Minggu, 7 Februari 2010 | 03:20 WIB
Oleh
Nyaris dalam setiap pentas Teater Koma selalu tampil megah, dengan tata kostum dan ”setting”
Pementasan lakon Sie Jin Kwie sebuah karya China klasik, 5-21 Februari 2010 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, memperlihatkan betapa N Riantiarno sangat memerhatikan ”keagungan” itu. Seluruh ruangan di belakang panggung nyaris semuanya dipenuhi oleh properti, yang menjadi penanda pergantian adegan.
”Enggak tahu, saya kok tiba-tiba ingin properti yang begitu lengkap,” tutur Riantiarno, di belakang panggung sesaat menjelang pementasan perdana lakon itu.
Secara konsep, sesungguhnya tak ada yang istimewa dalam penyiapan properti itu. Nano, begitu sutradara Teater Koma ini dipanggil, hanya meneruskan apa yang sesungguhnya sudah dikerjakan oleh teater-teater rakyat. Bedanya, kini Nano menganggap setting dan properti itu sebagai hal yang perlu digarap serius. Ia bahkan harus mengerahkan puluhan ”orang hitam” (petugas pengganti setting panggung) untuk mendorong, mengangkat, mengganti, dan memasang latar belakang itu.
Alhasil, secara keseluruhan pentas Sie Jin Kwie terasa lebih ”sibuk”. Hampir-hampir tidak ada jeda di atas pentas. Menjelang satu adegan selesai, ”orang-orang hitam” itu sudah supersibuk memasang setting panggung yang baru.
Ketika Dalang (Budi Ros) mengawali cerita dengan bertutur, di layar belakang juga muncul visualisasi yang menggambarkan kisah kepahlawanan tokoh Sie Jin Kwie. Dan adegan sejajar semacam ini berulang kali dipraktikkan di atas panggung oleh Nano.
Selain itu, kemeriahan panggung, dalam pengertian sebenar-benarnya, diangkat oleh keberanian Nano untuk melakukan ulang-alik antara teater (modern), boneka potehi, dan wayang tavip. Ia bisa dengan seenaknya mengganti adegan teater yang sedang berjalan dengan pementasan wayang tavip. Bahkan pada beberapa adegan, Dalang dan Dalang Wayang Tavip (Tavip S) secara bergantian menuturkan adegan-adegan yang mendukung struktur utama plot: mengisahkan tentang kepahlawanan tokoh Sie Jin Kwie dalam membela negaranya.
Sebagai upaya artistik, pentas ini menunjukkan upaya pencarian Nano untuk melakukan hibridisasi terhadap teater rakyat, teater modern, dan boneka potehi. Ketika Dalang berkisah, sering kali tokoh-tokoh berlaku sebagai boneka potehi dengan mimik dan dialog sebagaimana dalam wayang tradisi China itu.
Hibridisasi tidak menjadi sekadar pemadatan kisahan, tetapi menyenyawakan dua ”zat” teater menjadi satu tubuh yang utuh. Dan di situlah Nano senantiasa mendulang energi pentas-pentasnya selama ini. Lakon-lakon seperti Sam Pek Eng Tay, Konglomerat Burisrawa, Semar Gugat, Opera Ular Putih, Kala, Republik Bagong, Republik Togog, dan Republik Petruk adalah nomor-nomor yang memberi ruang hidup pada hibridisasi.
Hal menarik pada Sie Jin Kwie, Nano harus melakukan studi teks yang intens lantaran kisah yang ditulis oleh Tio Keng Jian dan Lo Koan Chung pada abad ke-14, ini sudah pernah diterbitkan di Indonesia dalam berbagai versi dan bentuk, termasuk komik. Selain itu, kisah klasik ini terdiri dari beberapa episode yang amat panjang.
”Pada draf naskah pertama jika dipentaskan mungkin bisa menghabiskan 7-8 jam, tetapi akhirnya durasinya menjadi sekitar empat jam,” ujar Nano.
Kisah ini menceritakan tokoh pahlawan Sie Jin Kwie (Rangga Riantiarno) yang muncul dalam mimpi raja Lisibin. Sie Jin Kwie akan menjadi penyelamat Lisibin dalam perang Dinasti Tang melawan Raja Kolekok yang takhtanya dikudeta Jenderal Kaesobun (Paulus Simangunsong). Tetapi dalam upaya menjadi tentara, Sie Jin Kwie senantiasa dihalangi oleh para jenderal korup, yang ”menyembunyikannya” di pasukan dapur.
Justru di dapur Sie Jin Kwie membentuk pasukan PD-Tang (Pasukan Dapur Tang), yang kemudian menjadi pengumpul jasa terbanyak dalam perang. Raja Lisibin yang sejak awal mimpinya memerintahkan mencari Sie Jin Kwie baru bertemu pada babak akhir, setelah perang berlangsung 12 tahun. Sie Jin Kwie akhirnya menjadi penyelamat Dinasti Tang setelah mengalahkan Jenderal Kaesobun.
Pentas ini memang belum beranjak jauh dari pentas-pentas Teater Koma sebelumnya. Nano tetap mencoba ”taat” mengikuti struktur dramaturgi yang sudah ia ”bangun” sejak awal pendirian Koma tahun 1977: tetap berangkat dari tradisi kemudian memadukannya dengan pengertian teater Barat. Secara isi, mungkin sudah Barat, tetapi secara bentuk tetap meneruskan bentuk-bentuk teater rakyat.
Mungkin di situlah terjadi hibridisasi, di mana Nano berhasil mentransformasi isi dan bentuk teater rakyat ke atas pentas-pentas modern, yang kemudian banyak menyedot penonton.