Jumlah Pengunjung Saat Ini

Senin, 07 Maret 2011

34 Tahun Teater Koma: Mengenang Tahun-tahun Penuh Pencekalan

Jakarta Salah satu grup teater veteran, Teater Koma sudah eksis selama 34 tahun. Banyak sekali cerita suka dan duka yang dialami para pendirinya. Mulai dari tujuan berkesenian, adanya kegelisahan, sampai berbagai pencekalan dari pemerintah.

Pendiri Teater Koma Nano Riantiarno mengatakan, setiap tahun yang dilewati Teater Koma itu sangat berharga. "Tidak ada tahun yang spesial kayak 9, 17, 25, 50, dan sebagainya. Jadi pada akhirnya kita juga pernah merayakan 10, 15, 25 dan sebagainya. Itu kan angka yang aneh," ujarnya ketika ditanya makna ulang tahun ke-34 kali ini.

"Ada kesadaran bahwa kita harus sesekali menengok ke belakang. Pikirkan manfaat kita kepada masyarakat tuh apa," tambah Nano yang ditemui detikhot di belakang panggung pergelaran 'Sie Jin Kwie Kena Fitnah' di Graha Bakti Budaya, TIM, Jakarta Pusat.

Lakon 'Sie Jin Kwie Kena Fitnah' dipentaskan mulai 4 Maret hingga 26 sebagai puncak perayaan ultah Teater Koma tahun ini. Grup teater tersebut didirikan pada 1 Maret 1977 oleh 12 orang dari berbagai latar belakang. Selain Nano sendiri, di antara mereka adalah Ratna Madjid, Rima Melati, Rudjito, Jajang C Noer, Titi Qadarsih, Syaeful Anwar, Cini Goenarwan, Jimi B Ardi, Otong Lennon, Zaenal Bungsu dan Agung Dauhannadalah.

Kala itu tahun 1977 mereka mementaskan pertama kali 'Rumah Kertas'. Teater Koma kemudian berkembang pesat, banyak orang yang ingin bergabung, dan pintu selalu terbuka lebar. Dari tahun 1977 pentas Teater Koma begitu diminati masyarakat, bahkan kala itu --sampai saat ini-- menjadi hiburan yang membuat penonton ketagihan.

Sampai saat ini Teater Koma sudah melahirkan 122 judul cerita teater dengan 967 kali pementasan. Pada usianya ke-34 tahun, Nano ingin sedikit mengenang perjalanan Teater Koma. Ia pun mengumpulkan kliping-kliping dan dokumentas dari teman-temannya. Sudah banyak suka dan duka yang mereka lewati.

Misalnya saja dari kenangan pahit saat pentas mereka mulai mendapatkan pelarangan pada 1978, setahun setelah Koma terbentuk. "Pertama (dilarang) itu tahun 1978, pentas 'Maaf, Maaf, Maaf' tidak boleh manggung di tiga kota, Bandung, Surabaya dan Jogja," kenangnya.

Saat itu, lanjut Nano, ada kebijakan normalisasi kampus di mana kampus tidak boleh menerima kegiatan-kegiatan dari luar. Termasuk pentas teater dan diskusi yang sifatnya kegiatan luar kampus. Itu pencekalan pertama buat Koma. Sebelum dilarang, 'Maaf, Maaf, Maaf' sempat manggung di Fakultas Sastra UI selama 2 hari.

"Saat itu kita bicara soal sikap otoriter sang penguasa yang pada akhirnya membuat pentas kita dihentikan, tapi ya sudahlah tidak apa-apa," ujarnya seolah ingin melupakan kenangan itu. Selanjutnya, pada 1989 pementasan 'Sampek Engtay' batal di Medan karena mendapatkan pelarangan dari Depdikbud dan Kepala Dinas Kebudayaan setempat. Alasannya, pentas tersebut berbau China, yang saat itu masih menjadi isu SARA yang tabu.

"Padahal saat itu kita hanya bicara soal percintaan, kenapa dilarang? Toh saat itu di Medan diputar film Mandarin dan banyak juga komunitas orang Tionghoa. Pada saat itu sama sekali nggak pentas kita, padahal tiket sudah terjual habis. Yah, kita balik aja gitu ke Jakarta," paparnya.

Ketiga, pentas 'Suksesi' juga dicekal aparat yang menilai bahwa lakon tersebut mengkritik keluarga Soeharto yang kala itu masih kuat berkuasa. Padahal, kata Nano, tidak pernah ada maksud untuk mengkritik dan sebagainya. "Itu hanya ketoprakan saja, kita memang bicara soal penguasa, tapi dianggap mengkritik penguasa saat itu," jelasnya.

Pencekalan ketiga itu cukup merepotkan Nano karena ia harus bolak-balik ke markas ABRI saat itu untuk menjalani interogasi. Terakhir, pada 1990 Nano mendapatkan undangan untuk pentas di Jepang dengan lakon 'Kecoa'. Pusat kebudayaan Jepang saat itu meminta Teater Koma manggung diempat kota di sana.

Sebelum berangkat, Nano berniat mengadakan pentas pamitan di GedungKesenian Jakarta. Saat itu dihadiri oleh pihak kedutaan Jepang dan dua orang wartawan dari Negeri Sakura itu. Apa yang kemudian terjadi? "Ternyata dilarang, karena 'Kecoa' itu agak keras saya bicara. Tentang penggusuran, tentang kaum elit yang secara politik cuma dagang saja. Saya bicara kaum-kaum yang kena gusur itu kok nggak punya hak hidup di negerinya sendiri," paparnya.

Alhasil, Koma tidak boleh berangkat ke Jepang. Sejak itu, setiap Koma mau pentas harus membuat surat rekomendasi khusus. Mereka harus melewati 13 meja birokras, bahkan naskah ceritanya pun harus diedit oleh pejabat militer setempat. Selama 6 tahun Teater Koma harus menjalani birokrasi yang rumit untuk pentas. "Setelah Soeharto jatuh pada 1998, surat izin itu tidak diperlukan kembali," kata Nano.

sumber : detikhot.com