Tommy F. Awuy meluncurkan bukunya yang berjudul Sisi Indah Kehidupan – Pemikiran Seni dan Kritik Teater di QB World Book Pondok Indah Jakarta. Buku yang membahas dunia teater – yang bisa dimaknai sebagai rumah, negara, Indonesia bahkan dunia – ini juga merupakan respons Tomy terhadap kondisi kehidupan yang terpuruk, akibat kebijakan ekonomi dan politik yang buruk.
Peluncuran yang dilakukan dengan suasana yang akrab–Jenar Maesa Ayu yang hadir mengatakan suasana itu sebagai suasana kekeluargaan. Sentuhan teks pada buku pemikiran seni dan kritik teater Tommy yang memang terkesan ”berat” itu tidak disentuh ke permukaan.
Hanya Mohamad Sobary yang pada pembukaan acara mengomentari tentang buku Tommy yang memang berusaha merespons tentang kehidupan dan menjabarkannya secara ilmiah. Usahanya untuk memberi respons dalam bentuk tulisan memang sangat berguna. Sobary juga mengatakan bahwa dalam buku itu, Tommy mencoba menanggapi seni dan kebudayaan nasional Indonesia yang membingungkan. Orang mengatakan tentang perlunya keindahan tumbuh di tingkat lokal, tradisi juga merupakan cerminan dari lokal, namun tak utuh ketika disebut sebagai nasional. Dalam bukunya, menurut Sobari, Tommy mengkritik tentang makna kata yang lahir dari masyarakat dan kerap cenderung salah kaprah termasuk dalam menanggapi kata ”edan” yang maknanya ”gila” menjadi kata yang terlontar dalam pujian. Tommy, pun membahas perspektifnya tentang semiotika juga ekspresi dunia teater saat ini dalam bukunya itu. Tommy mengatakan bahwa dia tak membicarakan teks ataupun isi di dalam buku karena memang buku ini sudah dilempar ke publik. Acara tersebut memang maknanya sebagai peluncuran. Bisa jadi, pembedahan terhadap buku Tommy dalam bentuk diskusi akan dilakukan pada masa yang akan datang.
Begitupun, Cornelia Agatha tampil untuk membacakan ”kalimat pendahuluan” dari buku terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (2003) ini. Dengan tutur yang ”berbeda dengan puisi”, Cornelia mengawalinya, ”Kepada yth. para sahabatku seniman, mungkin ini adalah suatu pendahuluan yang agak kecut kalau kubilang. Alangkah anehnya kita pada gejolak zaman sekarang masih saja mungkin bicara soal nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan…” ujar Cornelia, membacakan ”jeritan” Tommy.
Apa pendapat Cornelia terhadap pembacaan itu? Kepada SH dia mengatakan bahwa membaca ”kata pembukaan” bahkan lebih sulit ketimbang membacakan puisi. Membaca kata pendahuluan, dia harus mengerti maksud dan pikiran Tommy tentang pendahuluan itu.
TEATER SECARA MAKRO
Pada dasarnya, dalam buku itu, pemahaman Tomy akan teater sangat luas, paradigmatik dan konseptual. Dia tak menyorot teater secara teknis maupun pemanggungan – itu lebih merupakan kerja teater – namun seniman yang juga dosen filsafat ini cenderung melihat teater dari segi mikro, baik dalam hubungannya dengan kerangka sosial, politik maupun filosofi dan pemikiran.
Buku yang pada bab awal mengangkat tentang definisi seni, representasinya, juga pandangan seni dari berbagai sisi termasuk edukasi dan hiburan. Seni dan seniman kerap diidentikkan dengan kegilaan. Selain menyebutkan tiga potensi dasar manusia mulai dari perasaan, kehendak dan akal budi (reason), Tommy juga membahas tentang seni yang muncul dalam gejolak psikis atau katarsis menurut bahasa filsuf Yunani Aristoteles maupun psikolog Sigmund Freud. Seorang seniman, menurut Tommy layaknya seperti dewa dalam mitologi Yunani, Dionysius, dewa pemabuk, pengganggu dan pembuat onar namun penuh dengan perasaan cinta.
Selain berkutat pada definisi itu, dia juga melontarkan tentang kerja seniman, seni dan kehidupan, membidik imajinasi dan usaha seniman yang kerap mengatasi dan menyangkal realita. ”Seorang seniman tak pernah setia pada realita karena lebih menggantungkan harapannya pada imajinasi,” katanya.
Buku ini mengangkat juga fenomena psikoanalisis, kritik feminisme dalam hubungannya dengan teater, teater dalam problem budaya termasuk manajemen tubuh, toleransi bagi kebhinekaan budaya dan seni juga memahami Bali dengan teater posmodernismenya itu.
Peluncuran yang dilakukan dengan suasana yang akrab–Jenar Maesa Ayu yang hadir mengatakan suasana itu sebagai suasana kekeluargaan. Sentuhan teks pada buku pemikiran seni dan kritik teater Tommy yang memang terkesan ”berat” itu tidak disentuh ke permukaan.
Hanya Mohamad Sobary yang pada pembukaan acara mengomentari tentang buku Tommy yang memang berusaha merespons tentang kehidupan dan menjabarkannya secara ilmiah. Usahanya untuk memberi respons dalam bentuk tulisan memang sangat berguna. Sobary juga mengatakan bahwa dalam buku itu, Tommy mencoba menanggapi seni dan kebudayaan nasional Indonesia yang membingungkan. Orang mengatakan tentang perlunya keindahan tumbuh di tingkat lokal, tradisi juga merupakan cerminan dari lokal, namun tak utuh ketika disebut sebagai nasional. Dalam bukunya, menurut Sobari, Tommy mengkritik tentang makna kata yang lahir dari masyarakat dan kerap cenderung salah kaprah termasuk dalam menanggapi kata ”edan” yang maknanya ”gila” menjadi kata yang terlontar dalam pujian. Tommy, pun membahas perspektifnya tentang semiotika juga ekspresi dunia teater saat ini dalam bukunya itu. Tommy mengatakan bahwa dia tak membicarakan teks ataupun isi di dalam buku karena memang buku ini sudah dilempar ke publik. Acara tersebut memang maknanya sebagai peluncuran. Bisa jadi, pembedahan terhadap buku Tommy dalam bentuk diskusi akan dilakukan pada masa yang akan datang.
Begitupun, Cornelia Agatha tampil untuk membacakan ”kalimat pendahuluan” dari buku terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (2003) ini. Dengan tutur yang ”berbeda dengan puisi”, Cornelia mengawalinya, ”Kepada yth. para sahabatku seniman, mungkin ini adalah suatu pendahuluan yang agak kecut kalau kubilang. Alangkah anehnya kita pada gejolak zaman sekarang masih saja mungkin bicara soal nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan…” ujar Cornelia, membacakan ”jeritan” Tommy.
Apa pendapat Cornelia terhadap pembacaan itu? Kepada SH dia mengatakan bahwa membaca ”kata pembukaan” bahkan lebih sulit ketimbang membacakan puisi. Membaca kata pendahuluan, dia harus mengerti maksud dan pikiran Tommy tentang pendahuluan itu.
TEATER SECARA MAKRO
Pada dasarnya, dalam buku itu, pemahaman Tomy akan teater sangat luas, paradigmatik dan konseptual. Dia tak menyorot teater secara teknis maupun pemanggungan – itu lebih merupakan kerja teater – namun seniman yang juga dosen filsafat ini cenderung melihat teater dari segi mikro, baik dalam hubungannya dengan kerangka sosial, politik maupun filosofi dan pemikiran.
Buku yang pada bab awal mengangkat tentang definisi seni, representasinya, juga pandangan seni dari berbagai sisi termasuk edukasi dan hiburan. Seni dan seniman kerap diidentikkan dengan kegilaan. Selain menyebutkan tiga potensi dasar manusia mulai dari perasaan, kehendak dan akal budi (reason), Tommy juga membahas tentang seni yang muncul dalam gejolak psikis atau katarsis menurut bahasa filsuf Yunani Aristoteles maupun psikolog Sigmund Freud. Seorang seniman, menurut Tommy layaknya seperti dewa dalam mitologi Yunani, Dionysius, dewa pemabuk, pengganggu dan pembuat onar namun penuh dengan perasaan cinta.
Selain berkutat pada definisi itu, dia juga melontarkan tentang kerja seniman, seni dan kehidupan, membidik imajinasi dan usaha seniman yang kerap mengatasi dan menyangkal realita. ”Seorang seniman tak pernah setia pada realita karena lebih menggantungkan harapannya pada imajinasi,” katanya.
Buku ini mengangkat juga fenomena psikoanalisis, kritik feminisme dalam hubungannya dengan teater, teater dalam problem budaya termasuk manajemen tubuh, toleransi bagi kebhinekaan budaya dan seni juga memahami Bali dengan teater posmodernismenya itu.