Sentuhan Sakai dalam Teater Malam Terakhir
oleh : Denny Winson
PEREMPUAN tua itu dengan sisa-sisa, tenaganya berjingkrak-jikrak mengikuti irama lagu. Dia mengitari panggung yang menyerupai sebuah taman. Dua tong sampah dan sampah berserakan.
Di belakang panggung terpampang tiga siluet ukuran besar yang disorot lampu berwarna biru, merah, kuning. Dari siluet itu, tampak tiga pasang penari yang menggambarkan fase kehidupan perempuan tua semasa anak hingga tua renta.
Gambaran itu merupakan cuplikan dari penampilan teater Malam Terakhir yang dimainkan pekerja seni dari Teater Selembayung di Gedung Olah Seni (GOS) Taman Budaya Riau, 2 hingga 4 Januari lalu.
Naskah adaptasi dari novel laris sastrawan Jepang, Yukio Mashima. Peran perempuan tua atau Dang Dao (Komachi, versi aslinya) diperankan oleh Tri Sepnita. Tri yang akrab disapa Iid ini, cukup bagus memerankan watak perempuan tua. Penonton dibuat hanyut oleh penampilannya, dari awal, hingga akhir pertunjukan.
Iid juga mampu menghayati kata demi kata skrip yang disodorkan kepadanya. Penampilan Iid, dalam karya besutan Fedli Aziz tampak begitu total. Dia begitu menghayati peran, sampai-sampai dia tidak terlihat sedikitpun canggung saat memetik rokok, menghisapnya dalam-dalam ketika hatinya diserang rasa galau yang amat sangat.
Sayang, penampilan total Iid ini, tidak diimbangi oleh tokoh penyair yang diperankan M Paradison. Paradison yang akrab disapa Oon ini, sudah berupaya untuk tampil maksimal, tetapi ketika hendak memerankan penyair yang tengah mabuk terkesan polah itu dibuat-buat. ”Kau cantik. Kau paling cantik di dunia. Kecantikanmu tak akan memudar, sekalipun sudah seribu tahun,” tutur sang penyair yang dalam kondisi mabuk.
”Begitu… cantik! Bukankah itu yang mau kaukatakan? Jangan kau katakan! Barangsiapa mengatakannya umurnya tidak akan panjang lagi. Aku peringatkan!” jawab sang perempuan tua.
Kemudian ke dua pasangan renta ini berlari mengelilingi pentas. Menyerupai ‘Olang-Olang’ (elang-elang). Musik yang ditangani Rino Dezapaty lalu memainkan bunyi-bunyi klasik dari suku terasing yang ada di Riau, yakni Suku Sakai.
Secara keseluruhan, keinginan sutradari Fedli Aziz untuk membangun suasana magis dari Penaso (perkampung) Sakai tidak begitu berhasil. Tengok saja setting panggung. Sedikit pun tidak tampak perkampungan Suku Sakai yang kini makin terjepit oleh industri. Justru yang terlihat hanya sebuah taman yang kumuh.
Begitu juga busana yang dikenakan tiga pasang penari ‘Olang-Olang’. Para penari ini, hanya memakai untaian tali warna putih, sementara puak Sakai identik dengan pakaian warna hitam, kuning dan merah. Kekurangan lain, kalau boleh disebut, ini sebuah kecorobohan, tidak adanya ‘mantra’ dalam pertunjukan ‘Malam Terakhir’ itu.
Tak salah jika dalam sesi diskusi usai pertunjukan, seorang penonton memberikan nilai kurang, terhadap karya adaptasi itu. Sang sutradara, Fedli Aziz dinilai gagal mengubah setting Jepang kepada suasana Melayu khususnya adat istiadat Suku Sakai.
Terlepas dari kekurangannya, penampilan anak-anak Teater Selembayung ini bolehkan diberikan acungan jempol. Setidaknya Fedli begitu berani membuat ‘harga’ dari pertunjukan itu (meski sebenarnya karya seni umumnya tidak bisa dinilai oleh apapun). Sutradara muda harapan Riau ini, menjual tiket kepada penonton yang akan menikmati karyanya.
Keputusan ini patut dihargai. Selama ini tidak ada seorang pekerja seni yang berani memasang tarif masuk untuk menyaksikan karya-karyanya. Jangan untuk membayar, yang gratis pun jarang ditonton warga Riau.
Uniknya, meski tiket masuk pertunjukan teater ‘Malam Terakhir’ ini dijual seharga Rp 50 ribu (VIP), Rp 20 ribu (umum), dan Rp 10 ribu (pelajar), namun animo penikmat seni Kota Pekanbaru cukup besar.
Buktinya dari tiga malam pertunjukan, pementasan tersebut selalu dipenuhi penonton. Tambahan lagi, penonton seolah-olah enggan beranjak dari tempat duduknya sampai teater berakhir. Apakah ini awal dari kebangkitan dunia teater Riau, barangkali perlu dibuktikan lagi pada pertunjukan selanjutnya. Selamat Fedli!
Penulis; pengamat seni di Riau, juga wartawan Harian Analisa