Jumlah Pengunjung Saat Ini

Minggu, 14 Maret 2010

Teater DPR vs Teater Kampus

Teater DPR vs Teater Kampus

Rabu, 3 Maret 2010 - 10:01 wib
text TEXT SIZE :
Share

Panggung politik anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DPR, secara khusus anggota Pansus Bank Century, benar-benar menjelmakan diri dalam panggung teater.

Ada tokoh protagonis maupun ada tokoh antagonis. Ada konflik, ada skenario, ada improvisasi, dan ada sejumlah penonton melalui layar televisi. Kebetulan pada saat yang sama sekarang ini juga berlangsung panggung teater yang sesungguhnya, yang diselenggarakan oleh mahasiswa-mahasiswi London School of Public Relations-Jakarta (LSPR).

Sebenarnya, karena ini benar-benar pentas berteater dan sudah menampilkan 57 kali pementasan selama lima tahun terakhir. Apakah kedua komunitas ini layak diversuskan, tergantung diskursus mana sebagai pendekatan. Secara pribadi saya merasa lebih nyaman, lebih mendapatkan pelajaran dari pendekatan teater kampus. Di tengah hiruk-pikuk persoalan politik yang memaksa diperhatikan, tak ada salahnya perhatian kita sisakan untuk dunia kesenian.

Teater Kampus

Istilah teater kampus, pernah berjaya di awal tahun 70-an, ketika sejumlah komunitas kampus di Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo, Padang, atau bahkan kota lebih kecil mampu menghadirkan pentas. Itu masa jaya Dewan Kesenian Jakarta yang memberi kemungkinan untuk berpentas.

Sehingga tercipta genre atau pendekatan yang berbeda dengan para seniornya, baik grup yang profesional maupun grup tradisi. Fakultas Sastra Universitas Indonesia, sempat mencatatkan prestasi. Namun sesudah itu, seakan tak ada bekas kelanjutannya. Keberadaan teater di Indonesia agaknya memang mempunyai siklus yang pendek dan tidak kontinu.

Bahkan sejak komunitas seperti Dardanella–yang bersamaan dengan grup Miss Riboet Orion, atau grup seniman tradisi seperti Srimulat, atau angkatan Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI dan Asdrafi, bahkan juga angkatan Taman Ismail Marzuki (TIM), mempunyai akhir yang sama. Meredup dan sayup.

Teater LSPR, yang dalam pentas dinamai Teatro dan Teater Festival, agak berbeda kelangsungannya karena didukung oleh para mahasiswi-mahasiswa. Sehingga dalam lima tahun terakhir mampu mengorganisir 57 kali pementasan. Dari sumber daya manusia pendukungnya, selalu terjadi regenerasi, dari segi panggung sebagai tempat berpentas telah tersedia, dan juga membentuk komunitas penonton, baik dari kampus sendiri, keluarga atau handai taulan.

Yang lebih menarik dalam proses ini adalah ketika diadakan festival, masing-masing grup bertanding dan bersaing untuk menjadi pemenang namun dalam proses produksi ternyata bekerja sama, bergantian menerima tamu, menjualkan tiket.

Terjadi koalisi yang sehat, mana kala para fraksi–yang dalam bahasa mahasiswa adalah batch atau angkatan–mempunyai target yang sama. Untuk kesempurnaan sebuah pertunjukkan. Untuk komunitas besarnya, LSPR. Ini adalah proses yang sama dalam grup teater seperti Teater Koma, misalnya. Semua yang terlibat di dalamnya, tidak selalu hanya menjadi bintang atau pemain, karena ada pembagian tugas untuk yang disebut praproduksi bahkan pascaproduksi.

Teater Politik

Istilah teater politik, yang dibawa para wakil rakyat tidak memperlihatkan proses itu. Keberadaannya sebagai wakil rakyat, direduksi menjadi “hanya” wakil partai politik dan atau bahkan wakil diri sendiri. Ini tercermin bahkan sejak mencalonkan. Dalam berbagai baliho, selebaran, atau spanduk mereka hanya mencantumkan nama dan nomor urut.

Kalaupun berada di nomor urut kelima, nama di atasnya atau apalagi di bawahnya yang satu partai dikosongkan. Ada egoisme menonjolkan diri dengan meniadakan orang lain yang separtai. Demikian juga dengan daerah pemilihan yang diwakili pun sebenarnya bukan selalu berdasarkan asal atau kemampuan. Lebih kepada perhitungan neraca laba-rugi, wilayah gemuk atau kurus.

Hal yang sama ketika terpilih dan masuk ke dalam suatu komisi bukan selalu berdasarkan kemampuan dan pengalaman, melainkan perhitungan komisi yang kering meskipun penting dan atau basah dan rezeki berlimpah. Proses awal seperti ini, gagal menempatkan diri sebagai wakil rakyat sepenuhnya karena ketergantungannya pada partai politik. Bahkan, orang yang sama yang dikenal masyarakat karena keahliannya bisa berbeda suaranya ketika berada di partai A atau B, misalnya.

Semua kemampuan, keahlian, dan integritas tunduk pada partai. Identitas diri menjadi bagian perpanjangan dari kesetiaan kepada partai, bukan kepada rakyat. Kalau sudah begini, bisa diperkirakan bahwa teater yang dipertontonkan dengan gagah, kadang pongah, hanyalah penyaluran frustrasi, untuk akhirnya kembali ke skenario yang tak mampu diimprovisasi, atau diubah.

Kecuali kalau berani mbalelo, tapi ini pun sesuatu yang langka. Peta ini memberi gambaran bahwa hal-hal yang tidak bertentangan dengan kepentingan partai– tentang pemberian bantuan yang terkena bencana, tentang mendapatkan fasilitas mewah, bisa berjalan seiring.Tapi, tidak untuk masalah yang oleh partai dianggap genting yang bisa menjadi bagian dari bargaining.

Teater Penonton

Lalu di mana peran dan keberadaan penonton? Pada Teater Politik, jawabannya jelas.Tak ada tempat untuk mereka. Kalaupun dalam ungkapan mereka mengatakan masyarakat menonton, masyarakat menjadi saksi dan mencatat, bisa tetap tak dihiraukan. Dalam teater yang sesungguhnya kesetiaan pada penonton menjadi utama.

Lakon yang diberi judul Journey to the West, atau Kera Sakti, atau menjadi Demalung (yang artinya babi), atau Sang Prajaka (dalam bahasa Jawa) tetaplah sama seperti yang diketahui penonton. Penekanan jalan cerita pada tokoh Tong Sam Cong atau Dewi Kuan Im atau manusia babi atau kera adalah proses kreatif. Tapi, tak bakal para pencari Kitab Suci berhenti di tengah jalan karena kompromi.

Pentas teater yang sesungguhnya bukan semata untuk ketenaran para pemain yang tampil, melainkan juga dalam mendidik, mengajak, menyapa, membagi pengalaman hidup bersama penonton. Pada penonton dan bersama penontonlah proses berteater menjadi indah dalam menyampaikan ekspresi pesannya. Mungkin itu sebabnya saya lebih suka menonton teater di LSPR dibandingkan dengan di DPR yang kemarin nyaris saja berbaku hantam. Dan saya bahagia menjadi penonton.(*)

Arswendo Atmowiloto
Budayawan
(//mbs)