Jumlah Pengunjung Saat Ini

Senin, 26 Januari 2009

REPUBLIK PETRUK


Republik Petruk, Bila "Babu" jadi Ratu Jan 11, '09 10:31 PM
for everyone

Saya cepat-cepat menulis review ini karena pertunjukan ini “hanya” berlangsung 2 minggu dari tanggal 9-25 Januari 2009 di Grha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta. Dua minggu –berturut-turut—adalah durasi yang luar biasa untuk sebuah pertunujukan teater Indonesia.

Lakon ini adalah produksi teater koma ke 116 Teater Koma. Ini juga angka yang hebat mengingat komunitas-komunitas teater Indonesia susah sekali menjaga eksistensi mereka. Kalau pun masih eksis dalam jangka waktu lama, mereka biasanya mengkis-mengkis antara ada dan tiada.

Republik Petruk berawal dari kisah Mustakaweni yang dendam pada Arjuna. Arjuna, kstria Pandawa itu sudah membunuh Ayahnya. Arjuna sendiri membunuh ayah Mustakaweni karena diutus oleh dewa gara-gara pria itu menginginkan wanita lain meski ia sudah beristri.

Untuk mengalahkan Arjuna, Mustakaweni harus mencuri jimat Kalimasada, jimat pelindung kelima Pendawa. Dengan menyamar menjadi Gatutkaca Mustakeweni berhasil merebut jimat sakti ini. Pandawa pun resah, kalang kabut untuk merebut pusaka itu kembali. Tapi siapa yang bisa? Bima pun sudah dikalahkan oleh sang pencuri dengan pusaka curiannya.

Kebetulan di saat itu muncul Bambang Priambada, anak Arjuna yang mencari ayahnya (maklum anak Arjuna kan berceceran di mana-mana). Untuk menunjukkan baktinya Bambang Priambada yang masih hijau ini bersedia merebut kembali jimat Kalimasada. Bagaimana bisa? Sementara Mustakaweni adalah wanita sakti. Ditambah jimat itu, ia tidak terkalahkan.

Tapi Priambada punya satu hal istimewa. Sebagai anak Arjuna, dia mewarasi ketampanan sang Ayah. Mustakaweni jatuh cinta. Sebaliknya Priambada juga jatuh hati pada pencuri cantik ini. Jimat Kalimasada berhasil direbut lalu dititipkan pada Petruk, abdi yang selama ini mengikuti Priambada untuk dikembalikan kepada Pandawa.

Petruk, diprovokosi oleh para Dewa, justru memanfaatkan keadaan. Dengan jimat sakti di tangan ia menaklukan negara Loji Tengaran dan menjadi raja di sana. Petruk yang semula abdi itu mendadak jadi ratu. Kerajaannya tampak makmur dan kaya raya. Tapi apa benar demikian? Satu persatu musibah dan kekacauan datang. Kebobrokan pun mulai bermunculan.

Cerita ini menggambarkan begitulah keadaannya bila seorang “babu” alias orang yang tidak berkompeten naik tahta menjadi pemimpin. Mirip ya dengan situasi sekarang di mana orang yang entah siapa, prestasinya apa, pengin jadi pemimpin bangsa.

Masih banyak lagi pelajaran moral khas Wayang dalam lakon ini. Misalnya, seperti dalam kisah Mustakaweni, kita harus menerima konsekuensi ketika orang yang kita cintai dihukum sebagai akibat kejahatannya. Bukan salah yang menghukum dong. Wong mereka juga hanya menjalankan perintah.

Pandawa yang hendak membangun candi Eka pun juga mendapat pencerahan bahwa tidak ada gunanya kita memaksakan suatu keseragaman. Candi itu akhirnya diubah menjadi candi Bhinneka. Pesan-pesan itu masih tetap relevan sampai kini, hingga seolah-olah menyentil sana-sini..

Pertunjukan itu sendiri lumayan menghibur. Kualitas aktor yang prima menjadi salah satu keunggulan pentas ini. Dialog yang panjaaaang sekali berhasil dibawakan dengan baik. Cornelia Agatha juga bisa melakonkan Mustakaweni dengan prima. Semua pemain mumpuni dalam olah vokal, peran, plus menyanyi dan menari. Musiknya juga bagus dan matang.

Kostumnya yang sangat komik (mirip kostum anime Dragonballz) juga digarap dengan detail yang apik. Warna-warnanya sangat memanjakan mata. Para pemain mengenakan rambut berwarna hijau stabilo, biru terang, kuning pirang, memberontak tapi tetap artistik. Begitu pula settingnya. Dengan propert-properti yang diberi roda hingga mudah digeser, pergantian setting selalu berjalan mulus dan tepat waktu. Ini masih ditambah crew settingnya yang juga berkostum dan bergaya, menjadi bagian dari pertunjukan, bukannya sekadar orang yang lalu lalang mengganggu. Backdrop yang besar-besar juga membuat pertunjukan ini makin enak di mata.

Yang jadi poin minusnya adalah cerita yang bertele-tele! Empat jam! Ini suatu durasi yang sangat egois bagi penonton. Padahal jelas, cerita ini bisa diringkas di sana-sini. Monolog Petruk di bagian pembukaan misalnya, bisa dihilangkan sama sekali. Dialog yang ngalor-ngidul juga bisa dipangkas.

Yang juga tidak mengena pada saya adalah humornya! Sebagian besar penonton tertawa pada lelucon mereka, tapi bagi saya entah ya humornya kok garing dan basi. Udah biasalah humor kayak gitu dalam teater. Teater anak SMA juga menggunakan humor yang sama. Apakah ini karena saya sudah terbiasa dengan pertunjukan teater atau karena saya orang Jawa –yang lebih suka dengan humor gaya Jawa—entahlah.

All in all, untuk sebuah pertunjukan dengan tiket 30-100 ribu, Republik Petruk adalah suguhan teater yang layak ditonton, bahkan oleh orang “awam” sekali pun.