Jumlah Pengunjung Saat Ini

Minggu, 10 Mei 2009

perubahan itu kadang sangat menyakitkan

Teater Kita, Dulu, Kini dan ke Depan
(Catatan dari Gelora Teater X DKR 2008)
Oleh Taufik Effendi Aria


GELORA Teater X yang ditaja oleh Dewan Kesenian Riau (DKR), dari tanggal 26 sampai 28 Juni 2008, bertempat di Gedung Serba Guna Pusat Pengajian Kebudayaan Propinsi Ria, perul catatan khusus. Pertama kegiatan ini terlah berjalan secara ritin tanpa putus selama satu dasawarsa; kedua, para peserta dari tahun ke tahun tetap memperlihatkan semangat yang menggelora, walapun dengan kemampuan yang bervariasi.
Yang paling menarik untuk dicatat ialah adanya beberapa grup yang mencoba keluar dari tradisi perteateran Riau selama ini, disamping ada juga grup yang konsisiten mempertahankan ketradisionalannya.
Dalam catatan singkat ini terlebih dahulu saya mencoba menguak sepenggal sejarah perjalanan seni teater di Riau, semoga dengan demikian akan membuka selera, terutama bagi orang-orang teater untuk lapar dan haus terhadap teater yang bersaing dan berdamping dengan teater-teater lain diluar Riau.
Sejak awal tahun 60-an sampai dengan 80-an, istilah teater pada masa-masa itu belum popular, bahkan belum dikenal sama sekali. Yang dikenal pada masa-masa itu, ialah istilah drama. Istilah drama ini mengalahkan popularitas istilah sandiwara yang berkembang sejak zaman penjajahan.
Pada era 60-an sampai denganera 70-an, di Riau pada umumnya dikenal istilah drama modern dan drama klasik. Kedua bentuk daram ini mengacu kepada metode teater Barat, yang lazim disebut dengan teater konvensional. Proses pergelarannya diawali dari naskah yang sengaja di dalam bentuk percakapan dan sedikit petunjuk yang ditulis dalam tanda kurung. Biasanya disebut dengan reportoa (alih aksara).
Dari teater kinvensional inilah selanjutnya kita mengenal istilah-istilah, seperti reportoal naskah-lakon, penyutradaraan, tokoh/karakter, design artistik (set/dekorasi, properti, tata-cahaya, tata-rias, tata-busana).

Perbedaan Drama Modern dan Drama Klasik
Drama modern ceritanya diangkat dari fenomena kehidupan sehari-hari. Sedangkan drama klasik diangkat dari cerita-cerita rakyat, baik dalam bentuk legenda, dongeng, hikayat, dan kehidupan sekitar istana, seperti Batang Tuaka (Tendra Rengat), Lancang Kuning (Tenas Effendi), Merbau Bersiram Darah (?), Hang Tuah (Tenas Effendi), Megat Sri Rama (?), Burung Tiuang Sri Gading (Hasan Junus) dan lain sebagainya. Disamping itu drama klasik nuansa lokalnya lebih kental dan terasa, nuansa ini berbias dari dialog/percakapan para tokoh yang selalu mempergunakan bahasa bersajak(berirama), pantun dan syair. Juga diperkuat oleh kostum yang dipakai oleh para tokoh, seperti tanjak/destar, baju teluk belangga, kebaya labuh dengan kain bertenun dan atribut lainnya. Setting (latar belakang, tempat dan waktu kejadian) pada umumnya berupa istana sentris.
Untuk pelaksanaan Gelora Teater X panitia mengirimkan beberapa naskah/sastra lakon untuk dibawakan oleh setiap peserta. Naskah-naskah tersebut diambil dari hasil sayembara penulisan naskah lakon yang secara rutin juga diselenggarakan oleh DKR.
Sepintas lalu, nampaknya naskah yang dikirim didominasi naskah dalam bentuk drama klasik. Terkecuali dua naskah yang berjudul Keletah Kempunan karya M. Paradison dan Pecundang (Fadli Aziz). Tapi jika diamati secara teliti dan seksama, naskah-naskah yang dikirimkan cukup terbuka luas untuk menampilkan bentuk pementasan yang lebih variatif, tidak stereo type (pengulangan-pengulangan) bentuk drama klasik masa lalu. Memang tidak mudah. Diperlukan keberanian, pengalaman, wawasan dan kemaunabagi sutradara bisa menemukan konsep teaternya sendiri.
DKR telah melaksanakan Gelora Teater yang kesepuluh. Kegiatan ini semacam Simposium Teater, dimana setiap peserta menampilkan pengetahuan, pengalaman dan wawasan mereka yang dapat diberikan dan diterima oleh masing-masing peserta. Gelora Teater X membuktikan hal itu. Gelora Teater bukan hanya sekedar seremonial, yang sekedar ramai-ramai tanpa dapat merubah sikap dan prilaku peserta dan penikmatnya. Gelora Teater telah menjadi sebuah upacara ritual, karena dia telah memberi perubahan sikap, imej, visi dan penyegaran terhadap perjalanan perteateran Riau ke depan, baik bagi orang-orang teater itu sendiri maupun bagi orang-orang yang terlibat didalamnya.
Catatan yang perlu diingat dan menjadi landasan kedepan, adalah tampilnya Grup Pancang Siak Kecil, yang meraih Penyaji Terbaik Kedua, The Best Aktor dan Aktris, serta Pemeran Pembantu Terbaik Pria. Hal ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan, bahwa Pancang Siak Kecil sangat konsisten dengan bentuk konsep drama klasik, penyutradaraan, pemeranan, dan desing artistik, memenuhi kereteria metode teater konvensional.
Sanggar Mini Teater dari Rengat, mendapat kehormatan sebagai Penyaji Tebaik Pertama, Sutradara Terbaik dan Artisti Terbaik. Membawajan cerita Pralaya karya Fedli Aziz tampil dengan keberanian: Mengganti destar dengan dasi, mengganti teluk belnga dan kebaya labuh dengan kemeja plus pantalon, mengganti capal dengan sepatu, set-dekorasi diganti tabir berwarna putih–air dengan dasar kain yang lembut. Dibantu alat canggih berama multimedia. Selanjutnya apa yang terjadi? Ketika ruang gedung gelap-gulita munculah beberapa potong gambar: Soekarno dengan pakaian kebesarannya sebagai Kepala Negara RI; Aidit, yang kita kenal sebagai pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) ; beberapa gambar kerusuhan yang terjadi di ibu kota.
Potongan-potongan gambar ini berjalan dari plafon, lantai dan dindinggedung tempat pertunjukan. Saat lampu mulai menerangi pentas dengan cahaya temaram terlihat beberapa orang dengan berpakaian rapi; kemeja putih, pantalon hitam, pakai dasi, mengingatkan kita pada kostum Randai Kuantan. Satu-persatu ketokohan mereka diperkenalkan dengan mengambil tempat dipojok pentas, sebagaimana permainan sandiwara akan memulai pertunjukannya. Tabir lembut berwarna putih-air sekali-kali difungsikan sebagai ilustrasi memperkuat suasana adegan yang sedang berlangsung. Sekali-kali dimainkan dalam fungsi sebagai selingan pengganti babakan. Sementara alat multimedia mencoba mengurung audiens/penonton dala suasana khaos yang sedang berlangsung, dengan menayangkan potongan-potongan gambar pada plafon, dinding dan lantai.
Demikianlah Pralaya karya Fedli Aziz diusung oleh Mini Teater dari Rengat ke dunia fantasi, tidak saja sedert kata yang diucapkan para pelaku, akan tetapi juga oleh lambang-lambang yang mewakili kemauan dan kehendak sutradara yang tak terwakilkan oleh kata-kata.
Selanjutnya jadilah pertunjukan itu suatu tontonan yang mengasyikan sekaligus menyenangkan. Membingungkan sekaligus memabukkan. Dan ketika semua telah usai, sadarlah kita, bahwa lambang-lambang juga memegang peranan penting selain kata-kata. Dan yang perlu digarisbawahi Gelora Teater X 2008 telah membuka ruang imajinasi yang selama ini terkurung dalam kabut romantisme masa lalu.
Hidup perlu pencerahan, pergerakan dan pembaharuan. Salam takzim untuk DKR, panitia dan seluruh peserta Gelora Teater X.

Taufik Effendi Aria adalah penilmat dan pencinta seni. Tinggal di Pekanbaru.