“Kepada seluruh penumpang pesawat “Garuda di Dadaku” dengan nomor penerbangnan G 1903 dengan tujuan Antah Berantah, silahkan memasuki Pesawat”. Ya, sebuah pertunjukan apik dan kreatif berjudul DELAY telah ditampilkan oleh Riauberaksi pada Sabtu dan Minggu, 19 dan 20 Maret 2011 lalu di Anjung Seni Idrus Tintin, Bandar Serai Pekanbaru. Mereka mengangkat permasalahan sosial ekonomi di negeri ini yang sedang hangat dibahas kemudian diexplore dalam settingan ruang tunggu bandara. Dalam settingan tersebut mereka dengan apik mengisinya dengan permasalahan-permasalahan tersebut mulai dari permasalahan Gayus yang sangat populer, skandal Century, tabung gas LPG 3 kg, koin untuk presiden, PSSI, pencalonan kepala daerah, hingga kunjungan Miyabi dan Tsunami. Keunikan dapat dirasakan penonton seolah-olah mereka berada di bandar udara Biar Lambat Asal Selamat; mulai dari sistem dan tempat pemesana tiket yang diset layaknya check in di bandara, tiket pertunjukan yang dibuat seperti boarding pass, kursi penonton yang diset bak kursi di dalam pesawat, dan bahasa-bahasa yang sering kita temukan di bandara, seperti “bagi penonton diharapkan check in terlebih dahulu sebelum memasuki ruang pertunjukan”. Dan setelah memasuki ruang pertunjukan, penonton dibuat seolah-olah memasuki cabin pesawat.
Di dalam ruang tunggu bandara yang mengutamakan keselamatan penumpang (meski harus terlambat dan mendelay penerbangan terus) tersebut terdapat sekelompok orang yang telah muak menunggu pesawat mereka, Garuda di Dadaku, yang tak kunjung berangkat. Dalam penantian mereka pada saat itulah mulai muncul berbagai kejadian yang menggambarkan kisruhnya persoalan-persoalan yang tengah menimpa bumi pertiwi ini. Persoalan PSSI yang digambarkan oleh salah seorang penumpang dengan seragam Timnas Garuda yang begitu mencintai Pertiwi(bumi pertiwi). Ia seolah-olah Irfan Bachdim yang berjuang demi timnas Indonesia, namun tak menyadari bahwa dirinya tak dihiraukan PSSI. Gambaran Gayus disini diperlihatkan bagaimana orang-orang di ruang tunggu tersebut beramai-ramai sibuk mencari-cari dimana Gayus, padahal sebenarnya Gayus ada di mana-mana, bahkan memungkinkan bahwa diri kita juga seorang Gayus. Koin untuk Presiden digambarkan oleh sepasang suami isteri yang merupakan orang sangat penting dan super sibuk memasuki ruang tunggu bandara, dimana sang isteri menginginkn semua hal dapat berjalan lancar dan mudah, sementara sang suami tak mempu melakukanya. Kemudian sang suami mengemukakan keinginannya untuk mendapatkan kenaikan gaji atas posisi dan pekerjaannya. Selain itu, ada juga adegan dimana seorang mantan anggota DPR yang juga sedang menunggu, dengan mudahnya mendapatkan akses lancar karena menggunakan fasiulitas yang dianggapnya milik pribadi, padahal merupakan fasilitas anggota DPR yang seharusnya sudah ia kembalikan karena ia telah menjadi mantan anggota DPR. Dan masih banyak gambaran-gambaran lainnya, seperti bintang–bintang porno yang malah dicalonkan menjadi kepala daerah, pembagian tabung gas LPG 3kg yang malah mnenimbulkan ledakan dan permasalahan di masyarakat, serta kedatangan Miyabi yang mendapat pertentangan FPI.
Menurut Yoserizal Zen, DELAY (penundaan) pergerakan suatu benda merupakan peristiwa lazim sehingga manusia menjadi “membiasakan” diri saaat DELAY datang menderanya. Beliau menambahkan bahwa dalam bingkai kesenian, seniman merekam berbagai permasalahan sosial menjadi karya seni yang perlu dicermati maknanya. Misalnya di bandara, DELAY merupakan sesuatu yang terbiasa dialami penumpang. Namun penyebabnya bisa saja dikarenakan kondisi alam. Seperti gempa, tsunami dan lain sebagainya. Akibatnya tiudak sedikit terjadi pertengkaran antara pemakai jasa dengan penjual jasa. Dan penyelesaiannya pun tidak memuaskan pemakai jasa.
Sang Sutradara sendiri menuturkan bahwa ide-ide kreatifnya berasal dari permasalahan sehari-hari yang ada disekitar kita. Dan apa yang beliau tuangkan dalam DELAY merupakan gambaran yang sedang terjadi di negeri ini, dimana banyak hal telah dipolitisi, tidak hanya pada aspek sosial dan ekonomi saja, namun juga pada seni, budaya dan olahraga. Dan parahnya lagi, ketika bencana melanda negeri ini, masih saja banyak pihak yang memanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Disamping itu, beliau lebih banyak mengangkat permasalahan sosial ekonomi sehari-hari, karena beliau menyadari penonton tidak lahir di zaman Hang Tuah. Sehingga ketika kita mementaskan sejarah yang telah lalu, penonton banyak yang tidak paham dan cenderung merasa bosan serta ingin meninggalkan ruiang perytunjukan sebelum pertunjukan berakhir. Sedangkan, bang Willy sendiri ingin agar bagaimana penonton tahu apa yang sedang terjadi di sekitarnya dan mereka menikmati pertunjukan yang meka tonton hingga timbul rasa penasaran yang membuat mereka ingin terus duduk menikmati pertunjukan hingga selesai. Beliau juga berharap agar kita bangga menjadi bangsa negeri ini, bangsa Indonesia, bagaimanapun kondisi negeri ini. Dan harapan besarnya adalah mampu mengangkat dan memajukan Teater Riau.
.