terjadi, apabila kelak Sie Jin Kwie melakukan kesalahan bahkan dihukum mati sekalipun oleh pengadilan, karena jasa-jasanya yang begitu besar bagi kerajaan, maka raja harus mengampuninya. Diingatkan begitu, raja sedih dan ia tahu harus mematuhi sumpah itu karena merupakan “perjanjian dengan langit”. Maka, Sie Jin Kwie pun dibebaskan.

Saat itu raja dilapori akan gerakan pasukan Sou Po Tong. Ia kebingungan mencari panglima besar bagi pasukannya. Dan tentu saja Thia Kauw Kim menyarankan agar mengangkat Sie Jin Kwie. Namun, ternyata Sie Jin Kwie menolaknya karena ia merasa nama baiknya belum dipulihkan. Ia meminta Li To Cong diseret ke pengadilan raja dan dihukum mati. Utusan pembawa pakaian kebesaran panglima besar, pedang dan stempel emas disuruh pulang ke istana. Mereka sudah ketakutan akan mendapat hukuman karena gagal melaksanakan perintah raja. Namun mereka bertemu Thia Kauw Kim yang mengajak mereka kembali ke penjara dan membujuk Sie Jin Kwie agar mau menerima mandat raja itu. Thia Kauw Kim juga menjanjikan akan menyeret Li To Cong. Barulah Sie Jin Kwie mau menerima posisi sebagai panglima besar kerajaan.

Thia Kauw Kim dan sahabat-sahabatnya sudah menyelidiki bahwa di balik semua itu ada hasutan dari sepupuh Thio Bi Jin yang bernama Thio Jin. Mereka pun menjemput keduanya agar datang ke istana. Thio Jin menolak bahwa dirinya adalah Thio Jin, karena seluruh marga Thio memang sudah dibasmi kerajaan. Ia mengaku namanya adalah Chao Po San, tapi tak digubris dan tetap diminta dibawa ke istana.

Saat suami dan sepupunya di bawa ke istana, Thio Bi Jin didatangi Sie Kim Lian dan dua sahabatnya. Mereka hendak menghabisi nyawanya. Tapi Thio Bi Jin menantang duel adil satu lawan satu. Karena bersifat ksatria, ketiga orang itu mempersilahkan Thio Bi Jin memilih lawan salah satu di antara mereka. Ia ternyata memilih Sie Kim Lian yang malah paling jago pedang. Dan ia berhasil membunuh Thio Bi Jin.

Di istana, raja memohon agar Sie Jin Kwie mengampuni Li To Cong yang adalah pamannya. Sie Jin Kwie dengan enggan menyatakan patuh pada permintaan raja. Sepeninggal Sie Jin Kwie yang mempersiapkan pasukan, Thia Kauw Kim meminta raja agar membuat siasat seolah-olah Sou Po Tong telah dihukum mati, padahal disembunyikan di genta pusaka raksasa di sebuah biara tua. Kepada Sie Jin Kwie akan dikatakan bahwa Li To Cong telah mati. Ini agar ia dapat berjuang sepenuh hati saat memimpin perang menghadapi Sou Po Tong. Raja setuju.

Maka Li To Cong yang telah diampuni raja dibawa ke biara. Sementara itu Thio Jin segera dihukum mati. Di sana, ia disuruh sembunyi di dalam genta raksasa sampai Panglima Besar Sie Jin Kwie dan Raja Li Si Bin meninggalkan ibukota bersama pasukannya. Tentu saja Li To Cong bingung. Hanya karena ia menyadari tak punya pilihan agar menghindari dibunuh, ia mau menuruti saran itu. Namun, Thia Kauw Kim ternyata sudah punya rencana lain. Ia bersama pasukannya kemudian membakar biara. Kepada raja, ia sudah menyiapkan alasan bahwa karena kebakaran itu, Li To Cong yang bersembunyi di dalam genta raksasa yang besar dan berat itu tak dapat diselamatkan. “Kita tidak membunuh Li To Cong, tapi memanggangnya,” demikian dalih Thia Kauw Kim

Di perbatasan kota, pasukan kedua belah pihak berhadapan dalam kondisi siap tempur. Dan adegan berakhir menunggu bagian ketiga dari trilogi lakon ini.

34 Tahun Teater Koma: Mengenang Tahun-tahun Penuh Pencekalan

Jakarta Salah satu grup teater veteran, Teater Koma sudah eksis selama 34 tahun. Banyak sekali cerita suka dan duka yang dialami para pendirinya. Mulai dari tujuan berkesenian, adanya kegelisahan, sampai berbagai pencekalan dari pemerintah.

Pendiri Teater Koma Nano Riantiarno mengatakan, setiap tahun yang dilewati Teater Koma itu sangat berharga. "Tidak ada tahun yang spesial kayak 9, 17, 25, 50, dan sebagainya. Jadi pada akhirnya kita juga pernah merayakan 10, 15, 25 dan sebagainya. Itu kan angka yang aneh," ujarnya ketika ditanya makna ulang tahun ke-34 kali ini.

"Ada kesadaran bahwa kita harus sesekali menengok ke belakang. Pikirkan manfaat kita kepada masyarakat tuh apa," tambah Nano yang ditemui detikhot di belakang panggung pergelaran 'Sie Jin Kwie Kena Fitnah' di Graha Bakti Budaya, TIM, Jakarta Pusat.

Lakon 'Sie Jin Kwie Kena Fitnah' dipentaskan mulai 4 Maret hingga 26 sebagai puncak perayaan ultah Teater Koma tahun ini. Grup teater tersebut didirikan pada 1 Maret 1977 oleh 12 orang dari berbagai latar belakang. Selain Nano sendiri, di antara mereka adalah Ratna Madjid, Rima Melati, Rudjito, Jajang C Noer, Titi Qadarsih, Syaeful Anwar, Cini Goenarwan, Jimi B Ardi, Otong Lennon, Zaenal Bungsu dan Agung Dauhannadalah.

Kala itu tahun 1977 mereka mementaskan pertama kali 'Rumah Kertas'. Teater Koma kemudian berkembang pesat, banyak orang yang ingin bergabung, dan pintu selalu terbuka lebar. Dari tahun 1977 pentas Teater Koma begitu diminati masyarakat, bahkan kala itu --sampai saat ini-- menjadi hiburan yang membuat penonton ketagihan.

Sampai saat ini Teater Koma sudah melahirkan 122 judul cerita teater dengan 967 kali pementasan. Pada usianya ke-34 tahun, Nano ingin sedikit mengenang perjalanan Teater Koma. Ia pun mengumpulkan kliping-kliping dan dokumentas dari teman-temannya. Sudah banyak suka dan duka yang mereka lewati.

Misalnya saja dari kenangan pahit saat pentas mereka mulai mendapatkan pelarangan pada 1978, setahun setelah Koma terbentuk. "Pertama (dilarang) itu tahun 1978, pentas 'Maaf, Maaf, Maaf' tidak boleh manggung di tiga kota, Bandung, Surabaya dan Jogja," kenangnya.

Saat itu, lanjut Nano, ada kebijakan normalisasi kampus di mana kampus tidak boleh menerima kegiatan-kegiatan dari luar. Termasuk pentas teater dan diskusi yang sifatnya kegiatan luar kampus. Itu pencekalan pertama buat Koma. Sebelum dilarang, 'Maaf, Maaf, Maaf' sempat manggung di Fakultas Sastra UI selama 2 hari.

"Saat itu kita bicara soal sikap otoriter sang penguasa yang pada akhirnya membuat pentas kita dihentikan, tapi ya sudahlah tidak apa-apa," ujarnya seolah ingin melupakan kenangan itu. Selanjutnya, pada 1989 pementasan 'Sampek Engtay' batal di Medan karena mendapatkan pelarangan dari Depdikbud dan Kepala Dinas Kebudayaan setempat. Alasannya, pentas tersebut berbau China, yang saat itu masih menjadi isu SARA yang tabu.

"Padahal saat itu kita hanya bicara soal percintaan, kenapa dilarang? Toh saat itu di Medan diputar film Mandarin dan banyak juga komunitas orang Tionghoa. Pada saat itu sama sekali nggak pentas kita, padahal tiket sudah terjual habis. Yah, kita balik aja gitu ke Jakarta," paparnya.

Ketiga, pentas 'Suksesi' juga dicekal aparat yang menilai bahwa lakon tersebut mengkritik keluarga Soeharto yang kala itu masih kuat berkuasa. Padahal, kata Nano, tidak pernah ada maksud untuk mengkritik dan sebagainya. "Itu hanya ketoprakan saja, kita memang bicara soal penguasa, tapi dianggap mengkritik penguasa saat itu," jelasnya.

Pencekalan ketiga itu cukup merepotkan Nano karena ia harus bolak-balik ke markas ABRI saat itu untuk menjalani interogasi. Terakhir, pada 1990 Nano mendapatkan undangan untuk pentas di Jepang dengan lakon 'Kecoa'. Pusat kebudayaan Jepang saat itu meminta Teater Koma manggung diempat kota di sana.

Sebelum berangkat, Nano berniat mengadakan pentas pamitan di GedungKesenian Jakarta. Saat itu dihadiri oleh pihak kedutaan Jepang dan dua orang wartawan dari Negeri Sakura itu. Apa yang kemudian terjadi? "Ternyata dilarang, karena 'Kecoa' itu agak keras saya bicara. Tentang penggusuran, tentang kaum elit yang secara politik cuma dagang saja. Saya bicara kaum-kaum yang kena gusur itu kok nggak punya hak hidup di negerinya sendiri," paparnya.

Alhasil, Koma tidak boleh berangkat ke Jepang. Sejak itu, setiap Koma mau pentas harus membuat surat rekomendasi khusus. Mereka harus melewati 13 meja birokras, bahkan naskah ceritanya pun harus diedit oleh pejabat militer setempat. Selama 6 tahun Teater Koma harus menjalani birokrasi yang rumit untuk pentas. "Setelah Soeharto jatuh pada 1998, surat izin itu tidak diperlukan kembali," kata Nano.

sumber : detikhot.com

Minggu, 06 Maret 2011

PEMENTASAN GAGAS TEATER #6


Sabtu 5 maret 2011, kelas laboratorium sempeneRIAUteater kembali mengadakan sebuah pementasan rutin yg diadakan 2 bulan sekali setelah pementasan TOEPAN sebelumnya di Gedung Kesenian Indragiri Hulu.
dengan panitia dadakan yang ditunjuk ke laskar panggung dan beberapa orang dari sanggar yaitu :

1. SRI MAILASARI - KETUA PENYELENGGARA (LASKAR PANGGUNG)
2. RHIDO KURNIAWAN -SEKSI ACARA (LASKAR PANGGUNG)
3. RAVICO DESPIONI - SEKSI ACARA (SSDR-Te)
4. DERI RAMUNDA - SEKSI PERLENGKAPAN (LASKAR PANGGUNG)
5. ATOK - SEKSI PERLENGKAPAN (LIP)
6. RITA GUSNA RIANDA L - PERBENDAHARAAN/SEKSI TAMU (SSDR-Te)
7. RASIDAH AMELIA - SEKSI TAMU (LIP)

Kami berhasil menampilkan pementasan yang bertema tentang '1 Tahun 1 malam di negeri dongeng' dan menampilkan 4 pementasan.
1. parodi 'satespenda' sebagai pembawa acara (SMP N 2 RENGAT)
2. 'UPIK BABU TANPA KERETA 'sasedampak' (SMK N 1 RENGAT)
3. 'SRIKANDI EDAN 'sampan' (SMPN 4 RENGAT)
4. 'AKU MASIH PERAWAN' 'satepensa' (SMP N 1 RENGAT)
5. 'ALAYDIN' 'ssdr-te' (SMA N 1 RENGAT)