



sempeneRIAUteater adalah sebuah komunitas teater yang berdiri pada akhir november 2009 di Rengat,Riau. komunitas ini adalah peleburan dari satu komunitas besar sebagai induknya yaitu sanggar MiniTeaterKotaRengat 1989.
Bayi Ajaib (1982) |
Bagaimana jadinya jika empat anggota keluarga Syuman bergabung untuk membuat pertunjukan tari-teater? Mereka menghasilkan sebuah karya kolaboratif yang padu antara koreografi, musik langsung, dan adegan tari di panggung.
Empat orang itu adalah koreografer senior Farida Oetoyo (ibu), koreografer Yudistira Syuman dan pemusik Aksan Syuman (kakak-beradik, anak Farida dengan sutradara Syumanjaya), serta pemusik Titi Handayani Syuman (istri Aksan, menantu Farida). Tergabung dalam Kreativität Dance-Indonesia, mereka mementaskan tiga karya tari di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu-Minggu, 16-17 Januari malam.
Tari pertama, Cerita dari Dunia Maya, karya Yudistira Syuman dibawakannya sendiri dengan iringan musik Indra Lesmana. Tari kedua, Bagai Sepotong Seruling Bambu yang Akan Kau Isi dengan Musik, juga karya Yudistira, dibawakan sepasang penari laki-laki dan perempuan. Tari ketiga, Kunti, garapan Farida Oetoyo. Dua tari terakhir diiringi musik langsung hasil rancangan Aksan Syuman dan Titi Handayani Syuman.
Bagaimana wujud kepaduan kolaborasi itu? Sebagaimana terlihat pada geladi resik, Jumat (15/1) malam, tiga karya tadi hadir secara utuh di panggung. Konsep koreografi, gerak tari, serta iringan musik langsung menciptakan satu kesatuan rasa.
Simak saja tari Kunti yang dimainkan oleh 15 penari dalam empat babak. Karya ini mengisahkan tragedi perang Mahabharata ketika Karna harus berhadapan dengan Pandawa. Padahal, sebagaimana diakui Kunti dengan sedih, dua pihak yang bertikai itu sebenarnya bersaudara.
Karna adalah putra Kunti, hasil percintaannya dengan Dewa Matahari. Meski sudah dibukakan rahasia itu, toh Karna bersikukuh mau membunuh Arjuna. Saat perang meletus dan dua bersaudara itu saling bunuh, sang ibu pun menanggung pilu.
Tragedi itu dituangkan dalam koreografi dan musik yang dinamis. Pada adegan pertama, misalnya, ditampilkan bagaimana Kunti dan Dewa Matahari larut dalam gelora bercinta di sebuah kolam dalam kerodong kelambu putih. Laki-laki dan perempuan itu menyatukan tubuh dalam gerak tari yang indah.
Sambil berkecipak dalam air yang bermuncratan, keduanya bergerak meliuk, menyatukan tangan, memutar pinggul, atau tiba-tiba saling mendekap. Sementara itu, musik mengalun lembut dengan jeritan vokal menyentakkan ledakan gairah sekaligus cemas, seperti hendak mencerminkan percintaan yang terlarang.
Saat adegan pertempuran, terdengar tabuhan rancak perkusi, mirip genderang perang. Karna dan Arjuna berhadapan, saling menatap ganas, berlompatan, mengibaskan kain panjang, dan menyabetkan kipas. Karna roboh. Musik melambat dan terdengar seperti mimpi buruk.
Perpaduan serupa juga mengental pada tari Bagai Sepotong Seruling Bambu yang Akan Kau Isi dengan Musik. Karya yang dimainkan penari laki-laki dan perempuan ini menggambarkan jalinan cinta sepasang manusia. Hubungan itu kadang begitu dekat, merenggang, kadang bahagia, tetapi juga kerap diselipi duka.
Suasana romantis itu menyatu dengan denting piano dan pianika yang mendendangkan lagu Sabda Alam ciptaan Ismail Marzuki. Irama lagu itu diulang-ulang dengan tempo turun-naik sehingga terasa ngelanglut. Penonton pun tergiring untuk diam-diam menggumamkan lirik populer: ”Wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu…”.
Kolaborasi
Pentas tari produksi Kreativität Dance-Indonesia ke-20 ini bisa disebut sebagai tari-teater. Soalnya, gerak tari tak dihadirkan sendirian, tetapi digabung dengan sedikit dialog, gerak biasa sehari-hari, dan dimasukkan unsur drama. Penari sekaligus menjadi aktor.
Yudistira, koreografer untuk tarian pertama dan kedua, mengaku menciptakan gerak koreografi dari observasi langsung di lapangan dan pengalaman. Itu jelas terlihat pada karya Dunia Maya yang menceritakan kehidupan pengidap skizofrenia.
”Pada tari kedua, saya mendorong munculnya gerakan pribadi dari dua penari. Jadi, karya ini terasa lebih personal,” kata Yudistira.
Dengan konsep tari-teater, pentas juga tak segan menampilkan percakapan panjang atau teks di layar. Tengok saja tari Kunti, yang memasukkan dialog utuh dan panjang antara Kunti dan Karna: sang ibu mencegah anaknya saling membunuh, tetapi sang anak menolak.
Pilihan ini tentu bakal mempermudah penonton untuk menangkap narasi dan pesan. Namun, ada juga risikonya. Pada momen tertentu, suatu tarian tiba-tiba seakan hanya menjadi kepanjangan dari kisah yang begitu verbal dan gamblang. Seakan tak ada misteri dari gerak itu sendiri.
Lepas dari itu, pentas hadir mengesankan karena terjadi kolaborasi antara tari dan musik secara kuat. Pada titik-titik puncak, musik dan tari muncul dalam satu rasa yang kental, saling mengisi dan memperkaya. Agaknya pencapaian ini dipengaruhi hubungan antara koreografer, penari, dan pemusik yang sangat dekat.
Bagaimana mereka bekerja sehingga menghasilkan pentas semacam itu? ”Ibu menunjukkan dulu, bagaimana bentuk koreografinya. Lalu, kami merancang musiknya. Tapi, kadang kami juga membuat musik secara langsung saat melihat tarian,” kata Aksan, yang memang sudah beberapa kali membuat musik untuk ibunya.
Bagi Farida, sang ibu, proses kerja semacam itu sangat membantu. Rasa saling kenal memperlancar proses penggarapan menjadi lebih mudah dan terbuka. ”Kami mudah menyambungkan rasa. Aksan sudah sangat paham selera saya,” kata perempuan yang mendirikan Kreativität Dance-Indonesia tahun 1998 itu.
Empat anggota keluarga Syuman baru kali pertama ini bergabung dalam satu pentas. Bagi mereka, peristiwa ini sangat membahagiakan karena setiap orang bisa ambil bagian sesuai dengan jalur kesenian pilihannya. ”Masing-masing kami punya kreativitas seni berbeda-beda. Kenapa tidak kami pentas bersama?” kata Farida.
Proses kreatif itu juga membuat mereka lebih sering bertemu. Keempat orang yang punya rumah sendiri itu jadi kerap berkumpul di rumah Farida di kawasan Pondok Indah untuk mendiskusikan pementasan. Diskusi itu berlangsung cair.
”Kami bisa saling memberi masukan. Kadang saya mengomentari soal koreografi, kadang ibu mertua bicara soal musik. Semuanya kami bahas bersama,” kata Titi Handayani
Minggu, 17 Januari 2010 | 02:57 WIB
Oleh Lusiana Indriasari dan Ilham khoiri
Orang-orang menerabas hujan deras kota Jakarta, Sabtu malam lalu, untuk nonton
Di tengah lanskap kehidupan urban Jakarta, kelompok Bharata pentas setiap Sabtu malam.
Wayang wong atau wayang orang yang merupakan produk budaya masyarakat agraris itu tampak tertatih-tatih berada di panggung kehidupan kota besar. Dalam dialog para cantrik, misalnya, muncul simbol gaya hidup kota seperti Facebook dan Hoka-Hoka Bento yang dilafalkan dengan gaya bicara tokoh Sukrosono yang celat atau cadel menjadi oka-oka ento. Muncul pula kosakata di luar vokabulari kultur wayang seperti holland bakery, dugem, sampai nama ”kontemporer” seperti Prabu Avatar.
Tercatat 152 penonton mengisi gedung berkapasitas 240 kursi dengan harga tiket Rp 20.000-Rp 40.000 per orang. Tarian pembuka menyambut penonton di gedung berpenyejuk ruangan itu. Pentas dimulai dengan munculnya barisan raja yang bersiap melamar putri Kerajaan Magada, Dewi Citrawati.
Saat bersamaan, Sumantri, yang ingin mengabdi pada Prabu Arjunasosrobahu di Negara Maespati, harus menyunting Citrawati. Pemuda tampan itu berhasil memboyong sang putri dan harus menghadapi ujian berikutnya: memindahkan Taman Sriwedari dari Kahyangan ke Keraton Maespati.
Sumantri minta bantuan Sukrosono, adiknya yang sakti tapi buruk rupa. Sang adik memenuhinya asalkan boleh ikut sang kakak. Namun, saat taman telah dipindahkan, kemunculan Sukrosono yang mirip raksasa cebol itu justru membuat takut para putri. Sang Prabu meminta Sukrosono dibunuh. Cerita semakin menegangkan sampai berakhir pukul 00.30.
Sejak berdiri pada tahun 1972, WO Bharata tekun manggung. Mereka hanya vakum saat bangunan direnovasi pada tahun 1999-2003. Jika dulu mereka pentas saban malam, kini hanya seminggu sekali.
Kelompok ini menyajikan lakon populer, seperti Sumantri Gugur, Gatotkaca Tundung, Sembadra Larung, atau Semar Krida. Pertunjukan dikemas dengan pakem standar pertunjukan wayang orang, yaitu suluk (narasi), tembang, tari, gamelan, perang, dan dialog dalam bahasa Jawa. Tentu, ada juga pertarungan tokoh utama dengan buta (raksasa) Cakil dan goro-goro dengan dagelan punakawan.
Bharata pernah menjadi tontonan yang digandrungi penikmat wayang orang di Ibu Kota. Pada masa jayanya, tahun 1970-an hingga 1980-an, muncul beberapa pemain primadona. Salah satunya Sumarmi alias Mamik yang saat itu berusia 20-an tahun, kini berusia 56 tahun. Mamik dulu sering memerankan tokoh Dewi Sinta, Sembodro, atau Mustokoweni.
Hidup kelompok seni ini didasari pengabdian. Mereka bermain dengan bayaran ala kadarnya. Menurut salah seorang sumber, honor pemain lebih-kurang Rp 40.000 sekali main— jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan honor pemain sinetron yang puluhan juta rupiah. ”Kami main, tanpa berpikir besok mau makan apa,” kata Kenthus (42), pemeran Sumantri malam itu.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, seniman harus bekerja serabutan. Entah sebagai guru tari, usaha persewaan kostum, pembawa acara dalam bahasa Jawa, penari, main sinetron, atau kethroprak di kelompok lain. Mamik, misalnya, kini berbisnis sewa kostum.
Setiap tahun ada subsidi dari Pemprov DKI, sebesar Rp 160 juta pada tahun 2009 dan Rp 200 juta tahun 2008. Namun jumlah itu belum cukup untuk menyokong seluruh operasional kelompok wayang orang. Penghasilan dari tiket Rp 4 juta-an sekali pentas juga tak cukup membiayai semua kebutuhan pentas. ”Kami malah sering nombok,” kata pemimpin Bharata, Marsam Mulyo Atmojo.
Bagi kalangan tua, sebagian setia menonton sejak tahun 1970-an, Bharata mengisi kerinduan akan tontonan seni tradisi Jawa. Namun, bagaimana dengan kalangan muda hari ini yang lebih akrab dengan Robert Pattinson atau Matt Bellamy ketimbang dengan Buto Cakil? Seni tradisi produk budaya masyarakat agraris ini ditantang untuk menghadapi perubahan budaya.
Dialog panjang berbahasa Jawa halus juga diperpendek dan dicampur sedikit bahasa Jawa ngoko atau bahasa Jawa gaul sehari-hari. Biar lebih nyambung dengan penonton berbahasa non-Jawa, dipasanglah pula teks berjalan. ”Kami ingin mengikuti perkembangan zaman,” kata salah seorang sutradara Bharata, Sentot Erwin.
Pentas Bharata belum didukung teknologi panggung, tata lampu, dan layar-latar yang atraktif. Durasi pentas 3,5 jam-an terkesan bertele-tele untuk penonton urban yang cenderung ingin yang serba ringkas, cepat, dan praktis.
Bharata juga belum masuk industri pariwisata Jakarta akibat manajemen dan pemasaran yang belum tergarap. Padahal, pertunjukan ini potensial dipasarkan sebagai tontonan seni tradisi Indonesia; seperti turis di Italia yang digiring ke gedung opera atau para pelancong di Beijing yang harus mampir nonton Opera Peking.
Untuk memperbaiki hidupnya, maka Si Lancang berniat merantau. Pada suatu hari ia meminta ijin pada ibu dan guru ngajinya. Ibunya pun berpesan agar di rantau orang kelak Si Lancang selalu ingat pada ibu dan kampung halamannya. Ibunya berpesan agar Si Lancang jangan menjadi anak yang durhaka.
Si Lancang pun berjanji pada ibunya tersebut. Ibunya menjadi terharu saat Si Lancang menyembah lututnya untuk minta berkah. Ibunya membekalinya sebungkus lumping dodak, kue kegemaran Si Lancang.
Setelah bertahun-tahun merantau, ternyata Si Lancang sangat beruntung. Ia menjadi saudagar yang kaya raya. Ia memiliki berpuluh-puluh buah kapal dagang. Dikhabarkan ia pun mempunyai tujuh orang istri. Mereka semua berasal dari keluarga saudagar yang kaya. Sedangkan ibunya, masih tinggal di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin.
Pada suatu hari, Si Lancang berlayar ke Andalas. Dalam pelayaran itu ia membawa ke tujuh isterinya. Bersama mereka dibawa pula perbekalan mewah dan alat-alat hiburan berupa musik. Ketika merapat di Kampar, alat-alat musik itu dibunyikan riuh rendah. Sementara itu kain sutra dan aneka hiasan emas dan perak digelar. Semuanya itu disiapkan untuk menambah kesan
kemewahan dan kekayaan Si Lancang.
Berita kedatangan Si Lancang didengar oleh ibunya. Dengan perasaan terharu, ia bergegas untuk menyambut kedatangan anak satu-satunya tersebut. Karena miskinnya, ia hanya mengenakan kain selendang tua, sarung usang dan kebaya penuh tambalan. Dengan memberanikan diri dia naik ke geladak kapal mewahnya Si Lancang. Begitu menyatakan bahwa dirinya adalah ibunya Si Lancang, tidak ada seorang kelasi pun yang mempercayainya. Dengan kasarnya ia mengusir ibu tua tersebut. Tetapi perempuan itu tidak mau beranjak. Ia ngotot mintauntuk dipertemukan dengan anaknya Si Lancang. Situasi itu menimbulkan keributan. Mendengar kegaduhan di atas geladak, Si Lancang dengan diiringi oleh ketujuh istrinya mendatangi tempat itu. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa perempuan compang camping yang diusir itu adalah ibunya. Ibu si Lancang pun berkata, "Engkau Lancang ... anakku! Oh ... betapa rindunya hati emak padamu. Mendengar sapaan itu, dengan congkaknya Lancang menepis. Anak durhaka inipun berteriak, "mana mungkin aku mempunyai ibu perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila ini."
Ibu yang malang ini akhirnya pulang dengan perasaan hancur. Sesampainya di rumah, lalu ia mengambil pusaka miliknya. Pusaka itu berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Sambil berdoa, lesung itu diputar-putarnya dan dikibas-kibaskannya nyiru pusakanya. Ia pun berkata, "ya Tuhanku ... hukumlah si Anak durhaka itu." Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut berhembus sangat dahsyatnya sehingga dalam sekejap menghancurkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang. Bukan hanya kapal itu hancur berkeping-keping, harta benda miliknya juga terbang ke mana-mana.
Kain sutranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Oguong. Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah. Sedangkan tiang bendera kapal Si Lancang terlempar hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang.
(Disadur dari B. M. Syamsuddin, "Banjir Air Mata Si Lancang," Cerita Rakyat Dari Riau 2, Jakarta: PT Grasindo, hal. 44-49).
Sumber : http://eri-communicator.blogspot.com
|
|
The History
Sound is made by a thin metal ribbon, a reed, that is held at one end and free at the other, like a ruler on the edge of a table top. The reed is fitted inside a holder plate, air is drawn through the hole in the holder, the reed vibrates, producing sound. | ![]() |
The first free-reed instrument was the Chinese Sheng, which is mouth-blown. The Cheng plays by blowing air into the wooden mouthpiece that attaches to a gourd and into which are fitted various amounts of bamboo shoots of different lengths. It was invented as an imitation of the Phoenix bird. The approximate date that this instrument was created is unknown, but it is believed to be more then 2,000 years old. It is thought that a traveler to China in the 1800s brought this idea back to Europe.
Bellows are used on the accordion to substitute blowing air by the mouth. This allows strong air pressure and conserves the musician's energy. Greeks and Egyptians first used bellows before 1500 B.C to heat up furnaces in forges. Although portable bellow-like organs have been found in dated pictures, the person who came up with the idea to attach the bellows to the accordion remains a mystery. In order to allow the player to support and stroll with the accordion, straps were eventually mounted on the body.
The first basic accordion was invented in 1822 by Friedrich Buschmann in Berlin. The first modern accordion was a 10-button accordion, invented in 1829 by Cyrillus Damian, in Vienna, which had the 7 notes of a major scale, and consequently only played in one key [and its related keys]. These accordions are still played today and are called many things, Cajun accordions, melodeons, one-row, diatonic accordions, and so on. They are single-action instruments (bi-sonoric), where as a rule each button produces two different notes, one when pulling the bellows outwards, one when pushing it inwards. The notes are arranged much like on a harmonica.
A diatonic accordion
The accordion was patented on January 14, 1854 by Anthony Faas.
The accordion consists of folded bellows, to which is attached a keyboard with from 5 to 50 keys. The keys on being depressed, while the bellows are being worked, open valves admitting the wind to free reeds, consisting of narrow tongues of metal riveted some to the upper, some to the lower board of the bellows, having their free ends bent, some inwards, some outwards. Each key produces two notes, one from the inwardly bent reed when the bellows are compressed, the other from the outwardly bent reed by suction when the bellows are expanded. The pitch of the note is determined by the length and thickness of the reeds.Generally the longer the reed, the lower the tone, although some reeds have added weights which lower the tone of a shorter reed. . The right hand plays the melody on the keyboard, while the left works the bellows and manipulates the two or three bass harmony keys, which sound the simple chords of the tonic and dominant.
Related instruments include the concertina and the melodeon.
The piano accordion was developed in Europe in the late 1800's and has become the most common type of accordion nowadays in most western countries. Familiar to everyone who has ever seen Lawrence Welk, the right hand is laid out like a piano keyboard, so a piano player could play it, though the keys are smaller than on a piano. The left hand plays an array of up to 120 buttons which play bass notes and various chords. The instrument was named and popularized in the United States by Count Guido Deiro who was the first piano accordionist to perform in Vaudeville. He is credited with making the first recordings of the instrument in 1908, also with making the first radio broadcast of the accordion in 1921 and the first sound motion picture featuring the accordion, for Vitaphone in 1928.
The left hand layout of a piano and chromatic button accordion uses "The Stradella Bass System". This usually features six rows: the second row buttons are called the Fundamental Bass and are ordered in quints, the first row buttons are called the Counter Bass and are major 3rd higher, relative to the second row. The major chords are in the third row, the fourth row consists of the minor chords, the fifth row houses the seventh chord and finally the sixth row has the diminished seventh chords. Most 7ths and diminished chords consist of only 3 notes – the 5th is omitted for various reasons.
Depending on the price, size or origin of the instrument, some rows may miss completely or the layout is slightly changed. Common configurations are:
C - System
Another type is the chromatic accordion. Usually these have buttons instead of piano keys, but they have the same 12-note Western scale as a piano accordion. The buttons are ordered chromatically in three rows, one row up/down means one halftone up/down, one button up/down in the same row means 3 halftones up/down. Larger chromatic accordions can have up to three auxiliary rows, with secondary buttons playing the same tones that already appeared in the first three rows. This layout makes transforming songs into other keys much easier than on the piano accordion. The chromatic accordion is definitely the choice for classical music, as a lot of more buttons than piano keys can be packed on the same space. Therefore artists can play intervals of up to two octaves using only one hand, this is especially important for pieces that include more than two voices. There are two different layout systems, the C layout and the B layout. If you turned a C layout keyboard on its head you would have a B layout and vice versa. The B system is preferred for classical music, and is very common in Eastern Europe whereas the C system is common in Western Europe, particularly in France. In Russia and several other countries the B system chromatic accordion is called a BAYAN.
B - System
Piano accordions and chromatic accordions are double-action (uni-sonoric) instruments: each key or button plays the same note or chord, whether the bellows are being pulled out or pushed in.
Free bass, Bariton bass or Melody bass accordions, favored by classical accordionists, have a left-hand button board with individual bass notes over several octaves, rather than the single octave of bass notes and the preset chords provided by the traditional "stradella" left-hand button system and works exactly the same way the right hand on the chromatic accordion does. There are "converter" accordions offering both systems in one instrument, and the so-called Bassetti bass instrument (now fairly rare) has three extra rows of free bass buttons in addition to the 120 Stradella.
Many folk cultures have their own version of an accordion, including the Russian bayan, Alpine helikon instruments, North Mexican conjunto accordion, the bandoneon, Louisiana Cajun accordion, Irish 2 row b-c type instruments, Russian Garmon' and others. These can have either a unique note layout, a different sound, or all of the above.
One company in particular managed to establish itself in the industry hierarchy. It is commonly accepted that Matthias Hohner was to the accordion what Henry Ford was to the automobile, and enterprising figure who made his product available to a great number of people at reasonable prices. Originally a clockmaker in Trossingen, Germany, Hohner had begun building accordions at his workshop in 1857, but by roughly 20 years after his death the business he had founded was creating them by mass production.
In Italy the accordion appeared for the first time in 1863. A pilgrim passing through the territory of Castelfidardo on his pilgrimage to the Sanctuary of the "Black Madonna" of Loreto, stopped by chance in Antonio Soprani's farmhouse.
He was carrying a rudimentary music box with him; The Accordion, a queer object arousing the curiosity of Paolo Soprani, Antonio's eldest son, Young Paolo opened the instrument, disassembled it and immediately perceived the possibility to build other similar items. The accordion was given to him as a present, and the ex-farmer soon successfully opened a small handicraft laboratory and sold the aesthetically and musically improved product mainly in nearby Loreto, the destination of a continuous, considerable flow of pilgrims.
So was born, between history and legend, the Italian accordion industry. Thirteen years later, in 1876, at Stradella near Pavia, Mariano Dallape, also started to produce considerable quantities of accordions, made in view of the curiosity aroused by Damian's Accordion in Tirol. Dallape is often credited with the invention of the Stradella bass system, but there is some doubt about this.
Soprani and Dallape did not know each other and never met, but they both had the same intuition as far as the development of the musical instrument is concerned; first improving the Viennese patent, succeeded in making the instrument known in all areas of the country; the second prepared the way for the modern accordion by applying basic innovations.
From these two centers of development, but especially from Castelfidardo, the construction of the accordion expanded very quickly, also thanks to the large number of craftsmen who first worked in the two pioneers' laboratories and then started production on their own.
During the first years of this century the accordion became better known all over the world. In Western Europe, Russia and in the Americas the accordion was already known but it was the Italian immigrants that have been the real propagators of the accordion; very often those immigrants trying to find a job, especially in the Americas, brought the accordion with them, to make them feel nearer to their homes, to their families and to their far away native country when listening to its music.
The early 1950’s was undoubtedly the golden era of the accordion. As a matter of fact, the instruments exported from Italy totaled 200,000 pieces a year, and the same quantity was exported from Germany. During recent years the development of electronics has had its influence also on our popular instrument Felice Fugazza, a music composer and teacher at the Bologna Conservatory was the first to introduce transistors into the accordion in 1960.
DEPOK - Budayawan WS Rendra semasa hidupnya pernah bercita-cita ingin menjadikan rumahnya sekaligus bengkel teater miliknya di Kelurahan Cipayung Jaya, Citayam, Depok menjadi kawasan hutan.
Hal itu lantaran bengkel teater seluas 4 hektar tersebut sangat berpotensi sebagai paru-paru kota, di mana 5 tahun mendatang akan tumbuh pepohonan besar yang sempat ditanam WS Rendra beberapa tahun silam.
Menteri Kehutanan MS Kaban menyambut baik cita-cita Rendra tersebut dan mengimbau kepada para polutor di sekitarnya, khususnya kota Depok, untuk membayar retribusi ke kawasan hutan Bengkel Teater Rendra.
"Lahan ini merupakan inisiatif pribadi Rendra, untuk mengembalikan fungsi lahan kepada konsep hutan dan alam. Kita akan jadikan kawasan ini menjadi Rendra Forest Land," tuturnya semalam dalam acara 40 hari mengenang WS Rendra di Bengkel Teater Rendra Cipayung Jaya, Citayam Depok.
Kaban menuturkan, air di kawasan tersebut juga sangat bermanfaat bagi masyarakat luas, karena air di Bengkel Teater Rendra dapat langsung diminum tanpa dimasak. "Ini akan berjalan secara alamiah saja, ada banyak jenis tanaman juga, kita akan bikin blok-bloknya, nantinya 4 hektar ini akan memberikan amal serapan karbon dioksida," katanya.
Sementara itu, pengamat politik Eep Syaefullah yang juga turut hadir dalam acara tausiyah 40 hari mengenang WS Rendra, menuturkan, cita-cita WS Rendra untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai hutan sering diungkapkan semasa hidupnya. "Tiga kali pertemuan terakhir, Rendra banyak menghabiskan waktunya untuk bercerita tentang hutannya di Bengkel ini," ujar Eep.
(uky)
Misi utama teater keliling adalah berdialog dari hati ke hati dalam mewujutkan kesadaran hidup pada zamannya tanpa melupakan masa lalu serta menjadi lebih peka kedepan. Keindahan seni teater memiliki daya hidup yang sangat besar karena teater merupakan ruang untuk bercermin, berdialog. Oleh karenanya pertunjukan yang komunikatif apapun bentuknya adalah merupakan landasan kerja teater keliling dimanapun berada.
“Pendidikan kesenian adalah landasan bagi pendidikan secara menyeluruh.” Pemikiran Ki Hadjar Dewantara inilah yang memperkuat keyakinan Teater Keliling untuk tetap bekerja sekuat tenaga dengan datang ke manapun terutama ke lingkungan pelajar dan mahasiswa dan generasi muda pada umumnya untuk bersama sama mengadakan pelatihan hingga produksi.
Berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri telah diterima seperti dari Menteri Kebudayaan Malaysia th.1976 dan sangat terharu ketika menerima penghargaan lingkungan dari menteri lingkungan hidup Indonesia th.1984 dan 1992 di Jakarta dan juga ketika menjadi pemenang kedua pemain wanita di Festival Teater Rumania. Makalah Dery Syrna diterjemahkan ke dalam 4 bahasa pada pertemuan pengamat teater se dunia di Polandia yang membahas kendala teater yang berkeliling.
Teater Keliling yakin bahwa pergumulan dengan kesenian berarti mengasah otak kanan manusia sehingga ada keseimbangan kecerdasan intelektual dan emosional. Kemampuan “mendengar” dan “melihat” adalah daya hidup yang sangat diperlukan oleh manusia dan semua itu ada di ruang teater dimana kerja kolektif adalah bentuk kerjasama yang mengajarkan kita mampu untuk berkomunikasi atas kepekaan terhadap lingkungan.
Beberapa festival teater internasional yang pernah diikuti :
1. Indian ocean arts festival di Perth,Australia September 1979.
2. Singapura drama festival 1981.
3. The international festival for young professional theater di Sibiu, Romania Maret 1994.
4. The sixth Cairo international festival for experimental theater, Mesir September 1994.
5. First international drama festival di Lahore,Pakistan Maret 1996.
6. The eight Cairo international festival for experimental theater, September 1996.
7. International performing arts festival on the fiftieth anniversary (Golden Jubilee) celebrations of His Majesty’s accession to the Throne. Bangkok Thailand Maret 1997.
8. The 2nd Asian theatrical festival di Pusan, Korea Selatan Agustus 1997.
Bagi sebagian orang foto pertunjukan seni mungkin tak mempunyai makna sehingga diabaikan begitu saja. Tapi bagi Yatna Yuana Sumardi, foto-foto yang dijepret dari pertunjukan seni, seperti teater, tari dan musik merupakan sesuatu yang bernilai tinggi.
Foto yang dikumpulkan Yatna dapat dilihat pada pameran tunggal foto yang bertajuk 'Membingkai Gerak dalam Gambar' di Gedung Olah Seni Taman Budaya Provinsi Riau. Pameran yang mulai berlangsung 29 Desember 2009 hingga 1 Januari 2010 itu merupakan rangkaian kegiatan Taman Budaya menutup tahun 2009 dengan kegiatan Panggung Seni Rakyat (Pasera) Puncak.
Sebanyak 147 foto yang ditampilkan pada pameran itu merupakan kumpulan foto yang dimiliki Yatna sejak tahun 1989 hingga sekarang.
"Selama ini hanya saya sendiri yang dapat menikmatinya. Melalui pameran hasil krejasama dengan Taman Budaya Riau saya ingin berbagi dengan penikmat seni lainnya. Saya merasa puas karya foto artisitik ini dapat dinikmati orang lain," ujar tenaga pengajar Universitas Islam Riau (UIR) ini, Kamis (31/12).
Dari foto-foto yang ditampilkan tersebut sekilas memandang tak terdapat hal yang menarik dan mengesankan. Foto artistik tersebut lebih mirip dengan sebuah lukisan hidup berupa atraksi seni seorang atau sekelompok orang yang tengah memperagakan tari atau teater. Tapi ketika satu per satu foto tersebut diamati secara seksama muncul sesuatu perasaan yang indah.
"Itulah seni, tak dapat diungkapkan dengan kata-kata tapi dapat dinikmati dengan perasaan. Itu pula sebabnya foto-foto ini tak mempunyai keterangan karena dari foto itu sudah bercerita tentang makna yang terkandung," tutur lulusan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (Asdrafi) Jogjakarta ini.
Foto yang ditampilkan Yatna tak hanya jepretan pertunjukan seni lokal, tapi juga nasional dan mancanegara. Foto itu diambil ketika penyelenggaraan iven seni nasional dan internasional, seperti pada Parade Tari Daerah dan Nasional. Sementara foto pertunjukan seni mancanegara diambil ketika tampil di Pekanbaru.
Dunia fotografi sudah dikenal Yatna ketika duduk di kelas V SD di Jakarta. Fotografi dikenalkan pamannya yang lebih awal menekuni profesi fotofrafer tersebut. Minat dan bakat fotografi ini terus berlanjut hingga Yatna kuliah di Asdrafi Jogjakarta. Tak banyak fotografer di Indonesia yang spesifik mengabadikan hasil pertunjukan seni sehingga karya seni fotografi yang ditampilkan Yatna dipameran tunggal pertamanya di Taman Budaya Riau menarik dinikmati.
"Perkembangan fotografi di Riau saat ini terus berkembang. Terbukti munculnya berbagai komoditas fotografer, hanya saja belum terkoordinir dengan baik sehingga belum begitu dikenal masyarakat. Seni foto juga masuk kategori budaya yang harus mendapat perhatian dan dikenalkan kepada masyarakat terutama kalangan pelajar," tutur Yatna yang berencana menyusun desertasi gelar doktornya di Universitas Negeri Padang (UNP) terkait seni pertunjukan.
Magister Pendidikan (S2 UNP) ini masih memiliki ratusan koleksi foto pertunjukan lainnya yang belum dibingkai. Pada setiap kesempatan pameran foto di luar negeri dan tingkat nasional, Yatna selalu mengikutkan hasil jepretan seni pertunjukannya yang ditampilkan oleh rekan-rekan seniman fotografer yang ikut pada kegiatan pameran tersebut.
Galeri Fotografi Dadakan
Pameran foto tunggal Yatna Yuana Sumardi di Gedung Olah seni Taman Budaya Riau merupakan yang pertama kali digelar. Hal ini tak terlepas dari fasilitas Taman Budaya Riau yang belum memiliki galeri seni, fotografi dan lukisan. Galeri foto yang ditampilkan Yatna merupakan inisiatif dadakan bersempena Panggung Seni Rakyat (Pasera) Puncak.
"Pameran foto ini untuk menarik minta pengunjung. Memanfaatkan ruang, Gedung Olah Seni supaya dapat dinikmati pecinta seni di Riau. Yatna merupakan pemancing penggiat seni lainnya untuk memanfaatkan gedung yang ada menggelar karyanya," ujar Kepala Taman Budaya Riau, Pulsiamitra.
Taman Budaya memberi kesempatan kepada seniman lainnya untuk menggelar karyanya di Gedung Olah Seni. Program yang dicanangkan tahun 2010, menghidupkan kembali pasar seni sebagai ajang menampilkan karya seni para seniman. Baik seni tari, lukis, forografi dan teater.
Gedung Olah Seni Taman Budaya yang diharapkan sebagai lokasi pameran atau pertunjukan seni sebenarnya belum memadai dan lengkap sarana yang dibutuhkan. Gedung yang dibangun puluhan tahun tersebut sudah tertinggal dalam hal desain dan dekorasi. Misalnya penataan lampu pertunjukan yang masih secara manual.
Hal ini terlihat dari pameran foto yang ditampilkan Yatna masih dibingkai dan pajang secara sederhana. Tak terdapat lampu artistik di papan pajangan foto yang dapat menambah nilai seni serta dapat dinikmati lebih seksama pada malam hari.
"Penampilannya masih sederhana, tapi foto yang ditampilkan cukup bagus," ujar seorang pengunjung, Yos. (hnk)
Tentang Pertunjukan
GeGer 5 JANUARI
(Selasa 5 Januari 2010. Pkl 20.00 WIB. Langan Hijau Rengat)
Diantara seni murni lainnya, teater menduduki tempat yang paling khusus karena dianggap sebagai karya seni terdekat dengan kehidupan; ia selalu ada dan muncul kembali dari masa ke masa. Tidak hanya pengalaman dan tindakan manusia sebagai subjek teater, tapi teater juga menggunakan tubuh (actor) untuk berkomunikasi dengan penonton (audiens). Bahkan teater memberikan tempat bagi wujud yang non realistic seperti tari, musik atau seni visual lainnya dalam pemaknaannya menjadi karya seni yang paling mampu mencipta kembali pengalaman tipikal manusia. “GeGeR 5 Januari” dengan konsep pertunjukan siluet dan multimedia teater dalam sajian performance art bertema perjuangan dan cita-cita ini diramu menjadi tontonan penuh klise-klise fragment yang direkatkan dalam beberapa lagu perjuangan. Harapan kami, sajian ini dapat memberikan arti baru kepada audiens untuk memaknai dan menghargai perjuangan 5 Januari 1949 di kota RENGAT-INDRAGIRI pada waktu itu.
Para Pelaku:
(Sanggar Seni DAyung SereMPAK SMKN I Rengat) Suri Ramalinda, Sri Mailasari, Deri Ramunda, Diki Wansa, Fatkur Rohman, Jefri Januardi, Nida Ulfadila, Yeti Skipta Sari, Yeli Fitriasari, Nuriaziana, Zulmahidon. (Sanggar Seni Danau Raja – SSDR Te SMA N I Rengat) Dian Permatasari, Putri Sundari, Ravico Despioni, Haryo Gunawan, Riri Amanda Fitriana, Rafvita Ismil, Deri, Sri Maila Sari, Cici Juningsih, Maya Mistriani, Fanny Destria Putri, Ricki Handra, Delvina Ginting, Indri Meidina, Nina Krenina, Said Deni Kurniawan. (SLTPN 1 Rengat & STIE Voice) Anggelia Valencia, Jenet Mariana, Rafiqah Ratu, Amelia Liliska, Pertiwi Maisriharti, Tara Selia Rachma, Nindiya Witrie, Rahmi Zagita Noerlita, Niken, Ria Marita, Wella, Mitra Dwi Haqqi, Meta Utami Putri, Septia Filbia Sari, Said Sa’ari, Nofri, Appri Ramadhianto, Rosiena Ermon
Pelaku Kreatif Pertunjukan : Mini Teater Kota Rengat 1989, Sempene Riau Teater.
Jusriaonto Sombolon, Said Fitriadi, Rengga Jamel Airiba, Syahridho, Kak Wati-dkk, Muhamad Farok Yuliansyah, SH. , Erimasnetty.S.Pd , M.Fajar Ramadhan, Rina Maya Sari, Sunarto, Adepura Indra, Asrul Muhda, Ramdani Syami, Mailiswin, Salimi Yusuf