Jumlah Pengunjung Saat Ini

Senin, 07 Maret 2011

“Sie Jin Kwie Kena Fitnah” – Kisah & Jalan Cerita

Lakon teater karya Tio Keng Jian dan Loko An Chung
Saduran dan Sutradara: Nano Riantiarno
Bagian ke-2 dari trilogi pementasan lakon “Sie Jin Kwie”
Pementasan teater produksi ke-122 Teater Koma
Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki-Jakarta
4-26 Maret 2011

(klik pada gambar untuk memperbesar)

[spoiler alert!]

Setting kisah epik sejarah ini adalah di masa Dinasti Tang, kaisar negeri Cina sekitar abad ke-7. Tokoh utamanya adalah Sie Jin Kwie, panglima perang yang amat berjasa bagi kerajaan. Ini melanjutkan kesuksesannya yang telah dipentaskan di lakon bagian pertama. Karena itu, oleh sang Raja Li Si Bin, ia dianugerahi hadiah dan pangkat. Bahkan ia diberi pangkat Raja Muda dan dibangunkan istana di Xan Si. Ia kemudian menjemput istrinya Liu Kim Hwa di kampung. Di perjalanan, ia melihat seorang remaja berumur 12 tahun sedang memanah burung belibis. Karena amat mahir, burung-burung yang itu terpanah tepat di dalam paruhnya. Namun tiba-tiba muncul monster jelmaan ayah Thio Jin Bin, musuh Sie Jin Kwie. Sie Jin Kwie memanah anak itu, namun malah terkena si remaja tersebut. Sesampainya di rumahnya, istrinya sempat tak percaya itu suaminya, namun setelah menunjukkan tanda lahir di lengan kanannya, barulah sang istri percaya. Dari keterangan istrinya, selama ditinggal oleh Sie Jin Kwie berperang, anaknya Tin San sudah tumbuh menjadi remaja 12 tahun, sementara putrinya Sie Kim Lian masih berusia sekitar 6 tahun. Di rumah itu hanya ada putrinya, sementara menurut sang istri putranya pergi berburu. Sie Jin Kwie kaget karena remaja yang tadi dipanahnya ternyata anaknya sendiri. Istrinya sempat marah, apalagi Sie Jin Kwie pulang hanya mengenakan seragam prajurit rendahan. Liu Kim Hwa bahkan sempat tak percaya untuk kedua kalinya saat sang suami menjelaskan bahwa ia kini Raja Muda dan mengajaknya ke istana. Ia baru percaya saat suaminya menunjukkan stempel emas lambang kekuasaan. Mereka pun kemudian bersama-sama pindah ke istana Xansi, dengan lambang kerajaannya Bangau.

Di wilayah kerajaan Tang yang memiliki lambang kerajaan berupa Macan, seorang pembesar tengah berunding dengan istrinya. Ia adalah Paman Raja Li Si Bin yang bernama Li To Cong. Istrinya adalah Thio Bie Jin yang merupakan anak seorang raja dari marga Thio. Karena berontak kepada raja, seluruh marga Thio dibasmi. Tinggallah satu orang lagi dari marga Thio yang masih hidup selain Thio Bie Jin. Dia adalah Thio Jin, sepupu jauhnya. Karena dendam kepada Sie Jin Kwie yang memberi saran pada raja untuk membasmi keluarganya, duo Thio ini merancang niat jahat. Mereka berencana memfitnah Sie Jin Kwie agar dihukum mati oleh Raja Li Si Bin.

Maka, Thio Jin membuat surat panggilan palsu dari Raja untuk Sie Jin Kwie agar datang ke ibukota, bahkan mengantarkannya sendiri dengan menyamar. Karena diminta datang sendiri, maka Sie Jin Kwie tidak membawa pengawal dan hanya didampingi Thio Jin yang menyamar. Sesampainya di ibukota kerajaan, Sie Jin Kwie dicegat oleh Li To Cong di gerbang utara. Ia lalu mengundang Sie Jin Kwie untuk mampir minum arak dan bermalam. Meski sudah berupaya menolak, namun dengan alasan kesopanan akhirnya Sie Jin Kwie mau masuk ke istana Li To Cong.

Ternyata, ia dijebak. Araknya diberi bius kuat oleh Thio Jin sehingga ia tertidur. Saat tertidur, ia digeletakkan di kamar Loan Hong putri Li To Cong dan Thio Jie Bien. Tujuannya agar dikesankan ia memperkosa Loan Hong, yang adalah sepupu raja. Dengan begitu, ia bisa dikenakan hukuman mati sesuai skenario rancangan Thio Jin. Meski Loan Hong memohon agar rencana itu dibatalkan karena jelas akan tersebar kabar dirinya telah kehilangan kehormatan, Li To Cong bersikeras. Maka Loan Hong yang tak tahan menanggung malu bunuh diri.

Kejadian itu membuat Li To Cong tambah marah dan segera menyeret Sie Jin Kwie ke penjara. Di penjara, Sie Jin Kwie disiksa oleh jaksa. Namun karena obat tidur yang diberikan Thio Jin terlalu kuat, justru Sie Jin Kwie tak kunjung bangun dalam waktu lama hingga berminggu-minggu. Li To Cong yang berusaha agar Sie Jin Kwie dihukum mati secepatnya dapat digagalkan oleh Thia Kauw Kim sahabat Sie Jin Kwie yang meminta agar raja menundanya hingga Sie Jin Kwie bangun.

Di penjara, Sie Jin Kwie akhirnya berhasil dibangunkan. Ia selalu dijenguk oleh para sahabatnya. Mereka membawakan makanan, padahal Li To Cong tidak memberinya agar Sie Jin Kwie mati kelaparan. Karena selalu mendapat kunjungan, Thio Jin menghasut lagi agar Li To Cong melarang tahanannya itu dikunjungi siapa pun. Ia juga menempatkan pengawal pribadinya di penjara karena sipirnya sudah disuap para pejabat sahabat Sie Jin Kwie.

Karena kesulitan menjenguk dan Sie Jin Kwie terancam kelaparan, Cin Bong putra Cie Bok Kong yang masih berusia 9 tahun diminta agar menyusup ke penjara. Meski ayahnya ragu, namun Cin Bong sendiri bersemangat melaksanakan permintaan Thia Kauw Kim. Ia dan rekan-rekannya berhasil memperdayai penjaga dan bahkan membuat Li To Cong luka-luka. Ibunya melaporkan hal ini kepada permaisuri, sementara Li To Cong kemudian tergopoh-gopoh melapor pula pada raja yang sedang bersama permaisuri di taman raja. Namun jelas sulit mempercayai seorang anak kecil bisa melukai orang dewasa. Maka raja pun menyuruh Li To Cong pulang tanpa menanggapi pengaduannya.

Persidangan dilanjutkan hingga raja kembali memutuskan hukuman mati dilaksanakan. Namun Thia Kauw Kim telah mengirim surat permintaan pertolongan kepada dua orang pembesar kerajaan dinasti Tang. Mereka adalah Utti Kiong dan Utti Pokeng. Keduanya adalah penasehat kerajaan dan sahabat Raja Tian, ayah Raja Li Si Bin yang sedang berkuasa. Selain nasehatnya biasanya didengarkan, keduanya punya hak veto terhadap keputusan raja karena masing-masing memegang benda pusaka kerajaan Dinasti Tang. Sayangnya, karena kesibukan masing-masing, tak satu pun bisa segera datang ke ibukota. Apalagi Utti Kiong selain karena kesibukannya mengawasi pembuatan patung-patung Buddha untuk seluruh kerajaan, ia juga buta huruf jadi jelas tak bisa membaca surat yang dikirimkan. Sementara Utti Pokeng malah terlalu kalem dan senang bersyair. Ia membalas pesan Thia Kauw Kim justru dengan bersanjak yang intinya menyuruh agar membiarkan saja Sie Jin Kwie menghadapi takdirnya.

Dalam keputusasaan, Li To Cong kembali mendesak agar Sie Jin Kwie segera dihukum mati. Sementara itu, di dua tempat berbeda, kedua kekasih Sie Jin Kwie mendapatkan kabar mengenai kemalangannya. Di rumahnya, Liu Kim Hwa menerima kabar tersebut dari putrinya yang sudah beranjak dewasa. Sementara Putri Zhae Yang menerimanya dari asistennya. Zhae Yang adalah tunangan Sie Jin Kwie sebelum lelaki itu menikahi Liu Kim Hwa. Karena kabar pernikahan kekasihnya itu, Zhae Yang sempat berencana hidup membiara. Namun karena kabar itu dan hatinya masih gundah, asistennya menyarankan agar ia menuruti kata “cinta”. Karena menurutnya, “cinta langit” dan “cinta manusia” sama-sama cinta. Zhae Yang, Liu Kim Hwa dan Sie Kim Lian lantas berangkat ke ibukota. Sie Kim Lian ditemani dua sahabatnya yang ahli pedang.

Sementara itu, entah bagaimana caranya, Utti Kiong akhirnya tahu bahwa telah terjadi ketidakadilan di ibukota terhadap diri Sie Jin Kwie. Ia lantas bergegas berangkat dan mengamuk di istana. Berita mengamuknya Utti Kiong diterima oleh sahabat-sahabat Sie Jin Kwie dari putranya. Mereka lalu bergegas ke istana dan di sana Utti Kiong benar-benar marah. Karena kedudukannya sebagai sahabat ayahnya, Raja Li Si Bin membiarkan Utti Kiong gusar. Ia menunjukkan ruyung pusaka milik Dinasti Tang turun-temurun yang berbunyi “ruyung ini dapat digunakan untuk mengadili siapa pun di kerajaan Tang, termasuk raja yang sedang berkuasa.” Namun Li Si Bin yang sudah gelap mata termakan hasutan Li To Cong tak menggubris dan malah masuk ke ruangan pribadinya. Utti Kiong yang mengejar mencoba mengetuk tapi tak dibukakan pintu dan malah disuruh pulang. Ia tetap bertahan di depan pintu, mengketuk-ketuk pintu dengan ruyung hingga ruyung dari besi itu hancur menjadi 16 bagian. Karena tak digubris raja, Utti Kiong kemudian bunuh diri di depan kamar raja. Kejadian itu membuat geger.

Thia Kauw Kim kemudian meminta agar hukuman mati terhadap Sie Jin Kwie ditunda karena negara dalam masa berkabung. Akhirnya Li Si Bin setuju dan menunda hukuman mati hingga musim semi mendatang. Sie Jin Kwie pun dibawa kembali ke penjara.

Seiring berlalunya waktu, ternyata raja lupa pada kasus itu. Sehingga sudah 3 kali musim semi terlewati hukuman mati belum juga dijatuhkan. Sementara, kerajaan Tartar Barat pimpinan Sou Po Tong sedang bersiap-siap menjatuhkan Raja Li Si Bin agar dapat menguasai kerajaannya. Dengan pasukan besar berjumlah 500.000 prajurit, pasukan Sou Po Ton merebut kota demi kota milik kerajaan Tang hingga hampir mencapai ibukota. Mengamuknya Sou Po Tong dan pasukannya seolah sejalan dengan lambang kerajaannya yang bergambar celeng atau babi hutan.

Di ibukota, Li To Cong mengingatkan raja akan terkatung-katungnya hukuman mati Sie Jin Kwie. Seketika itu juga Li Si Bin menitahkan agar hukuman mati dilaksanakan saat itu juga di hadapannya di istana. Ia memerintahkan Sie Jin Kwie diambil dari penjara dan diseret ke hadapannya.

Saat algojo siap memancung kepala Sie Jin Kwie, tiba-tiba Utti Pokeng datang. Ia dengan bersyair mengingatkan raja akan nilai-nilai kebajikan. Di samping itu, ia mengingatkan kembali maklumat raja yang dipegangnya, ditandatangani dengan sumpah darah oleh Raja Li Si Bin dan ayahnya Raja Thian. Isinya menyatakan bahwa apapun yang terjadi, apabila kelak Sie Jin Kwie melakukan kesalahan bahkan dihukum mati sekalipun oleh pengadilan, karena jasa-jasanya yang begitu besar bagi kerajaan, maka raja harus mengampuninya. Diingatkan begitu, raja sedih dan ia tahu harus mematuhi sumpah itu karena merupakan “perjanjian dengan langit”. Maka, Sie Jin Kwie pun dibebaskan.

Saat itu raja dilapori akan gerakan pasukan Sou Po Tong. Ia kebingungan mencari panglima besar bagi pasukannya. Dan tentu saja Thia Kauw Kim menyarankan agar mengangkat Sie Jin Kwie. Namun, ternyata Sie Jin Kwie menolaknya karena ia merasa nama baiknya belum dipulihkan. Ia meminta Li To Cong diseret ke pengadilan raja dan dihukum mati. Utusan pembawa pakaian kebesaran panglima besar, pedang dan stempel emas disuruh pulang ke istana. Mereka sudah ketakutan akan mendapat hukuman karena gagal melaksanakan perintah raja. Namun mereka bertemu Thia Kauw Kim yang mengajak mereka kembali ke penjara dan membujuk Sie Jin Kwie agar mau menerima mandat raja itu. Thia Kauw Kim juga menjanjikan akan menyeret Li To Cong. Barulah Sie Jin Kwie mau menerima posisi sebagai panglima besar kerajaan.

Thia Kauw Kim dan sahabat-sahabatnya sudah menyelidiki bahwa di balik semua itu ada hasutan dari sepupuh Thio Bi Jin yang bernama Thio Jin. Mereka pun menjemput keduanya agar datang ke istana. Thio Jin menolak bahwa dirinya adalah Thio Jin, karena seluruh marga Thio memang sudah dibasmi kerajaan. Ia mengaku namanya adalah Chao Po San, tapi tak digubris dan tetap diminta dibawa ke istana.

Saat suami dan sepupunya di bawa ke istana, Thio Bi Jin didatangi Sie Kim Lian dan dua sahabatnya. Mereka hendak menghabisi nyawanya. Tapi Thio Bi Jin menantang duel adil satu lawan satu. Karena bersifat ksatria, ketiga orang itu mempersilahkan Thio Bi Jin memilih lawan salah satu di antara mereka. Ia ternyata memilih Sie Kim Lian yang malah paling jago pedang. Dan ia berhasil membunuh Thio Bi Jin.

Di istana, raja memohon agar Sie Jin Kwie mengampuni Li To Cong yang adalah pamannya. Sie Jin Kwie dengan enggan menyatakan patuh pada permintaan raja. Sepeninggal Sie Jin Kwie yang mempersiapkan pasukan, Thia Kauw Kim meminta raja agar membuat siasat seolah-olah Sou Po Tong telah dihukum mati, padahal disembunyikan di genta pusaka raksasa di sebuah biara tua. Kepada Sie Jin Kwie akan dikatakan bahwa Li To Cong telah mati. Ini agar ia dapat berjuang sepenuh hati saat memimpin perang menghadapi Sou Po Tong. Raja setuju.

Maka Li To Cong yang telah diampuni raja dibawa ke biara. Sementara itu Thio Jin segera dihukum mati. Di sana, ia disuruh sembunyi di dalam genta raksasa sampai Panglima Besar Sie Jin Kwie dan Raja Li Si Bin meninggalkan ibukota bersama pasukannya. Tentu saja Li To Cong bingung. Hanya karena ia menyadari tak punya pilihan agar menghindari dibunuh, ia mau menuruti saran itu. Namun, Thia Kauw Kim ternyata sudah punya rencana lain. Ia bersama pasukannya kemudian membakar biara. Kepada raja, ia sudah menyiapkan alasan bahwa karena kebakaran itu, Li To Cong yang bersembunyi di dalam genta raksasa yang besar dan berat itu tak dapat diselamatkan. “Kita tidak membunuh Li To Cong, tapi memanggangnya,” demikian dalih Thia Kauw Kim

Di perbatasan kota, pasukan kedua belah pihak berhadapan dalam kondisi siap tempur. Dan adegan berakhir menunggu bagian ketiga dari trilogi lakon ini.